BAB 12

1828 Words
Pameran kali ini lagi-lagi sukses besar, dan Kamari merasa puas dengan hasilnya. Bonus yang diterimanya cukup banyak, lebih dari yang ia perkirakan sebelumnya. Meskipun masa pameran hanya berlangsung beberapa hari, uang yang didapatkan cukup untuk menambah penghasilan yang sangat berarti. Kamari merasa beruntung bisa menjalani pekerjaan ini, meski ia tahu itu bukan pekerjaan tetap yang akan membawanya jauh. Saat ini, ia tengah mempersiapkan diri untuk menjadi SPG di event lainnya yang sudah dijadwalkan. Beberapa agen pencari kerja juga telah menghubunginya, menawarkan berbagai posisi yang bisa diambil setelah ia selesai dengan kuliah. Namun, Kamari masih belum memutuskan dengan pasti, merasa bingung dengan pilihan yang ada. Di sela waktu luangnya, Kamari juga sibuk mempersiapkan kuliah yang akan segera dimulai. Ini adalah semester terakhirnya di perguruan tinggi, dan ia merasa cemas sekaligus antusias. Setelah sarjana, ia bertekad untuk mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan keinginannya dan memperbaiki kualitas hidupnya. Kamari tahu bahwa masa depan sedang menunggunya, dan ia harus lebih bijak dalam menentukan langkah selanjutnya. “Kalau kamu ntar jadi sarjana, nglamar aja di tempat Pak Liam.” Balqis memberi usulan. Saat itu mereka sedang berkumpul bersama di sebuah kafe kecil yang letaknya tidak jauh dari kampus. Kafe yang menyediakan kopi dan minuman kekinian itu selalu penuh dikunjungi para mahasiswa. Kamari menggoyang gelas plastik berisi kopi dingin, sebelum menyesapnya. “Nggak tahu, ya? Kalau aku ngelamar di sana, takut dibilang pakai orang dalam.” Vasthi mencocol kentang goreng dengan saos. “Apa bedanya emang? Cari kerja susah, kalau ada orang yang bisa bantu, napa ditolak?” Balqis mengangguk. “Nah, benar itu. Nggak selamanya kita bisa jadi SPG. Enak kalau punya pekerjaan tetap. Aku aja, nggak nolak bantuan ortu kalau memang ada.” Kamari terdiam, merenungkan perkataan dua sahabatnya yang terus terngiang di telinganya. Memang, apa yang mereka katakan ada benarnya. Kalau ada orang yang bisa membantu, seharusnya tidak ada alasan untuk menolak. Itu adalah kesempatan yang jarang datang, dan Kamari tahu bahwa Liam, dengan segala koneksi dan kemampuannya, pasti bisa memberikan bantuan yang berarti. Terlebih lagi, hubungan mereka selama ini cukup baik, sehingga ia merasa cukup yakin kalau Liam akan menolongnya jika ia meminta bantuan. Namun, ada satu hal yang mengusik pikirannya. Kamari tidak tahu apakah ilmu yang ia dapatkan selama kuliah akan sesuai dengan pekerjaan yang ada di kantor Liam. Ia ragu apakah keahliannya, yang sebagian besar berkaitan dengan teori dan studi, dapat diterapkan dalam dunia kerja yang lebih praktis dan penuh tantangan. Ia khawatir tidak bisa memenuhi ekspektasi, atau malah merasa tidak siap. Meskipun peluang untuk bekerja di tempat Liam sangat menarik, perasaan cemas itu tetap menghantuinya. Kamari tahu bahwa keputusan ini tidak bisa diambil dengan gegabah. “Heh, malah bengong. Mikirin Om?” cecar Balqis. Kamari mengangguk malu-malu. “Nanti malam kami ada janji makan malam.” Balqis dan Vasthi terbelalak, keduanya memajukan kursi dan bertanya serius. “Hah, mau makan di mana? Restoran mana?” tanya Balqis. Vasthi tersenyum. “Barangkali hotel, sekalian mau check in.” “Apaan sih, kalian. Kita cuma mau makan pecel ayam pinggir jalan. Aku yang traktir.” Balqis memutar bola mata, sedangkan Vasthi mendesah kecewa. Keduanya bertukar pandang dengan tidak mengerti. “Om kamu itu kaya rayaaa, masa makan di pinggir jalan.” Balqis berucap jengkel. “Emangnya nggak bisa bawa kamu ke tempat yang mewah dikit?” “Takut aku yang bingung kalau ke tempat mahal. Tahu sendiri kalian, tempat mahal biasa ada aturan untuk para pengunjungnya.” “Tapi, kamu cantik!” ujar Vasthi ringan. Kamari meleletkan lidah. “Apa hubungannya makan sama cantik?” “Eh, masa nggak tahu? Orang cantik mau ngapain aja dimaklumi. Keadilan sosial bagi good looking pokoknya.” Kamari tidak tahu dari mana Vasthi mendapatkan quote itu, tapi ia merasa kata-kata tersebut cukup menggelitik pikirannya. Bergaul dengan Liam hanya mengandalkan kecantikan saja, ternyata tidak cukup. Ada banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan, banyak faktor yang bisa menentukan apakah hubungan itu akan bertahan atau tidak. Kamari teringat wajah mantan istri Liam yang cantik dan anggun, berasal dari keluarga kaya, tetapi kenyataannya hubungan pernikahan mereka tidak langgeng. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Kamari merasa dirinya sangat berbeda. Tidak punya banyak harta atau latar belakang sosial yang sebanding. Terkadang, ia merasa tak layak berada di dunia Liam yang serba berkecukupan itu. Ia juga bertanya-tanya, bagaimana caranya memelihara cinta agar tetap mekar dan berkembang? Kamari selalu memegang prinsip yang kuat: meskipun cinta itu indah, realitas hidup harus tetap dihadirkan. Dalam cinta, seberapa pun besar perasaan itu, ia percaya bahwa kesadaran dan kedewasaan juga perlu untuk menjaga agar segalanya tetap seimbang. “Hai, kalian ngumpul di sini? Aku ada berita bagus.” Nata datang, dengan brosur di tangan. Meraih minuman Balqis, menandaskannya dengan tidak peduli meskipun melihat gadis itu melotot. “Ini, buat kalian satu-satu.” Mereka menerima brosur dan membacanya. Isinya berupa ajakan untuk ikut pemilihan putra dan putri kampus. Kamari meletakkan brosur dan menghela napas panjang. “Dari tahun ke tahun selalu ada ginian. Ngapain ikut?” Nata menggeleng. “Justru ini kesempatan bagus. Bukan sekedar putra dan putri kampus yang cantik-cantik doang. Tapi, yang menang bakalan ada kesempatan magang di perusahaan Good and Food Official, tahu bukan apa dan siapa pemilik perusahaan itu?” Ketiganya tercengang saat mendengar perkataan Nata. “Yang bener kamu?” tegas Vasthi. Nata mengangkat tangan. “Swear! Kalau bohong, aku rela nikah sama Balqis.” “Mau kamu!” Balqis menyela sambil mencebik. “Tapi, ini kesempatan bagus buat Kamari. Kalau aku sama Vasthi, tinggi kayaknya sedikit kurang. Bukan berani kita berdua pendek. Kamari paling tinggi, tubuh paling langsing, dan juga cantik. Selain itu, otaknya paling encer di antara kami. Aku dukung Kamari daftar ini!” Vasthi mengangguk. “Yes, aku juga setuju.” Kamari tertawa lirih. “Napa bukan kalian aja yang ikut daftar, atau kita daftar barengan gimana?” Balqis menggeleng. “Kamari, kalau kamu daftar, pasti butuh tim sukses. Udah, kami bertiga jadi tim sukses kamu aja.” “Nggak, kita bertiga bisa punya kesempatan yang sama untuk maju!” Kali ini Vasthi yang menjawab. “Yang dibilang Balqis itu benar, otak kami nggak secemerlang kamu. Lagian, ya, kalau jadi putri kampus, nggak boleh yang sekedar cantik, tapi juga pengetahuan luas. Aku sama Balqis, ngaku kalau malas belajar.” “Benar, kami malas belajar.” “Karena itu, kamu aja yang ikut.” “Kita semua dukung kamu!” Atas desa kan teman-temannya, Kamari mengatakan akan memikirkannya nanti. Ia sendiri tidak tahu, apakah punya waktu untuk ikut kontes-kontes begitu, sedangkan harus tetap bekerja demi biaya kuliah dan juga hidup sehari-hari. Belum lagi keluarganya yang terus menerus minta uang kiriman. “Aku siap jadi sopir kalian. Kemanapun kalian mau pergi, aku anterin!” Nata berujar ceria, mengedipkan sebelah mata pada Balqis. “Ya, nggak, Sayang?” “Napa loo ngedip-ngedip? Kelilipan?” “Iya, mataku kelilipan ragamu. Hatiku, terisi cintamu!” “Gomball ...” Nata berteriak saat Balqis mencubiti pinggangnya. Kamari dan Vasthi bertukar tawa, selalu menyenangkan melihat keduanya bercanda. Balqis mungkin enggan menerima cinta Nata, tapi semua orang tahu kalau hubungan keduanya sangat dekat, bahkan melebihi pacaran. *** Liam mengedarkan pandangan ke sekeliling lounge, mengamati sekilas pada orang-orang yang berada di sana, hingga matanya tertuju pada sosok perempuan cantik yang duduk di meja sofa dekat jendela. Perempuan itu memejamkan mata, menikmati musik yang dimainkan oleh seorang pianis. Ada minuman di tangannya, dan seolah tidak terpengaruh oleh hiruk pikik lounge. Liam merapikan dasinya sebelum mendatangi perempuan itu. “Andrea ...” Sapaannya membuat perempuan itu membuka mata, menatapnya dari atas ke bawah tanpa malu-malu dan tersenyum lebar. “Liam, apa kabar? Silakan duduk.” Liam mengambil posisi di depannya. “Mau minum apa? Pesan sendiri bisa?” Liam mengangguk, memanggil pelayan dan memesan cocktail tanpa alkohol. “Wow, minuman pilihanmu agak di luar dugaan.” “Malam masih ada janji, kurang bijak kalau aku mabuk.” Andrea tertawa lirih, mengangguk kecil. Menegakkan tubuh, ia menatap Liam dengan penuh minat. Ia sudah pernah beberapa kali bertemu Liam, tapi baru kali ini bicara secara pribadi berdua. Ternyata, Liam jauh lebih tampan saat dilihat dari jarak dekat. “Wow, Liam, kamu ternyata sangat tampan dan tubuhmu atletis.” Raier mengernyit, mendengar pujian dari Andrea yang terang-terangan. “Bukannya kita sudah pernah bertemu. Kenapa kamu seperti sedang takjub?” “Karena selama ini jarang memperhatikanmu secara serius. Baru kali ini aku benar-benar mengamatimu, setelah papaku bicara soal akuisisi.” Andrea tersenyum sambil menepuk-nepuk setelannya yang mahal, berupa celana panjang dan blazer hitam. Ia selalu menyukai segala sesuatu yang simple dan praktis, terutama untuk bekerja. Ia punya uang untuk tampil feminin, barangkali membeli pakaian kerja yang trendy. Namun, baginya itu tidak efektif dan tidak menunjukjan jati diri yang sebenarnya. Ia adalah salah satu pewaris Ultima Group, sudah seharusnya berpenampilan tangguh agar orang percaya. Ia merawat tubuh dan wajahnya dengan baik, membayar mahal seorang dokter gizi untuk membantunya mengontrol kalori yang masuk ke tubuh. Penampilannya dengan rambut yang dipotong pendek, mungkin terkesan biasa saja. Tapi, otaknya sa ngat bisa diandalkan. Liam menerima minuman dari pelayan, meneguk perlahan. “Sepertinya kita salah pengertian soal ini. Dari awal aku sudah bilang, tidak berminat soal akuisisi.” Andrea mengernyit. “Kenapa? Kamu bisa dapat keuntungan kalau kita melakukan itu. Lagi pula, syarat yang diajukan papaku mudah.” “Memang mudah, kecuali syarat pribadi.” “Ah, begitu. Kamu keberatan soal menikah denganku? Memangnya sudah kamu pikirkan kalau kita menikah akan seperti apa?” Liam menggeleng. “Sorry, aku nggak minat pernikahan bisnis.” Andrea memajukan posisinya, menatap tajam tanpa senyum. “Bagaimana kalau aku tertarik? Kamu tampan, cukup kaya, dan bisa diandalkan mengelola perusahaan. Menikah denganku, sama saja seperti mendapatkan sepertiga dari Ultima Grup. Apa menurutmu yang kurang dari aku? Wajahku cukup cantik, aku bisa kerja, dan kaya raya. Bukankah kita berdua sangat cocok?” Liam tergoda untuk mengguncang bahu Andrea dan menyadarkan perempuan itu, kalau dalam berumah tangga, syarat-syarat yang disebutkan justru bukan hal penting. Ia tidak berminta menikah dengan perempuan kaya, dan tanpa cinta, karena pada akhirnya justru membuatnya tidak bahagia “Andrea, satu hal yang harus kamu tahu. Kita nggak cocok,” ucapnya tegas. Andrea tetap tersenyum manis. “Pikirkan dulu, jangan buru-buru menolak.” “Sorry udah aku pikirin masak-masak.” “Bagaimana kalau kita coba untuk nge-date berdua?” “Aku kurang minat, lagi pula kita nggak ada waktu untuk itu.” “Kalau begitu, aku menunggumu sampai ada waktu, Liam. Jangan menghindariku terlalu lama.” Keluar dari lounge, pikiran Liam tertuju pada Kamari. Mereka ada janji untuk makan pecel lele bersama dan sekarang waktu hampir menujukkan pukul sepuluh malam. Semoga gadis itu masih menunggunya. Ia tidak menyangka, kalau bicara dengan Andrea ternyata menguras tenaga dan waktu. Perempuan itu terus mendesak soal pernikahan dan membuat dirinya kewalahan. Tiba di depan kos-kosan, Kamari Sudah menunggu di depan gerbang. Liam membuka kaca dan berniat turun untuk membantu membuka pintu tapi Kamari lebih dulu bergerak cepat. “Aku masuk sendiri, Om.” Mereka duduk berdampingan, dengan bibir bertukar senyum. Liam seolah menemukan dunianya kembali melalui cahaya mata Kamari yang berkilau saat menatapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD