02. Tawaran Kontrak

1650 Words
Bunyi lonceng berdenting pelan saat Zalima memasuki kafe. Suasana sore itu cukup ramai, namun tidak terlalu bising—cocok untuk pertemuan penting yang tengah dia jalani. Dia menahan langkah sejenak di ambang pintu, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Wajah-wajah asing menyambut matanya, hingga akhirnya, dari meja paling sudut, seseorang mengangkat tangan. Pandangan mereka kemudian bertemu. Hanya sekilas, tapi cukup untuk membawa Zalima kembali ke kenangan masa lalu. Itu memang dia. Versi dewasa dari pria yang dulu sempat mengisi sebagian besar hidupnya. Raden Prajaka Bumi Dirgantara. Wajahnya sedikit berubah—lebih tajam, lebih tegas, lebih ... memesona. Usia telah membentuknya dengan presisi yang nyaris sempurna, menambah sisi dewasa yang dulu belum dia miliki. Namun, sorot matanya masih sama: penuh perhitungan, tenang, dan sulit ditembus. Anehnya, Zalima kini merasa seolah sedang menatap orang asing—seseorang yang pernah begitu dia kenal, namun kini terasa jauh, nyaris tak tersentuh. Dia menarik napas, lalu melangkah mantap ke arah meja itu. “Hai, maaf terlambat. Tadi sempat terjebak macet di depan,” sapanya, menjaga nada suaranya tetap tenang. “Tak masalah. Silakan duduk.” Zalima duduk. Kursinya bahkan belum terasa hangat ketika kalimat pria itu tiba-tiba keluar—begitu saja. “Menikahlah denganku. Untuk tiga bulan saja.” Dia tidak sepenuhnya kaget. Lebih tepatnya, tidak punya alasan untuk kaget. Karena kalau bukan karena hal semacam ini, untuk apa mantan kekasih yang sudah lama menghilang tiba-tiba muncul kembali? Kalau ditanya apakah jantungnya berdebar karena ajakan itu? Tidak. Sama sekali tidak. Perasaan itu—yang dulu sempat hidup dengan liar di dadanya—sudah lama mati. Terisap oleh waktu. Terkubur bersama kenangan yang tak pernah ingin dia gali lagi. “Bukankah itu pekerjaanmu? Menjadi istri kontrak bagi pria yang membutuhkan.” Alis Zalima sempat terangkat. Lalu turun perlahan, digantikan senyum tipis yang terasa lebih seperti ironi daripada keramahan. “Dari mana Kakak tah—maksudku, dari mana kamu tahu pekerjaanku?” “Mantan suami terakhirmu. Dia rekan kerjaku. Katanya kau sangat profesional. Wanita yang bisa kubayar untuk sebuah pernikahan singkat. Tanpa melibatkan perasaan.” Zalima menyandarkan punggung pada kursi. Tepat saat itu, waitress datang membawa dua minuman. Pandangannya terarah pada gelas yang diletakkan di hadapannya sebelum mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. “Vanilla latte is still your favorite drink, right?” tanya Prajaka. Zalima kembali menatap gelas itu beberapa detik, lalu menggeleng. Tanpa banyak bicara, dia menukar minumannya dengan iced americano milik Prajaka. “Rasa manis memang memanjakan lidah, tapi yang pahit justru lebih realistis,” ujarnya santai. “Aku lebih menyukai americano sekarang. Dan, terima kasih untuk minumannya.” Prajaka diam. Dia memerhatikan setiap gerakan Zalima—cara wanita itu menyesap, menaruh kembali gelas, hingga merapikan helaian rambut yang jatuh ke dahi. Semuanya berbeda. Tapi entah kenapa, terasa lebih menarik dari yang dia ingat. “Jadi?” tanya Prajaka, lagi. “Apa kau mau menerima tawaranku? Berapa pun bayaran yang kau minta, aku tak keberatan.” Zalima mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Tatapannya lurus, tajam, tapi tidak mengintimidasi. “Apa alasanmu?” tanyanya. “Semua klienku selalu menjelaskan motif mereka sebelum menikahiku. Bukankah lebih mudah bekerja sama jika aku tahu alasannya?” Prajaka sempat diam. Tarikan napasnya berat, seperti sedang menimbang sesuatu yang rumit. “Aku ... ingin rujuk dengan mantan istriku. Tapi karena sudah kutalak dua dan perceraian kami diketahui publik, kami harus berhati-hati. Reputasi keluarga dan sorotan media juga jadi pertimbangan. Jadi, aku butuh pengalihan—seseorang yang bisa kupamerkan. Seseorang yang tampak sah sebagai istri ... meskipun hanya untuk tiga bulan.” Sebelah alis Zalima terangkat—seolah mempertanyakan, mengapa harus serumit itu hanya demi rujuk? Tapi dia memilih diam. Bukan urusannya juga. Tak perlu menggali lebih jauh dari yang perlu. Bagi Zalima, alasan itu sudah cukup. Terlebih, tawaran ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Tiga bulan adalah waktu yang singkat—pasti akan cepat berlalu. Dan bayaran yang dijanjikan bisa menjadi pesangon terakhir sebelum dia benar-benar pensiun dari profesinya sebagai istri kontrak, lalu memulai hidup baru di luar negeri. Maka, dengan satu uluran tangan dan senyum formalitas khas saat berhadapan dengan klien, Zalima pun mengangguk mantap. “Baiklah,” ucapnya. “Mari kita lakukan ... pernikahan itu.” Tak mengapa jika ada sedikit perubahan dalam rencana pensiunnya. Lagi pula, dia masih punya waktu untuk mengurus kepindahan kewarganegaraan sambil melakukan pekerjaan terakhirnya. Dan begitu kontrak ini selesai—dia akan pergi. Tidak menoleh ke belakang lagi. Prajaka kemudian menyambut uluran tangannya. Tatapannya sedikit lega, meski tetap tak sepenuhnya terbaca. “Keputusan yang tepat, Zalima. Mari kita bahas detail kontraknya ... dan berapa bayaran yang kau minta, di pertemuan selanjutnya.” *** Raden Prajaka Bumi Dirgantara, tiga puluh dua tahun, anak bungsu keluarga Dirgantara—salah satu konglomerat ternama di Indonesia. Dia menjabat sebagai direktur di perusahaan produsen mi instan ternama. Berparas tampan, bertinggi 185 sentimeter, hidupnya tampak sempurna: sukses, mapan, dan terlahir dari keluarga terpandang. Tapi dalam urusan cinta, dia bernasib buntung. Bagaimana tidak buntung, delapan bulan lalu skandal perselingkuhan istrinya terkuak. Beberapa media ramai memberitakan, bahkan tak sedikit reporter memburu Prajaka hanya untuk mendapatkan tanggapannya. Skandal itu cukup menghebohkan hingga membuat perusahaan dan reputasi dua keluarga ikut terguncang. Saham keluarga Dirgantara sempat anjlok, begitu juga dengan nama baik keluarga istrinya. Untuk meredam situasi, Papi Prajaka—Raden Mahendra Dirgantara—memerintahkannya untuk menutup kekacauan itu dengan kekuasaan. Sementara sang Mami—Ayu Kusumaningrum Handriatmadja—dengan tegas memintanya segera menceraikan istrinya. Tak punya pilihan lain, Prajaka pun melakukannya. Dan seperti biasa, dia melakukannya dengan sempurna. Kini, saat situasi sudah kembali stabil dan publik sudah menerima kenyataan bahwa dia seorang duda, muncul kenyataan lain yang tak bisa dia kendalikan. Meski diselingkuhi, nyatanya dia tidak benar-benar bisa membenci mantan istrinya. Pernikahan dua tahun mereka memang kandas karena pengkhianatan, tapi masih ada sisa cinta yang tersimpan untuk Stevani Ayudya Poernomo—sang mantan istri. Lalu ketika wanita itu datang, memohon-mohon kesempatan kedua dan ingin rujuk, Prajaka tak sanggup menolaknya. Cinta memang bisa membuat seseorang jadi bodoh—memaafkan hal-hal yang seharusnya tak termaafkan. Dan saat Stevani bersimpuh, meminta kesempatan kedua, Prajaka pun luluh. Namun tak semudah itu untuk kembali percaya. Prajaka pun memberinya syarat: jika ingin rujuk, maka tunggulah sampai dia menikahi wanita lain. Bukan sekadar bentuk “hukuman”, tapi juga ujian. Dia ingin tahu apakah kecemburuan bisa membuktikan bahwa penyesalan Stevani memang tulus. Kemudian, saat mendengar rekan bisnisnya pernah menikah kontrak dengan seorang wanita profesional, Prajaka tertarik. Dia segera mencari tahu. Dan sampailah dia pada nama Zalima Cahyaning. Wanita dari masa lalu, yang sama sekali tak pernah dia duga—ternyata menjalani pekerjaan ini. Pertemuan mereka di kafe tadi berakhir dengan sebuah kesepakatan: Zalima bersedia menjadi istri kontraknya selama tiga bulan. Prajaka sedikit lega, ternyata semudah itu menggunakan jasanya. Padahal, sempat dia kira akan lebih rumit, mengingat Zalima sempat menanyakan alasan mengapa dia membutuhkan pernikahan sementara. Dan kini, dia pulang dengan satu urusan selesai. Di pertemuan selanjutnya, dia akan memberitahukan apa saja yang harus Zalima lakukan selama menjadi istrinya—dan apa saja yang akan diterimanya dari Prajaka. Rencana ini sudah cukup matang hingga Prajaka yakin, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Terlepas dari apa pun yang pernah terjadi di masa lalu, dia percaya, baik dirinya maupun Zalima tidak akan mencampuradukkan perasaan lama ke dalam urusan profesional. Kisah di antara mereka sudah selesai. Hanya tinggal kenangan. Tak ada ruang untuk bernostalgia. Prajaka kini mencintai orang lain. Dan Zalima, katanya, sangat profesional dalam pekerjaannya. “Pak, ke mana tujuan kita selanjutnya?” Pertanyaan sang sopir menyadarkan Prajaka dari lamunannya. Tatapan yang semula tertuju ke luar jendela kini berpaling ke depan. “Ke rumah utama Dirgantara. Ada hal yang harus kubicarakan dengan mami.” “Baik,” angguk sopir itu patuh, lalu kembali fokus menyetir dan perlahan menambah laju kendaraan. Dua puluh menit kemudian, mereka memasuki halaman kediaman keluarga Dirgantara. Begitu pintu dibukakan, Prajaka segera turun dari mobil. Sambil mengancing kembali jasnya yang sempat terbuka, dia menaiki beberapa anak tangga. Pintu rumah sudah dibukakan dari dalam sebelum sempat dia dorong. Dua pelayan membungkuk menyambut kedatangannya. Prajaka hanya membalas dengan anggukan, sambil bertanya, “Di mana mami sekarang?” “Di rumah kaca, Tuan Muda,” jawab salah satu pelayan, dengan sopan. Prajaka langsung melangkah ke arah yang dimaksud. Begitu memasuki rumah kaca, aroma segar dari berbagai bunga langsung menyambutnya. Berbagai jenis tanaman tertata rapi—entah apa saja namanya, dia tidak tahu. Dan tidak tertarik untuk tahu. Tujuannya hanya satu: bertemu dan berbicara dengan Mami. “Mi, bisa minta waktu sebentar?” tanyanya, setelah jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah. Di hadapannya, sang Mami tengah membelakangi—sibuk memangkas daun-daun yang menguning. “Ada yang ingin aku sampaikan.” Spontan, Nyonya Ayu Kusumaningrum Handriatmadja menoleh. Senyumnya mengembang, bersamaan dengan gerakannya meletakkan gunting dan melepas sarung tangan berkebun. “Baru datang, Sayang?” “Iya, Mi.” “Ayo duduk di sana,” tunjuknya pada kursi panjang di sudut rumah kaca. “Mami akan dengarkan apa yang ingin kamu sampaikan.” Prajaka mengikuti, duduk dengan patuh. Setelah mereka sama-sama duduk, Nyonya Ayu memusatkan perhatian pada putra bungsunya, sementara Prajaka menarik napas perlahan. Dia butuh jeda sesaat sebelum akhirnya berkata, “Aku sudah menemukan kandidat istri kontrak.” Seketika, raut wajah Nyonya Ayu berubah. Senyumnya hilang, digantikan oleh sorot datar yang menyiratkan amarah yang ditahan. “Kamu benar-benar serius ingin rujuk dengan wanita yang sudah menyelingkuhimu, Praja?” “Iya, Mi. Aku masih mencintai Stevani.” “Mami tidak menyangka kalau cinta bisa membuat anak bungsu Mami jadi sebodoh ini.” Prajaka tidak merespons. Meski kata-kata itu menyinggung, dia tak menyangkal. Karena memang benar—dia bodoh karena cinta. “Meskipun kami menentang, kamu tetap akan melakukannya?” “Ya,” jawab Prajaka, tanpa ragu sedikit pun. “Benar-benar b***k cinta,” gumam Nyonya Ayu, lalu tersenyum miris sambil menggeleng pelan. Selanjutnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah kalimat yang dingin tapi penuh makna, “Lakukanlah seperti keinginanmu, Praja. Mami tidak akan bicara lagi, karena tahu kamu tidak pernah benar-benar mau mendengarkan Mami.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD