04. Makan Malam Keluarga Dirgantara

1938 Words
Zalima diam-diam berswafoto dan mengirimkannya detik itu juga pada Arumi. Zalima: [Pertama kali nih gue naik BMW XM. Agak grogi, takut ngegores kursinya. Tapi kalo itu kejadian, kira-kira bakal disuruh ganti nggak, ya?] Tak lama kemudian masuk balasan dari Arumi, yang setelah membacanya, Zalima tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Arumi: [Norak lo! Awas kalo disuruh ganti, entar tabungan hasil kawin lo ludes!] Prajaka yang ada di sebelah Zalima tentu saja dibuat penasaran dengan apa yang membuat wanita itu tertawa. Dia bahkan melirik wajah Zalima dan ponselnya bergantian, seolah berusaha menemukan jawabannya lewat pengamatan itu. Namun, karena tak menemukan apa-apa, Prajaka pun akhirnya bertanya, “Apa ada hal lucu terjadi?” Jari-jari Zalima yang sedang sibuk mengetik balasan di atas layar ponsel langsung terhenti. Dia menoleh ke samping dan menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Tak hanya itu, dia juga berdeham singkat lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam pouch-nya. Oke, mungkin memang tidak sopan bermain ponsel saat ada orang lain di sebelahnya. “Sorry, ya, kalau itu mengganggu kamu.” “Bukan masalah besar.” Setelahnya, hanya keheningan yang melingkupi sisa perjalanan mereka menuju kediaman utama keluarga Dirgantara. Dan ketika mobil berbelok memasuki cluster elite premium tempat orang-orang kaya tinggal, Zalima tak berkedip menatap apa yang mereka lewati—saking terperangahnya. Mungkin sampai kehidupan ketujuh pun dia tidak akan bisa membeli rumah dengan uang pribadi di kawasan ini. Sangat mahal. Harganya tak cocok di kantong. Namun, berkat pekerjaannya kali ini, Zalima bisa mencicipi sejenak kehidupan orang kaya. Mantan-mantan suaminya terdahulu memang kaya, tapi tentu saja Prajaka berada di level yang berbeda. Tak hanya konglomerat, dia juga keturunan ningrat. Kalau didefinisikan menggunakan daging sapi, Prajaka ini kualitasnya grade A. Keluarganya berada di jajaran orang terkaya di negara mereka—bukan sekadar kaya lagi. “Nanti mungkin kau akan sedikit kewalahan menjawab beragam pertanyaan keluargaku, tapi kuharap kau mengatakan apa adanya—tanpa ada hal-hal yang dilebihkan atau dikurangi. Karena seperti yang sudah kukatakan, orang tua dan kedua kakakku tahu kalau aku hanya menikah kontrak denganmu.” Zalima kembali menoleh mendengar itu, dan dia tak dapat mencegah pertanyaan yang keluar begitu saja dari mulutnya, “Memangnya mereka nggak masalah sama pernikahan ini?” “Tentu mereka mempermasalahkan, tapi pada akhirnya tak bisa berbuat apa-apa. Karena akulah yang berperan besar menentukannya.” “Ah, begitu ...” Zalima membulatkan mulut dan mengangguk-angguk. Setelahnya, dia merapatkan bibir, merasa tak memiliki hak untuk tahu lebih jauh dan lebih dalam—meskipun dia sangat penasaran. Karena laju mobil melambat, Zalima pun mengalihkan perhatian ke depan. Ternyata mereka sudah tiba di kediaman keluarga Dirgantara, dan saat ini tengah menunggu gerbang dibuka. Punggung Zalima otomatis menegak, mendadak dia merasa sedikit tegang karena sebentar lagi akan memainkan peran sebagai calon istri kontrak seorang Raden Prajaka Bumi Dirgantara. Meski dia sudah cukup berpengalaman menemui calon-calon mertua, entah kenapa kali ini terasa berbeda. Mungkin karena apa yang terjadi di masa lalu membuat Zalima agak grogi. Setelah mobil terparkir di halaman yang luas dan pintu di sebelah Zalima dibukakan, dalam satu helaan napas singkat dia pun turun dengan pelan. Heels-nya menapaki jalanan berbata merah, dan sejauh mata memandang, rumah besar bergaya modern di hadapannya benar-benar tampak kokoh dan tinggi. Pilarnya mungkin, ketika dipeluk, tidak akan membuat kedua tangannya saling bersentuhan. “Sudah siap?” Pertanyaan Prajaka menyadarkan Zalima dari keterpakuan. Saat bersitatap dengan pria itu, Zalima mengangguk sekali—dengan mantap. Mereka lalu memasuki rumah sambil bergandengan tangan. Dua orang pelayan menyambut dengan membungkuk singkat tak jauh dari pintu, lalu menuntun mereka menuju ruang makan—yang terasa berpuluh-puluh langkah jauhnya jika Zalima menghitungnya dalam hati. “Apa kau gugup?” Zalima melirik Prajaka dari ekor matanya. “Apa kelihatan jelas dari ekspresiku?” tanyanya. “Tidak. Hanya saja aku masih ingat kebiasaanmu yang menggigit bibir saat gugup.” Refleks, Zalima menjilat bibir bawahnya dan tertawa kecil. “Mulai sekarang jangan diingat lagi. Itu bukan hal penting untuk kontrak kita.” “Aku bukannya sengaja. Hal-hal seperti itu sudah mengendap lama dalam pikiranku.” “Maka jangan disuarakan.” “Kau ingin aku mengabaikannya?” “Ya. Diam lebih baik.” “Baiklah. Ke depannya aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi,” ujar Prajaka sambil mengangguk singkat. Tepat saat itu, salah satu pelayan memberi tahu bahwa mereka telah tiba, dan keluarga Prajaka yang sudah menunggu di meja makan langsung berdiri. Senyum mereka mengembang tipis—penuh formalitas—saat bersitatap dengan Zalima. “Selamat datang di rumah kami,” ucap seorang wanita paruh baya yang, menurut tebakan Zalima, adalah ibu Prajaka. “Kami sudah menantikan kedatanganmu.” Bersama Prajaka, Zalima melangkah maju menghampiri mereka. Dia mulai menyalami Tuan Mahendra—ayah Prajaka—lalu Nyonya Ayu, sang ibu, kemudian Bramantya—kakak pertama Prajaka—beserta istrinya, dan terakhir Sekar—kakak kedua Prajaka—bersama suaminya. Mereka menyambut dengan hangat, tapi Zalima tetap merasakan adanya batas tak kasat mata dalam sikap mereka. Wajar saja, mengingat mereka tahu siapa dirinya dan apa tujuan kedatangannya ke rumah ini. “Saya Zalima Cahyaning. Terima kasih sudah mengundang saya malam ini.” “Sama-sama. Duduklah. Kita bisa mengobrol sambil makan,” ujar Nyonya Ayu. Sebelum duduk, Prajaka lebih dulu menarik salah satu kursi untuk Zalima. Atas sikap itu, Zalima menanggapinya dengan senyum tipis dan ucapan terima kasih yang pelan. Makan malam pun dimulai. Lima menit pertama, suasana di meja makan dipenuhi keheningan. Tapi tak lama kemudian, Tuan Mahendra memecah kesunyian. “Jadi, Zalima ... apa alasanmu menerima pernikahan kontrak dengan Prajaka? Karena bayaran yang dia tawarkan, atau ada maksud lain?” Prajaka segera menimpali, nada suaranya tenang namun terdengar jelas, “Papi, pertanyaan itu terlalu menyudutkan.” Sementara Zalima tidak terlalu terkejut. Langsung ke inti persoalan—begitulah gaya orang berada. Terbiasa efisien, terbiasa menilai dengan tajam. Dia hanya tersenyum tipis, lalu mengambil serbet makan dan dengan anggun mengelap sudut bibirnya sebelum menjawab. “Bohong kalau saya bilang nggak tergiur dengan bayaran. Itu memang salah satu alasannya,” ucapnya tenang. “Alasan lainnya, menikah memang pekerjaan saya. Singkatnya, saya menawarkan jasa sebagai istri kontrak untuk orang-orang yang membutuhkannya.” “Memang ada pekerjaan seperti itu?” Nyonya Ayu langsung menyuarakan keterkejutannya. “Ada, Tante. Banyak orang yang sebenarnya nggak ingin menikah, tapi terpaksa karena tekanan keluarga atau lingkungan. Saya hanya menawarkan jalan keluar dari persoalan itu. Dengan kesepakatan yang jelas, kedua belah pihak bisa sama-sama mendapat apa yang diinginkan.” “Sudah berapa kali kau menjalani pernikahan seperti ini?” tanya Tuan Mahendra. “Enam kali. Dan mungkin ini yang ketujuh, kalau dengan Prajaka jadi dilangsungkan.” Orang tua dan kedua kakak Prajaka tampak terkejut. Bahkan Prajaka sendiri sedikit tersentak mendengarnya. Rupanya klien Zalima lebih banyak dari yang dia kira—wajar jika wanita itu dianggap profesional. Tuan Mahendra berdeham pelan. “Ini pertama kalinya kami bertemu seseorang sepertimu. Tapi tentu saja kami tidak akan menganggapmu aneh, hanya ... tidak biasa saja.” “Saya mengerti,” sahut Zalima sambil tersenyum, lalu menyelipkan helaian rambut yang jatuh ke pipinya ke belakang telinga. “Kenapa kau memilih jujur di pertemuan ini? Tidak takut kami menolakmu mentah-mentah?” tanya Bramantya, kakak pertama Prajaka. “Saya nggak akan sembarang bicara. Tapi karena Prajaka bilang kalian sudah tahu, saya pikir nggak ada gunanya menutupi. Lagi pula, cepat atau lambat, kalian pasti akan menyelidiki latar belakang saya. Kalian tentu nggak akan membiarkan sembarang orang masuk ke keluarga kalian.” Senyum tipis muncul di wajah Nyonya Ayu. Dia mengakui dalam hati bahwa wanita yang dibawa putra bungsunya ini memang punya keberanian dan ketegasan. Terlepas dari apa pun yang melatarbelakanginya, Zalima tampak kuat. “Apa keluargamu tahu tentang pekerjaanmu?” tanya Nyonya Ayu, kali ini dengan nada yang lebih hangat. Zalima baru hendak menjawab ketika Prajaka mendahuluinya. “Dia sendirian. Keluarganya meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Mungkin masih ada kerabat jauh, tapi Zalima tidak dekat dengan mereka.” “Oh, maaf ... Tante tidak bermaksud mengungkit hal yang menyakitkan,” ucap Nyonya Ayu cepat. Zalima menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Saya baik-baik saja.” “Sepertinya kamu mengenalnya cukup baik, Praja. Apa sebelum kesepakatan dibuat, kamu lebih dulu menyelidikinya?” tanya Sekar, kakak kedua Prajaka. Menurutnya, informasi yang disampaikan adiknya tadi terlalu detail jika mereka hanya saling kenal secara profesional. “Kami dulu satu kampus. Prajaka adalah kakak tingkat saya,” jawab Zalima. “Oh? Itu fakta lain yang mengejutkan.” “Sebentar ... kalau dipikir-pikir lagi, wajahmu memang terasa familiar,” gumam Bramantya, mengernyit. Beberapa detik kemudian, dia berseru kecil. “Apa panggilanmu dulu ‘Ning’? Singkatan dari Cahyaning?” “Um ... ya. Tapi, bagaimana Anda tahu?” “Tanyakan saja pada Praja. Dulu aku sering mendengarnya menelepon seseorang bernama ‘Ning’ dan pernah melihat fotonya di layar ponsel Praja.” Tatapan Zalima spontan beralih pada Prajaka. Bukan hanya dia, seluruh keluarganya kini menatap pria itu, menunggu konfirmasi. “Benar. Zalima adalah mantan pacarku,” kata Prajaka akhirnya, setelah mengembuskan napas singkat. “Tapi itu masa lalu. Kami bertemu lagi karena kontrak. Tidak ada hubungan lain selain itu. Tujuan pernikahan ini ... agar aku bisa kembali rujuk dengan Stevani.” Atas pengakuan yang tiba-tiba itu, Zalima refleks mengepalkan tangannya di bawah meja. Dia tak paham alasan pria itu mengungkit masa lalu mereka. Bukankah tak ada kaitannya dengan kontrak yang mereka jalani? Dan panggilan ‘Ning’ tadi ... jantung Zalima berdetak kencang sejenak. Sudah bertahun-tahun tak ada yang memanggilnya seperti itu. Hanya Prajaka yang pernah melakukannya—dan sejak hubungan mereka berakhir, nama itu lenyap begitu saja dari kehidupannya. “Lagi-lagi fakta mengejutkan,” komentar Nyonya Ayu sambil tersenyum, sesekali melirik suaminya. “Terlalu banyak kebetulan antara kalian berdua. Kami rasa, pasti ada alasan di balik semua ini.” Dia menarik napas sejenak, lalu menambahkan, “Seperti yang kamu tahu, Praja menginginkan pernikahan ini agar bisa kembali pada mantan istrinya. Kami sekeluarga sebenarnya tidak pernah menyetujui keputusannya, tapi dia terlalu keras kepala untuk mendengarkan. Pada akhirnya, kami hanya bisa mendukung dari belakang. Jadi, Zalima, selama tiga bulan ke depan, Tante percayakan semuanya padamu. Kami yakin kau akan menjalankan peranmu dengan baik. Tapi ingat, hidup tak selalu berjalan lurus. Kadang, menyimpang sedikit bukanlah hal yang buruk.” “Maksud Mami apa?” tanya Prajaka, alisnya berkerut bingung. Zalima juga menunjukkan ekspresi serupa—kalimat itu terlalu samar. “Tidak ada apa-apa,” elak Nyonya Ayu dengan santai. “Intinya, kalian bisa melangsungkan pernikahan setelah pertemuan malam ini.” “Selamat datang di keluarga Dirgantara, Zalima,” sambut Bramantya dan Sekar hampir bersamaan. “Masih banyak waktu untuk saling mengenal, tapi kami harap ke depannya kau tak perlu merasa canggung. Anggap saja rumah ini seperti rumahmu sendiri. Jangan sungkan, karena sebentar lagi kami akan menjadi kakak iparmu.” Begitu mudah? Zalima sebenarnya masih diliputi tanda tanya. Dia tak tahu pasti apa yang dipikirkan keluarga Prajaka, tapi dia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Kalau mereka menyambutnya dengan baik, maka pernikahan kontrak ini bisa berjalan lancar. Asalkan semua pihak bekerja sama. “Terima kasih banyak. Saya pasti akan menjalankan tugas ini sebaik mungkin. Dengan begitu, Praja nggak akan menyesal telah memilih saya.” Ucapannya ditujukan langsung pada pria itu, dengan tatapan percaya diri dan senyum tipis di bibir. “Sebagai istri kontrak, saya akan memainkan peran saya dengan sempurna. Sampai orang-orang benar-benar percaya bahwa saya adalah istri barunya. Sampai mereka berhenti mengaitkan nama Praja dengan mantan istrinya.” “Aku suka sikap percaya dirimu itu,” puji Tuan Mahendra dengan ekspresi puas. Di sampingnya, Nyonya Ayu mengangguk setuju. “Putraku pandai memilih orang yang tepat. Menyenangkan bisa mengenalmu, Zalima.” “Saya juga senang bisa mengenal Om sekeluarga,” ujar Zalima dengan senyum tenang. “Semoga kesan itu tetap bertahan setidaknya selama tiga bulan ke depan.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD