01. Zalima, Si Janda Enam Kali

1776 Words
Zalima Cahyaning keluar dari gedung Pengadilan Agama sambil membawa map berisi akta perceraian keenamnya, dengan wajah kesal. Bagaimana tidak kesal, salah satu petugas tadi berani-beraninya melontarkan “saran” yang sama sekali tidak membangun. Bukannya memberi dukungan, yang ada justru menjatuhkan—sekaligus mengejek status Zalima. “Menurut saya, mending Ibu nggak usah nikah lagi. Kayaknya pernikahan nggak cocok buat Ibu. Daripada ujung-ujungnya cerai lagi, mending nikmati hidup menjanda aja. Sayang sih, wajah cantiknya jadi kebuang sia-sia. Apalagi Ibu masih terbilang muda dan belum punya anak juga. Tapi ya mau gimana lagi, mungkin Ibu emang nggak ditakdirkan langgeng berumah tangga.” Begitu katanya, disertai tawa menyebalkan. Hei! Zalima bercerai enam kali bukan karena salah memilih suami. Bukan pula karena gagal menjalankan peran sebagai istri. Tapi ... karena menikah memang pekerjaannya. Jika orang lain menikah demi membangun rumah tangga seumur hidup bersama pria yang dicintai, maka Zalima memilih jalan berbeda. Dia menjadikan pernikahan sebagai ladang profesi. Enam tahun lalu, dia mulai menekuni pekerjaan ini—menjadi istri formalitas bagi pria penyuka sesama jenis. Menjalani pernikahan lavender, dibayar sesuai kesepakatan, bertahan hingga batas waktu yang ditentukan, lalu bercerai dengan alasan klise: sudah tak ada lagi kecocokan. Bukan tanpa alasan Zalima menjalaninya. Dulu, setelah kehilangan papa, mama, dan adiknya dalam kecelakaan beruntun ... lalu putus dengan kekasihnya semasa kuliah, Zalima sempat merasa hidupnya kehilangan arah. Tujuan yang pernah dia genggam mendadak menguap, meninggalkan kehampaan yang tak bisa dia isi dengan apa pun. Kesulitan ekonomi pun datang seperti jerat yang mencekik—memaksa Zalima memutar otak demi bertahan di tengah hantaman masalah hidup yang datang bertubi-tubi. Sampai akhirnya, dia bertemu lagi dengan mantan dosen pembimbing kuliahnya—yang kemudian menjadi suami pertamanya. Zalima bahkan sudah lupa namanya, saking lamanya waktu berlalu. Tapi dia masih ingat satu hal: pria itu sedang didesak keluarganya untuk segera menikah karena usianya sudah lewat pertengahan kepala tiga. Sayangnya, situasi tidak memungkinkan. Pria itu tidak menyukai perempuan. SSA (Same-s*x Attraction). Tanpa ragu, Zalima menawarkan diri untuk menjadi istrinya. Terlebih setelah mendengar iming-iming bayaran sebanyak seratus juta rupiah untuk satu tahun pernikahan. Saat itu, cinta bukan lagi prioritas. Uang—yang bisa menyelamatkannya dari keterpurukan—lebih penting. Maka tanpa pikir panjang, Zalima pun menikah untuk pertama kalinya. Dan dari sanalah semuanya bermula. Setelah perceraian pertamanya dan mengantongi bayaran seratus juta, Zalima akhirnya menekuni peran itu sebagai sebuah pekerjaan. Dari pria SSA pertama, berlanjut ke pria SSA kedua, ketiga, hingga yang terakhir—yang keenam. Total pernikahan yang telah dijalaninya: enam kali dalam kurun waktu enam tahun. Dan dari keenam pernikahan itu, Zalima berhasil mengumpulkan total enam ratus juta. Murni. Tanpa potongan untuk biaya hidup—karena semua kebutuhan selama pernikahan sampai perceraian selalu ditanggung suami kontraknya. Namun menjadi istri bayaran tak selalu menyenangkan. Terus-menerus berpura-pura, terjebak dalam status sakral yang tak benar-benar sakral, hanya demi melindungi penyimpangan yang disembunyikan rapat-rapat. Dan ketika pernikahan keenamnya berakhir seperti yang sudah-sudah, Zalima mulai terpikir satu hal: dia ingin pensiun. Tepat di usia tiga puluh tahun. Jika menghitung dari usianya sekarang—dua puluh sembilan tahun lewat delapan bulan—itu berarti hanya tersisa empat bulan menuju tenggat waktu yang dia tentukan sendiri. Empat bulan terakhir itu, rencananya akan dia isi dengan berbagai persiapan. Zalima ingin pindah ke luar negeri dan menikmati hidup sebagai perempuan mandiri. Uang yang dia kumpulkan selama ini sudah lebih dari cukup untuk membiayai separuh hidupnya di sana. Tadinya, setelah keluar dari Pengadilan Agama, dia berencana langsung mulai mencicil pengurusan dokumen dan administrasi keberangkatan. Sayang, rencana itu terpaksa ditunda—karena suasana hatinya mendadak berantakan. Zalima masuk ke dalam mobil, melempar map akta cerai ke jok belakang, lalu memasang sabuk pengaman, menyalakan mesin, dan melajukan mobil keluar dari area parkir. Jalanan cukup lengang di jam kerja, tapi pikirannya terasa tegang. Saat ini, hanya satu hal yang terlintas di benaknya: mengunjungi salah satu kafe langganan untuk menenangkan diri. Mungkin sepotong cheesecake bisa sedikit menenangkan hatinya yang sedang panas. Zalima butuh sesuatu yang manis—untuk menetralisir kesal yang tak bisa dia abaikan saat ini. *** Pukul lima sore, Zalima baru pulang ke apartemen, setelah berjam-jam menghabiskan waktu di kafe. Namun, alih-alih langsung menuju unitnya, dia memilih berhenti di depan pintu apartemen sebelah—tepat di samping tempat tinggalnya. Dengan santai, dia menekan bel. Beberapa detik berlalu sebelum pintu terbuka. Muncullah seorang wanita dengan tampilan khas pegawai kantoran—blazer kusut, bare face, dan jejak hitam samar di bawah mata. Tanda kalau dia baru saja menghapus riasan wajahnya. “Boleh gue masuk?” tanya Zalima, sambil menyeringai tipis. Wanita itu—Arumi Larasati, satu-satunya sahabatnya sejak SMA sekaligus tetangganya—langsung memutar bola mata, malas. Tanpa menjawab, dia menyingkir dari ambang pintu. Sebuah isyarat tak tertulis untuk mempersilakan masuk. “Pake nanya lagi,” gerutunya. “Gue kira siapa ... ternyata si janda enam kali. Sekali lagi lo cerai, hidup lo bakal kayak lagu Naya Revina.” Zalima langsung terbahak. Tawanya begitu lepas, tanpa bisa ditahan. Begitu masuk ke dalam unit Arumi, tanpa basa-basi dia langsung menuju ruang tengah. Meletakkan map, tas, dan paper bag dari kafe langganannya di atas meja, lalu menjatuhkan diri ke sofa panjang. Menyelonjorkan kaki seenaknya. “Gue beliin tiramisu kesukaan lo,” katanya sambil menunjuk ke arah paper bag. “Jadi, buruan mandi. Ada yang mau gue ceritain.” “Udah gue duga. Nggak mungkin lo datang jam segini tanpa alasan.” Arumi mendengkus pendek, tapi tetap melangkah masuk ke kamarnya. Menuruti permintaan Zalima tanpa banyak protes. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia keluar dengan tampilan lebih santai—celana pendek, kaus kebesaran, rambutnya tergerai usai dikeringkan, dan bibir hanya dipoles lip balm. Di kedua tangannya, ada dua kaleng soda dingin yang sempat diambil dari kulkas. Yang akan menemani mereka ngobrol sore ini. “Mau cerita apa lo?” tanyanya, duduk di sebelah Zalima sambil menyingkirkan kaki sahabatnya itu yang mengambil terlalu banyak tempat di sofa. Dia lalu menyerahkan sekaleng soda ke tangan Zalima. Zalima menyeruput sedikit soda sebelum menjawab santai, “Gue ketemu orang nyebelin di pengadilan.” “Gue tebak, pasti cewek.” “Tepat sekali. Usianya mungkin lebih muda dari gue, tapi soal muka ... jauh lebih cantikkan gue.” “Ya, ya. Lo dan kepercayaan diri lo itu ... siapa juga yang bisa ngalahin, sih?” Zalima langsung mengibaskan rambutnya dengan gaya sombong. “Of course, I’m always the winner.” Arumi pura-pura muntah melihatnya, lalu ikut membuka kaleng soda. Dia meneguknya panjang, seolah tingkah Zalima barusan membuat tenggorokannya kering dan gatal. “Oke, kembali ke topik,” celetuk Zalima kemudian. “Dia bilang, mending gue nggak usah nikah lagi. Katanya, pernikahan dan kehidupan rumah tangga itu nggak cocok buat gue ...” Dan mengalirlah cerita dari mulut Zalima, tanpa satu detail pun terlewat. Bahkan, dia sempat menirukan ekspresi si petugas pengadilan—dari cara bicara, tawa mengejek, sampai raut masamnya ketika Zalima pergi begitu saja tanpa menanggapi. “Kalau aja itu bukan kantor resmi, udah gue jambak rambutnya sampe rontok. Lihat orang cerai bukannya prihatin, malah diceramahin. Ya kalau ceramahnya bagus, sih, nggak masalah. Lah ini ... berlagak sok tau hidup orang, jatohnya ngatain, bukan nasihatin.” “Berarti dia tau riwayat perceraian lo sebelumnya? Tapi ... buat apa?” tanya Arumi, alisnya bertaut. “Nah, itu dia. Gue juga bingung. Beberapa perceraian gue ‘kan dilakuin di pengadilan yang beda wilayah. Nggak bakal disebutin secara resmi dalam gugatan atau dokumen pengantar.” Arumi tampak berpikir sejenak, sebelum tiba-tiba menjentikkan jarinya. “Mungkin dia denger dari mantan mertua lo. Yang terakhir ini kata lo ikut terus nemenin anaknya ke persidangan. Lo ‘kan nggak datang karena posisinya sebagai tergugat.” “Ah, bisa jadi,” Zalima mengangguk-angguk, mengakui tebakan Arumi terdengar cukup masuk akal. “Emang, sih. Mertua gue yang terakhir itu mulutnya ember. Dia nyalahin gue habis-habisan soal perceraian. Apalagi gue nggak hamil, sempet dituduh mandul segala. Terus ngungkit-ungkit pernikahan lama gue. Padahal si lampir itu nggak tahu aja ... anaknya bahkan nggak nafsu sama cewek. Gimana bisa punya anak coba?” Tawa Arumi langsung pecah. Dia tergelak sampai matanya berkaca-kaca, sementara Zalima hanya manyun dan mengerucutkan bibir. “Lagian lo juga ada-ada aja. Jadiin nikah sebagai kerjaan, dan sampai enam kali pula. Ya orang pasti mikir lo yang bermasalah.” Zalima hanya cengengesan mendengarnya. “Yang pertama ‘kan karena gue butuh uang banget. Makanya nggak mikir panjang. Eh ... keterusan deh sampai sekarang. Soalnya, selain enak, juga nguntungin.” Arumi menggeleng-gelengkan kepala, masih sambil menyeka air matanya. “Terus, rencana lo sekarang apa?” tanyanya, nada suaranya mulai serius. “Mau cari klien baru lagi?” “Mm ... gue mau pensiun.” “Serius, Za?” “Iya,” angguk Zalima mantap. “Tabungan gue udah cukup. Umur gue juga sebentar lagi 30. Jadi, selama empat bulan ke depan, gue mau fokus ngurusin ini-itu buat pindah ke luar negeri.” “Ya ampun, tiba-tiba banget?! Gue sedih mikirin harus pisah jauh sama lo.” Tanpa aba-aba, Arumi langsung memeluk Zalima erat. “Kenapa nggak bilang dari dulu, sih? Kaget banget gue dengarnya.” “Khawatirnya batal, Rum. Makanya gue simpen rapat-rapat. Gue baru mau kasih tau kalau rencananya udah fix. Dan sekarang ... waktunya udah pas.” Arumi menghela napas berat. Lalu dia menarik diri pelan, menatap Zalima lekat-lekat, kedua tangannya masih menggenggam bahu sahabatnya. “Selama empat bulan ini, ayo habisin lebih banyak waktu bareng. Soalnya nanti susah ketemu lo lagi. Gue bakal kangen berat sama lo, Za.” “Tentu aja. Mari kita buat kenangan sebanyak mungkin. Lo satu-satunya sahabat yang gue punya di sini, Rumi. Sekalipun nanti gue tinggal di Jerman, gue bakal pastiin selalu ngabarin lo soal hidup gue di sana.” Setelah lebih dari dua jam mereka berbagi cerita—dari kekesalan, tawa, sampai rencana pensiun—akhirnya Zalima pamit dan kembali ke unit apartemennya sendiri. Keheningan langsung menyambut saat dia membuka pintu. Ruangan yang gelap berubah terang begitu dia menekan saklar lampu. Awalnya Zalima berniat akan berendam. Tubuhnya terasa pegal dan lengket, dan rasanya air hangat bisa jadi pelipur sempurna malam ini. Namun, niat itu terhenti saat dia baru melangkah masuk ke kamar dan ponselnya tiba-tiba bergetar—pertanda ada pesan masuk. Zalima mengangkat ponsel, sekadar ingin memeriksa. Tapi begitu melihat layar, langkahnya terhenti. Sebuah nomor tak dikenal muncul, namun entah mengapa ... begitu familiar. Dan bukan hanya nomor itu yang membuatnya terpaku. Isi pesannya membuat darahnya seketika berhenti mengalir. +62 8xx xxxx xxxx: [Zalima Cahyaning, ini Raden Prajaka Bumi Dirgantara. Mari kita bertemu. Aku ingin membuat kontrak denganmu.] Lama dia menatap layar itu. Napasnya tertahan, pandangannya tak lepas dari pesan singkat yang terasa terlalu padat dengan makna. Akhirnya, jemarinya mulai bergerak. Dia mengetik balasan pelan-pelan. Zalima: [Kapan dan di mana?] ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD