Zalima: [Sini ke apart gue, gue udah masak ayam chili padi kesukaan lo.]
Lima menit setelah pesan itu dikirim, terdengar bunyi bel ditekan tanpa jeda. Zalima langsung memutar bola mata malas sebelum beranjak ke depan untuk membukakan pintu.
Arumi masuk sambil terus memainkan ponselnya—mungkin sedang chatting dengan sang pacar.
“Pas banget lo nge-chat. Telat dikit, gue udah pesan pecel lele buat makan malam,” ujarnya tanpa menatap Zalima sedikit pun.
“Emang lagi hoki aja lo, nggak jadi keluar duit dan makan di tempat gue.”
Sedetik kemudian, mereka langsung pindah ke dapur. Semua sudah tersaji rapi di atas meja. Arumi tinggal cuci tangan, lalu duduk manis menikmati masakan Zalima.
Sedikit informasi, Zalima memang pandai memasak. Tinggal seorang diri membuatnya harus mandiri dalam banyak hal.
Meski semua mantan suaminya kaya dan di rumah selalu ada asisten yang membantu, Zalima tetap menggunakan keahliannya di dapur. Baginya, segala bentuk pelayanan dan kenyamanan bisa habis kapan saja—dan karenanya, dia tidak boleh terlena, apalagi sampai lupa diri.
“Udah, stop dulu main hapenya napa? Entar keburu dingin, jadi nggak enak lagi,” gerutu Zalima, yang mulai gemas melihat Arumi masih belum juga melepas benda tipis itu. “Minta Mas Adjie nunggu, sementara lo makan.”
“Oke, bentar.”
Beberapa detik kemudian, Arumi akhirnya menyimpan ponselnya ke saku piyama tidur. Kepalanya mendongak menatap Zalima, bibirnya menyunggingkan cengiran.
“Sorry.”
Zalima tak merespons, hanya mendengkus singkat. Dia mulai menyendokkan nasi ke dalam piring dan memberikannya pada Arumi.
“Makan yang banyak. Gue masak ini khusus buat lo. Gue bakal senang kalo makanannya abis.”
“Tenang aja, Za. Soal itu gue ahlinya.”
Makan malam pun dimulai. Baik Zalima maupun Arumi sama-sama menikmati.
Dari ekspresi Arumi, terlihat jelas bahwa dia puas. Matanya sampai memejam, kepalanya geleng-geleng kecil—kebiasaan khas kalau dia sangat menyukai sesuatu.
“Kalo gue cowok, gue juga bakal jadiin lo istri, Za. Soalnya lo ahli dalam berbagai hal. Bersih-bersih, masak, di ... ranjang itu udah pasti.”
Zalima langsung terbahak. “Tau dari mana lo gue hebat di ranjang?”
“Ya ‘kan mantan suami lo banyak. Otomatis skill lo terasah, teori lo udah pasti di atas rata-rata. Ya ... walaupun mantan suami lo nafsunya cuma sama cowok.”
Zalima mendengkus, menggeleng pelan. Dia sempat minum air putih saat rasa pedas mulai memenuhi lidah, tapi itu tak menghentikannya. Dia justru mengambil satu potong ayam lagi dan menyantapnya tanpa nasi.
“Ngomong-ngomong soal suami,” ujarnya di sela mengunyah, “gue ambil job lagi. Terakhir kalinya sebelum gue berhenti.”
Gerakan Arumi yang hendak menyuap nasi langsung terhenti. Dia menatap Zalima dengan heran.
“Tiba-tiba. Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa, anggap aja job ini sebagai pesangon sebelum pensiun.” Kedua bahunya terangkat, sementara ekspresinya terlihat acuh.
“Tapi kontrak kali ini agak beda. Waktunya singkat, nikahnya cuma tiga bulan. Dan kliennya ... bukan SSA, gay, atau semacamnya.”
“Lho? Terus buat apa dia butuh istri kontrak kalo dia straight? Mending nikah beneran aja nggak, sih?”
“Lo inget Kak Praja, nggak?” Zalima balik bertanya, alih-alih menjawab langsung. “Mantan gue pas masih kuliah.”
“Inget. Yang anak orang kaya itu, kan? Yang kata lo putusnya baik-baik karena dia lanjut S2 ke luar negeri. Padahal lo sempat kayak orang depresi setelah ditinggal dia.”
Zalima mengangguk singkat.
“Terus, apa hubungannya sama Kak Praja?”
“Dia kliennya.”
“Sumpah demi apa?!”
“Demi langit, bumi, dan seisinya.”
Mata Arumi langsung melotot, mulutnya terbuka setengah. “Kok bisa?” gumamnya tak percaya. “Dari mana dia tau kerjaan lo? Dan apa tujuannya nikah kontrak sama lo?”
Zalima sempat menghela napas, lalu menjawab satu per satu.
“Dari mantan suami keenam gue. Katanya mau rujuk sama mantan istrinya. Tapi karena kasus perceraian mereka udah jadi konsumsi publik, dia butuh pengalihan. Jadi mesti nikah dulu sama orang lain buat alihin isu. Gue juga nggak paham semua detailnya, tapi ... ya, kira-kira begitu.”
“Rujuk? Ah, wait.” Arumi tiba-tiba bangkit dari kursinya, berlari kecil ke wastafel untuk cuci tangan. Makannya sengaja dijeda. Karena ada hal penting yang ingin dia tunjukkan.
Beberapa detik kemudian, dia kembali. Kali ini mengitari meja, menghampiri Zalima sambil mengeluarkan ponsel dari saku piyama.
Setelah melakukan pencarian singkat di internet, berbagai berita tentang Prajaka dan Stevani—mantan istrinya—pun muncul. Zalima terdiam membacanya, sementara Arumi diam-diam mengamati reaksinya.
“Pantas Kak Praja butuh pengalihan,” gumam Zalima akhirnya. “Soalnya mereka cerai karena istrinya selingkuh dan ke-gep di hotel.” Dia lalu menghela napas. “Berarti berita ini sempat viral beberapa bulan lalu, ya? Kok, gue nggak tau?”
“Waktu itu lo nemenin suami lo dinas ke luar negeri beberapa bulan. Wajar aja ketinggalan info.”
“Oh iya, bener juga.” Zalima mengangguk, baru teringat.
“Rum, ternyata rumit banget ya kisah cinta anak konglomerat. Nggak nyangka gue jadi ikut-ikutan terlibat.”
“Ya lo juga aneh, malah nerima.” Arumi menatap Zalima lama. “Ngaku deh, lo terima tawaran ini ... karena masih ada sisa perasaan masa lalu, kan?”
Zalima meringis. “Sedikit,” jawabnya pelan.
“’Kan! Udah bisa gue tebak.”
“Tapi tenang aja, gue profesional, kok. Perasaan mah lewat. Sekarang yang penting duit. Lagian, bayarannya menggiurkan.”
Arumi mendengkus. Zalima malah cengengesan.
“Dasar mata duitan!” gerutunya.
Arumi kembali ke kursinya dan melanjutkan makan malam yang sempat tertunda.
“Hm, Za ... gue kayaknya agak paham deh alasan Kak Praja milih nikah kontrak sebelum balikan sama Stevani,” ujarnya di sela mengunyah.
“Apa tuh?” tanya Zalima, sambil menjilat sisa sambal chili padi di jarinya. Arumi langsung mengernyit jijik melihatnya.
“Bisa jadi dia mau kasih pelajaran. Istrinya ‘kan selingkuh, nah ... dia juga bisa ‘jalan sama cewek lain’. Walaupun caranya beda.”
“Ah, masuk akal juga!”
“Ya, kan? Orang secerdas dia, meski bucin tetap pakai logika lah. Mana cowok lagi.”
Zalima mengangguk setuju. Dia tahu betul sisi itu dari Prajaka. Makanya, dia merasa asumsi Arumi sembilan puluh sembilan persen valid.
“Nah, karena lo yang jadi istri kontraknya, pesan gue cuma satu.”
“Apa, tuh?”
“Jangan sampe CLBK. Bisa gagal tuh rencana pindah ke luar negeri.”
“Yeee, mana ada!” Zalima langsung mendengkus dan melempar sebutir nasi ke arah Arumi.
Sementara Arumi terbahak karena kata-katanya sendiri dan respons Zalima.
***
Tempat pertemuan kedua mereka berada di ruang privat salah satu hotel berbintang lima di Jakarta. Kali ini pun, Prajaka datang sendiri—tanpa sekretaris, asisten, atau bahkan pengacaranya.
Sambil menunggu pesanan makan siang diantarkan, Prajaka menyerahkan berkas kontrak yang belum ditandatangani pada Zalima, isyarat agar dia segera membaca.
“Durasi kontrak sembilan puluh hari, atau singkatnya tiga bulan,” ucap Prajaka menjelaskan, tepat ketika Zalima membaca poin pertama.
“Selama menikah denganku, kita wajib tampil bersama dalam acara ulang tahun mami dan agenda keluarga lainnya, peluncuran produk baru perusahaan, serta gala dinner.”
Dia menambahkan dengan nada datar, “Tentu saja kita harus tinggal bersama untuk menjaga image. Supaya semua tampak nyata—bukan pura-pura atau sekadar pengalihan isu. Dan satu hal penting: kau tidak boleh menjalin hubungan dengan siapa pun selama kontrak berjalan. Demi citra pasangan yang ideal.”
Zalima mengangguk singkat. “Ada lagi?” tanyanya, melirik dari balik bulu matanya.
“Itu saja dariku.”
“Baik. Sekarang giliranku.”
Zalima meletakkan berkas yang sudah selesai dia baca, lalu mendorongnya pelan ke arah Prajaka.
“Aku tahu ini mungkin terdengar konyol, tapi biar kutegaskan: Pertama, nggak boleh menyentuh apalagi melibatkan perasaan. Kedua, harus ada batas privasi—termasuk kamar terpisah dan waktu pribadi. Terakhir, pembayaran dilakukan separuh di awal dan sisanya di akhir, dengan penalti kalau kontrak tiba-tiba diputus sepihak.”
Sudut bibir kiri Prajaka terangkat membentuk senyum miring. “Sure,” sahutnya singkat. “Katakan saja nominalnya. Aku akan bayar.”
“200 juta.”
“Sebutkan nomor rekeningmu.”
Zalima sempat menaikkan alis, sedikit kaget dengan respons cepat itu, namun segera kembali memasang wajah datar dan menyebutkan sederet angka.
Beberapa detik kemudian, ponsel dalam tas Zalima bergetar. Prajaka memberi isyarat dengan dagunya, menyuruhnya memeriksa.
Tatapan Zalima langsung tertuju ke layar ponsel saat sebuah notifikasi muncul—transfer sebesar seratus juta rupiah telah berhasil diterima.
Dengan satu anggukan singkat, dia menyimpan kembali ponsel ke dalam tas, lalu menatap Prajaka.
“Kapan kontrak dimulai?”
“Dua minggu lagi. Dan tepat di hari itu, kita akan menikah,” jawab Prajaka. “Selama waktu itu, aku akan menyiapkan pertemuanmu dengan keluarga Dirgantara. Persiapkan dirimu untuk menghadapi pertanyaan dari mereka.”
“Baiklah.”
“Sebagai syarat tambahan,” lanjut Prajaka, “aku ingin kau sedikit lebih hangat di depan orang tuaku. Dan mungkin aku akan memintamu berakting sebagai pasangan mesra jika ada media atau keluarga kami yang lain.”
“Tentu.” Zalima mengangguk mantap.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan diketuk. Dua pelayan masuk membawa pesanan mereka.
Selama para pelayan menata hidangan di atas meja, keduanya tak saling bicara. Yang ada hanya tatapan yang saling bertaut—datar, dalam, dan terlalu lama untuk disebut kebetulan.
“Selamat menikmati,” ucap salah satu pelayan, lalu mereka mundur keluar.
Begitu pintu tertutup, Prajaka menjadi orang pertama yang memecah keheningan.
“Kau benar-benar berubah, Zalima. Dulu kau tak setangguh ini.”
Raut wajah Zalima langsung kaku.
“Dulu aku punya hati,” katanya datar. “Sekarang aku cuma punya harga.”
Prajaka sempat terdiam mendengarnya. Setelah jeda yang singkat, dia hanya mengangguk pelan, tidak berniat menanyakan maksud kalimat itu lebih jauh, lalu mempersilakan Zalima menikmati makanannya.
***