BAB 11

1869 Words
Kamari masih tidak habis pikir, matanya tertuju pada Liam yang tiba-tiba muncul di area pameran kecantikan. Ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Liam, dengan segala keanggunannya yang tinggi dan tampan, pasti akan lebih cocok di pameran otomotif atau teknologi dan komunikasi, di mana ia bisa bersanding dengan dunia yang lebih maskulin dan modern. Tapi, di sini? Di tengah kerumunan perempuan yang sedang mengantri produk kecantikan, Liam seolah tersesat di dunia yang sama sekali berbeda. Sosok Liam yang mencolok selalu mampu menarik perhatian orang-orang, dan kali ini, kehadirannya di antara para wanita yang sibuk memilih perawatan wajah dan produk kecantikan justru membuat sedikit keributan. Beberapa perempuan yang tidak bisa menahan rasa penasaran mulai melirik, bahkan ada yang terbisik-bisik satu sama lain, tertarik dengan ketampanan yang tak biasa di antara mereka. Kamari terdiam sejenak, merasa janggal melihat Liam di sini, di tempat yang sama sekali tidak sesuai dengan citra dirinya yang ia kenal. Apa yang sedang dicari Liam di tempat seperti ini? Keadaan di pameran menjadi semakin kacau ketika para perempuan mulai meninggalkan antrian mereka dan berebut untuk berdiri di depan stand Kamari. Yang semula hanya sekadar berbicara tentang produk-produk kecantikan, kini berubah menjadi kesempatan untuk menarik perhatian Liam. Mereka menggunakan berbagai cara—ada yang sengaja menyerobot antrian dengan alasan ingin bertanya lebih lanjut, ada pula yang membeli banyak produk dengan harapan bisa mendekati Liam atau mendapatkan perhatian lebih. Bahkan beberapa di antaranya mulai merayu Kamari, memintanya untuk mengatakan siapa sebenarnya Liam, apakah dia seorang selebriti atau pengusaha kaya raya. Kamari merasa cemas dan tidak enak hati. Ia melihat manajer stand yang mulai menatapnya dengan raut khawatir, seakan bisa saja ada masalah besar jika keadaan ini berlanjut. Kamari tahu betul, jika ia sampai membuat kekacauan, bisa jadi ia akan ditegur atau bahkan kehilangan pekerjaannya sebagai SPG di acara ini. Ia tidak ingin itu terjadi. Dengan perasaan gelisah, Kamari memutuskan untuk mengajak Liam bicara berdua, mencari cara untuk menenangkan suasana dan menghindari masalah lebih lanjut. “Liam, kita perlu bicara,” ujarnya pelan, berusaha menjaga ketenangannya meski hati terasa gelisah. “Om, sebenarnya datang mau ngapain?” tanyanya. Liam mengangkat bahu. “Antar Lucky jajal produk kamu.” Mereka berdua serempak menoleh pada Lucky yang duduk memejam dengan wajah dirias. Bisa terlihat kalau cara duduk perempuan itu terlihat tidak nyaman. Kamari tidak dapat mengulum senyum, memperhatikan bagaimana jemari Lucky meremas celana yang membalut kakinya. Kemungkinan besar, perempuan itu merasa gugup karena tidak biasa dirias wajah atau, tidak terbiasa dengan orang asing yang sembarangan memegang wajahnya. “Om, kayaknya Tante itu nggak biasa dandan,” ucap Kamari Liam melotot dan menahan tawa, baru kali ini mendengar Lucky dipanggil tante. “Memang, Tante itu tiap hari hanya tahu soal kerja, dan bukan hal lain. Makanya, kamu harus sering-sering ajak dia ngobrol atau bergaul, biar dia secantik kamu saat memakai make-up.” “Oh, maksudnya Om, aku cantik cuma saat make-up?” Liam mengernyit, menatap Kamari yang mendadak manyun. “Kamari, kamu kayak baru kenal aku. Memangnya aku pernah peduli kamu pakai make up atau nggak?” Kamari menggigit bibir, merenungkan kata-kata Liam. Ia merasa sedikit terkejut, tetapi juga ada benarnya. Dulu, saat mereka masih kecil, ia sering bertemu dengan Liam tanpa make-up, dengan penampilan yang sangat sederhana, dan Liam sama sekali tidak pernah keberatan. Ia ingat betul bagaimana laki-laki itu selalu menerima dirinya apa adanya. Seharusnya, soal make-up memang tidak perlu dipermasalahkan. Namun, lamunannya terhenti begitu seorang perempuan keluar dari antrian dan mendekati mereka. Kamari menatap perempuan itu dengan cermat. Ia mengenakan mini dress bunga-bunga berwarna biru cerah yang menonjolkan tubuh rampingnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai dengan rapi, dihiasi bando hitam di kepala. Penampilannya sangat cantik dan feminin, jauh dari kesan biasa. Kamari menilai perempuan itu pasti berusia sekitar tiga puluh tahun, tampak percaya diri dan anggun. Yang membuat Kamari terdiam, adalah cara perempuan itu menatap Liam. Bola matanya penuh kekaguman, seolah sedang melihat sosok yang sangat luar biasa. Kamari merasa suasana semakin canggung, bingung bagaimana harus bersikap, sementara perempuan itu semakin mendekat dengan tatapan yang tak pernah ia lihat sebelumnya pada Liam. “Maaf, apakah Kakak Tampan ini pemilik stand?” Liam mengangkat sebelah alis. “Bukan.” “Kalau begitu penjaga stand?” “Bukan juga.” “Oh, ternyata keduanya bukan. Pasti yang ini benar, Kakak itu, jodoh saya.” Perempuan itu mengedip sebelah mata sambil tangannya membentuk symbol cinta, membuat tubuh Liam seketika menjadi kaku dan Kamari tertawa terbahak-bahak. Kamari merasa sudah waktunya bertindak. Ia berdehem, menyapa perempuan itu. “Maaf, Kakak. Mari saya bantu memilih produk. Laki-laki tampan ini adalah —” “Tunangannya.” Perkataan Kamari dipotong oleh Liam. Awalnya ia mau menyebut paman, tapi sekarang hanya bisa menghela napas panjang, saat melihat perempuan di depannya melotot bingung. “Kakak, ada diskon besar.” Ia berusaha mengalihkan perhatiaan perempuan itu dan menggiringnya perlahan menuju stand “Produk baru kami yang layak dicoba.” Perempuan berbaju biru tidak teralihkan perhatiannya. Menatap Kamari dan Liam bergantian. “Benar, laki-laki tampan itu tunanganmu?” tanyanya. Kamari menggeleng sambil tersenyum. “Bukan, dia hanya bercanda.” “Nah kan, sudah aku duga. Dilihat dari penampilan dan juga setelan mahalnya, laki-laki itu sudah pasti boss besar atau pemilik perusahaan. Orang-orang sepenzi itu biasanya mencari perempuan yang sederajat. Mana mungkin mau sama kamu?” Hati Kamari bagai diremas saat mendengar perkataan perempuan itu, tapi berusaha tetap tenang dan tersenyum. “Bukan karena fisik. Kamu tinggi, cantik, dan anggun. Tapi, aku bicara soal kelas sosial. Paham kan maksudku?” Kamari tentu saja sangat paham dengan maksud perempuan itu. Tanpa perlu mendengar perkataan secara langsung dari orang lain, ia sudah sangat mengerti apa yang coba disampaikan. Namun, meskipun Kamari tahu bahwa perkataan tersebut tidak vulgar, ia tetap merasa terganggu. Ada sesuatu dalam cara perempuan itu berbicara—begitu meremehkan, seolah menganggap dirinya lebih rendah hanya karena penampilannya yang lebih sederhana. Kamari bisa merasakannya, bahkan tanpa kata-kata yang terang-terangan. Ada rasa kesal yang muncul dalam dirinya, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Tanpa bisa menahan, Kamari tersenyum kecil dengan ekspresi penuh arti, lalu mengedipkan sebelah mata pada perempuan itu, seolah memberikan peringatan yang tak perlu diucapkan. Tindakannya itu bukan hanya sekadar untuk membalas, tetapi lebih kepada menunjukkan bahwa ia tidak takut atau merasa terintimidasi oleh sikap perempuan itu. Kamari tahu betul bagaimana cara menjaga martabatnya, dan ia merasa saatnya untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. “Namanya, Liam, Kak. Laki-laki tampan itu. Dia memang bukan tunangan saya, melainkan calon suami.” “Apaa?” “Bulan depan kami menikah. Minta doanya, ya?” Dengan sengaja Kamari mengalihkan pandangan pada Liam dan melambai. Laki-laki itu tersenyum membalas lambaiannya. Terdengar dengkusan keras, dan perempuan berbaju biru pergi tanpa pamit. Kamari menghela napas panjang, merapikan produk di dalam keranjang. Ia tidak habis pikir dengan perempuan yang mudah sekali menghina perempuan lain. Mereka bahkan tidak saling mengenal satu sama lain, lalu apa hak perempuan itu mengkritiknya? Bicara soal strata sosial, Kamari tahu kalau antara dirinya dan Liam ada jurang dalam yang memisahkan. Sangat mustahil untuk menyeberangi jurang, sama seperti masa depan hubungannya dengan Liam, yang tidak mungkin menyatu. Ia cukup tahu dengan diri sendiri dan menolak analisa orang lain. “Kamari, mereka itu teman-teman kamu?” Manajer stand pameran mendatanginya. Perempuan setengah baya berseragam hitam itu bertanya dengan wajah berbinar. “Iya, Bu.” “Wah, teman-teman kamu hebat, ya? Terutama laki-laki tinggi yang berada di tenda belakang itu, berhasil menarik minat banyak konsumen. Hari ini pameran kita sukses besar karena mereka. Kamu hebat, Kamari. Sering-sering bawa teman-temanmu datang saat kamu ikut aku pameran, ya?” Kamari kebingungan hingga tidak dapat berkata-kata. Ia awalnya ketakutan kalau manajer akan mengamuk, malah mendapati dirinya dipuji habis-habisan. Yang dikatakan manajer ada benarnya, kalau pameran hari ini ramai karena Liam dan dua anak buahnya. Joshua, sibuk melayani pertanyaan para perempuan, dan entah bagaimana caranya, setiap kali perempuan itu beranjak pergi dari depannya, pasti membeli beberapa produk. Sepertinya, Joshua memang seorang penjual yang hebat. Lucky baru saja selesai dirias wajahnya, memantut diri di depan cermin dan mendapat appfause dari banyak orang. Semua memuji wajahnya yang cantik dengan riasan yang cermat dan rapi. Liam mengangguk puas. “Bagus, kamu cantik sekali Lucky.” Tentu saja, pujian dari sang boss membuat Lucky tersipu-sipu. Menyelipkan rambut di belakang telinga, ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memanas. “Te-terima kasih, Pak.” Liam melambaikan tangan. “Jangan terima kasih sama aku. Itu perkataan yang sejujurnya.” Joshua menghampiri mereka dan menatap Lucky dari atas ke bawah. “Wow, kamu cantik banget. Lucky. Serasa lihat orang Iain.” Lucky mendengkus, menatap Joshua yang beberapa tahun lebih muda darinya dengan galak. “Yang sopan sama senior!” “Ups, lupa!” Lucky diam-diam mengamati bayangannya di cermin kecil yang ada di atas meja. Jujur saja baru kali ini merasa sangat puas dengan riasan wajahnya. Ternyata, kalau mau wajahnya yang cenderung biasa saja, bisa menjadi sedemikan glamour. “Pak, apa urusan kita di sini belum selesai?” tanya Joshua. Liam menggeleng. “Sebentar lagi.” Lucky mendekat. “Ada sesuatu yang menarik minat, Anda, Pak? Saya tahu produk ini, bagian dari perusahaan Ultima. Kalau Anda mau atau minat bergerak di bidang kecantikan, bisa mengajukan akuisisi.” Liam menggeleng. “Nggak, bukan itu yang aku pikirkan tapi soal lain.” Ia sedang memikirkan bagaimana caranya menghentikan pekerjaan Kamari dari menjaga stand la kurang suka melihat Kamari merayu orang-orang demi membeli produk yang ditawarkan. Tadi ia juga melihat seorang laki-laki hidung belang tersenyum penuh kemesumam pada Kamari, dan jarinya yang kotor ingin mengusap kulit halus milik gadis itu. Untung saja, Kamari pintar berkelit. Berakhir dengan laki-laki itu membeli produk tanpa bisa menyentuh Kamari sama sekali. Tetap saja, Liam merasa marah karena itu. “Kalau Anda mau, saya punya ide yang lebih bagus, Pak.” Kali ini Joshua yang bicara. Liam melirik asistennya itu. “Ide soal perusahaan kosmetik?” Joshua mengangguk. “Benar. Ada beberapa perusahaan kosmetik sedang pailit, bukan karena produknya tidak bagus, tapi sepertinya salah di startegi marketing. Saya yakin, perusahaan itu akan bangkit kalau dikelola oleh Anda.” Liam menghela napas panjang lalu menggeleng. “Sudah aku bilang, nggak ada yang mau beli perusahaan. Kalian berdua klop banget. Emangnya aneh kalau aku ada di mall dan lihat pameram?” “Aneh sekali, Pak,” jawab Lucky cepat. “Sangat aneh, Pak!” sahut Joshua. Liam hendak menceramahi kedua asistennya dan terdiam saat melihat Kamari mendekat. “Om, tadi manajer muji aku. Katanya penjualan hari ini sangat sukses.” Kamari meraih tangan Liam dan mengguncangnya. “Terima kasih, Om.” Liam tersenyum. “Hanya terima kasih? Aku mau kamu traktir makan pecel ayam.” Kamari mengacungkan jempol. “Siap, apa, sih, yang nggak buat Om. Kita makan pecel ayam, kapanpun Om mau.” Liam tersenyum puas dan hampir terpingkal-pingkal saat mendengar Kamari menyapa Lucky. “Tante, terima kasih untuk hari ini. Wajah Tante sangat cantiik!” Lucky menunjuk dirinya sendiri. “Aku, Tan-te?” Kamari mengangguk. “Iya, Om tadi bilang boleh manggil gitu.” Liam menyamarkan tawa menjadi batuk. “Bo-boleh, Kamari” Kamari mengucapkan terima kasih sekali lagi pada mereka bertiga dan kembali menjaga stand dengan ceria. Selesai semua, Liam mengajak dua asistennya kembali ke kantor. Sepanjang jalan, Joshua tak hentinya menggoda Lucky dan berkali-kali memanggilnya 'tante', membuat perempuan itu hilang sabar dan nyaris memukul Joshua hingga babak belur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD