Setelah kendaraan Liam menghilang di ujung jalan, Kamari melangkah masuk ke halaman kos yang sepi, hanya diterangi lampu temaram. Suasana hening malam itu hampir membuatnya tenang, tetapi langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok di ujung tangga. Ferdi berdiri di sana, mengenakan baju tidur two-piece dengan motif stroberi berwarna merah jambu.
Kamari menahan tawa, bibirnya bergetar menahan geli. Bagaimana tidak? Pakaian itu tampak terlalu menggemaskan untuk Ferdi, seorang pria dewasa dengan kumis dan janggut tipis yang menghiasi wajahnya. Kontras yang begitu mencolok, membuat Kamari hampir tergelak. Namun, ia segera menyadari sesuatu—ini pasti ulah ibu kos. Bagi ibu kos, anak laki-laki selamanya tetaplah anak-anak, tidak peduli berapa pun usianya.
Kamari mengangguk kecil, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang sambil melewati Ferdi yang kini menatapnya dengan tatapan tak peduli. Ia tersenyum tipis, malam itu ditutup dengan rasa hangat yang tak terduga.
“Kamariii, kamu pulang pagi?” Ferdi menyapa dengan suara yang lirih dan penuh takjub, menatap Kamari dari atas ke bawah. “Naik apa kamu?”
Kamari tersenyum. “Biasa, diantar teman.” Langkahnya terhenti karena terhalang tubuh Ferdi. “Eh, tolong. Minggir dong?”
Ferdi memiringkan tubuh sambil menggeleng. “Kamari, kamu kerja terlalu giat. Sampai-sampai jam segini baru pulang.”
“Yah, namanya juga anak rantau. Harus kerja buat makan.”
Seperti biasa, Ferdi mengikuti langkah Kamari hingga sampai di depan kamar kos. Kamari membalikkan tubuh, mengerling pada pemuda itu.
“Kamu ngapain ngikut, sih?”
“Nggak, cuma mau mastiin kamu selamat tiba depan kamar. Ngomong-ngomong bingkisan apa itu?”
“Oh, dari boss”
“Boss kamu laki-laki?”
Kamari mengangguk. “Iya.”
“Tampan nggak?”
Kamari teringat pada Didi dan menggeleng. “Nggak, sih, biasa aja.”
Ferdi menghela napas lega dan berucap sambil tersenyum semringah. “Oh, syukurlah. Aku pikir boss kamu muda dan tampan, makanya kamu betah kerja sama dia.”
Tawa lirih keluar dari mulut Kamari, memutar kunci dan membuka pintu. “Boss memang udah tua dan biasa aja, tapi big bossnya baru beda.”
“Beda gimana?”
“Ehm, kaya raya, tampan, rupawan, dan single.” Tidak memberi kesempatan untuk Ferdi menjawab, Kamari buru-buru menutup pintu. “Nite!”
Ferdi tertegun di tempatnya, tubuhnya membeku sejenak saat mendengar ucapan Kamari. Mulutnya yang semula terbuka membentuk huruf 'O' perlahan menutup ketika ia meneguk ludah, berusaha menenangkan diri. Kepalanya sedikit miring, mencoba memahami makna di balik kata-kata gadis itu. Jika “big boss” yang dimaksud Kamari ternyata kaya raya dan masih muda, apakah itu berarti Kamari menyukainya? Pikiran itu menghantam Ferdi seperti badai kecil di tengah malam yang hening.
Ia tiba-tiba merasa gundah. Niat awalnya sederhana—terbangun untuk minum air dan kembali tidur—tetapi kini ia malah terseret dalam gejolak perasaannya sendiri. Pertemuannya dengan Kamari yang baru pulang mengubah segalanya. Tadinya, Ferdi sudah memantapkan hati untuk mengajak Kamari kencan esok siang, sebuah rencana yang ia susun dengan cermat. Namun, mendengar ucapan gadis itu tentang big boss, hati kecilnya justru merasa sakit, seolah rencananya kini tak lagi berarti. Ia berdiri di sana, terjebak di antara keinginan dan rasa takut akan penolakan.
Ferdi membalikkan tubuh, menuruni tangga menuju kamar orang tuanya. “Aku tahu, aku memang nggak kaya, Kamari. Tapi, orang tuaku punya kos-kosan, dan wajahku juga nggak jelek. Tega kamu bandingin aku sama bosmu. Hiks!”
Ia menghentakkan kaki dengan kesal, tiba di depan pintu dan berteriak. “Maaaa! Aku kesal!”
“Berisik banget kamu!” Teriakan sang mama membungkam mulutnya.
®
Selama beberapa hari berikutnya, Kamari lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Hidupnya berjalan santai, bahkan cenderung malas. Ia tidur hingga matahari sudah tinggi, bangun hanya untuk memesan makanan secara online, lalu kembali meringkuk di tempat tidur sambil membaca buku-buku favoritnya. Rutinitas ini berlangsung hingga hari kedua masa menganggurnya, ketika Vasthi dan Balqis tiba-tiba muncul tanpa peringatan.
Tanpa banyak basa-basi, kedua sahabatnya menyeret Kamari keluar kamar, tak peduli protes kecil yang ia lontarkan. Mereka membawanya ke salon, memaksa Kamari untuk sedikit merawat diri. Hari itu berakhir dengan dirinya duduk di kursi salon, rambutnya digunting lebih pendek dan dimanjakan dengan sesi creambath yang wangi. Meski awalnya enggan, Kamari harus mengakui ia merasa sedikit segar setelahnya.
Namun, tak lama setelah kembali ke kamar, ia kembali pada kebiasaan lamanya. Membaca buku, membiarkan dunia luar berlalu begitu saja, dan menikmati ketenangan yang sederhana di sela-sela pikirannya yang terus bekerja.
Liam menelepon setiap malam. Laki-laki itu mengatakan sedang ada di luar kota dan akan kembali dalam beberapa hari. Liam juga menanyakan apakah dirinya menginginkan oleh-oleh? Dengan bercanda, Kamari mengatakan ingin cincin berlian. Liam menanggapi secara serius gurauannya.
“Cincin berlian itu kecil untukku. Masalahnya, kamu siap nggak kalau pakai cincin dari aku?”
“Pakai tinggal pakai, apanya yang nggak siap, Om?”
“Harus kamu ingat, Kamari. Aku ngasih nggak sekedar cincin, tapi berikut gaun dan mahar.”
Kamari terdiam, akhirnya mengerti maksud perkataan Liam. Tidak ingin memperpanjang masalah, ia mengucapkan selamat tinggal dengan cepat lalu menutup panggilan.
Terduduk di atas ranjangnya yang sempit, Kamari meraih boneka kecil dan memeluknya. Boneka ini dulu didapatkan Liam untuknya. Boneka yang selalu dibawa kemanapun ia pergi, menjadi temannya di kala gundah. Ia memikirkan Liam dan semua perkataan laki-laki itu. Apakah Liam serius dengan ucapannya? Kamari bahkan tidak berani berharap.
“Om, silakan menikah. Aku akan mengucapkan selamat dengan lantang. Tapi, Om harus tahu satu hal, kalau terjadi apa-apa nanti, masih ada aku. Om, aku tunggu dudamu.” Kamari pernah mengatakan semua omong kosong itu, saat Liam menikah. Di depan laki-laki berpakaian pengantin lengkap. Saat itu, hatinya yang terluka ingin berteriak dan mengatakan semua perasaan. Toh, setelahnya mereka tidak bertemu lagi. Semua menjadi kenyataan, setelah menikah. Liam menghilang dan tidak pernah kembali lagi. Meninggalkan dirinya dengan rasa malu dan luka di hati.
Liam kembali, dengan status duda. Kamari tidak tahu, apakah masih bisa dirinya berharap? Membalikkan tubuh dan berbaring miring menghadap dinding, Kamari berusaha memejamkan mata.
Setelah tiga hari menganggur, Kamari kembali bekerja di hari Kamis. Kali ini, ia menjaga stand untuk make-up dan perawatan rambut di lantai dasar mall. Ada banyak pengunjung yang datang, rata-rata adalah kaum hawa. Stand pamerannya selalu penuh pengunjung, dan ia melayani dengan sabar. Pameran kali ini, ia tidak bersama dua sahabatnya, karena mereka bekerja dengan wedding organizer, menjadi pagar ayu.
Menatap antrian yang mengular di depannya, Kamari tersenyum sambil menyapa ramah. “Selamat, datang. Ada yang bisa aku bantu, Kakak?”
®
Melintasi lobi bandara yang ramai dengan koper di tangan, Liam memberikan perintah-perintah pada dua asistennya. Mereka baru saja bertemu klien besar yang akan bekerja sama dalam bisnis pengembangan jaringan telekomunikasi. Pembicaraan yang alot selama beberapa hari akhirnya membuahkan hasil yang baik. Sebuah kendaraan besar yang mewah sudah menunggu mereka.
“Joshua, kita mampir ke suatu tempat dulu sebelum kembali ke kantor.”
Joshua yang duduk di jok depan bersama sopir mengangguk. “Baik, Pak. Kita mau kemana?”
“East Cost Mall.”
Joshua bertukar pandang dengan Lucky dengan kaget. Tidak bisanya sang bos pergi ke mall di hari kerja. Bukankah masih banyak pekerjaan menunggu? Belum lagi jadwal mééting yang padat.
“Ingin makan siang di mall, Pak? Apa perlu saya pesankan tempat dulu?” tanya Lucky.
Liam menggeleng. “Nggak usah. Aku hanya ingin pergi ke sana. Nanti kalian juga akan tahu. Ngomong-ngomong, bagaimana pembicaraan dengan PT. Ultima?”
Lucky menggeleng dengan wajah muram. “Belum mendapatkan kesepakatan, Pak. Direktur utama PT. Ultima menyetujui beberapa klausul dari kita. Tapi, beliau juga menyertakan beberapa syarat, salah satu di antaranya sangat pribadi.”
Liam melirik asistennya. “Pribadi? Untuk siapa?”
“Anda, Pak.”
Liam berdecak, menangkupkan jari-jarinya di depan d**a. “Sepertinya aku tahu apa maksudmu, ini pasti berhubungan dengan anak perempuan dari direktur bukan?”
Lucky mengangguk dengan enggan. “Benar, Pak.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Liam terdiam, menatap bagian depan kendaraan sambil melamun. Merasa tidak habis pikir dengan tindakan para pelaku bisnis yang mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Ia sudah pernah melakukannya sekali dan gagal, kali ini tidak akan pernah mengulanginya.
Anak dari direktur PT. Ultima, adalah seorang perempuan cantik berusia hampir tiga puluh tahun. Perempuan itu belum menikah, dan menghabiskan waktunya untuk berbisnis. Liam menghargainya sebagai sesama pelaku bisnis, tapi tidak lebih dari itu. Ia lebih rela tidak mendapatkan proyek kerja sama daripada harus mengorbankan hati, terlebih sekarang sudah ada Kamari. Susah payah ia mencari gadis itu, Sudah bertemu, dan tidak akan pernah ia lepaskan lagi.
“Pak, kita sudah sampai.” Teguran Joshua membuyarkan lamunan Liam.
“Ayo, kita turun.”
Joshua dan Lucky tidak membantah saat mengikuti Liam melintasi lobi mall yang ramai. Sekarang adalah hari Sabtu. Sudah sewajarnya, mall penuh dengan pengunjung. Liam tidak masuk ke restoran seperti sangkaan Lucky, melainkan melangkah ke tengah lobi dan kini berdiri di antara para perempuan yang mengantri di depan stand kecantikan.
“Pak, apa ada sesuatu yang menarik dari stand ini?” tanya Joshua.
Liam mengangguk. “Tentu saja.”
Lucky melirik bossnya. “Apakah Anda berminat membuka bisnis produk kecantikan, Pak?”
Kali ini Liam tertawa lirih. “Menurutmu bagaimana, Lucky. Apakah aku harus melakukan itu?”
Pertanyaan mereka dijawab dengan pertanyaan lain oleh Liam, membuat Lucky dan Joshua saling pandang dan menggeleng putus asa. Akhir-akhir ini sikap boss mereka memang agak aneh. Sering melamun, kadang-kadang tersenyum sendiri dengan ponsel di tangan. Kalau tidak mengenal Liam yang sangat tegas dan keras dalam berbisnis, mereka akan mengira kalau bossnya sedang berbalas pesan cinta. Tentu saja mereka menyingkirkan kemungkinan itu, karena tidak mungkin Liam begitu.
Antrian bergerak cepat, saat stand menambah dua meja SPG untuk melayani pengunjung. Hingga tiba giliran Liam dan Kamari membuat SPG stand terkagum bingung kala melihat mereka berdua.
“Om, kenapa ada di sini?”
Panggilan Kamari yang sangat akrab pada Liam, membuat Joshua dan Lucky tercengang. Mulai kapan boss mereka punya ponakan yang sudah besar? Bukannya ponakan Liam masih SD?
“Kamari, asistenku ingin mencoba produk make-up kamu,”jawab Liam.
Kamari terbelalak. “Beneran, Om?”
“Iya, ini dia orangnya.”
Liam menunjuk Lucky yang kaget sampai tidak bisa bicara. Lucky menunjuk dirinya sendiri dan berkata dengan tergagap.
“Sa-saya, Pak?”
“Iya, Lucky. Udah, kamu duduk aja. Nikmati waktumu dan biarkan wajahmu dirias cantik.”
Melihat Lucky ragu-ragu, Liam menunjuk kursi kosong di sebelah meja Kamari. Ada seorang SPG yang memegang kuas dan palet make-up. “Sana, duduk!”
Mau tidak mau, Lucky menuruti perintah bossnya. Ia duduk dengan canggung, memejamkan mata dan mengucapkan doa-doa saat merasakan sapuan kuas di wajah.