Suasana ruang makan terasa begitu intim dan romantis ketika mereka masuk. Di atas meja, lilin aromaterapi menyala lembut, sementara vas kecil berisi bunga baby’s breath berdiri manis di tengah. Cahaya lampu hias yang temaram menambah kesan hangat, dan dua gelas wine tertata rapi di samping piring porselen berisi pasta carbonara yang menguar menggugah selera.
Ternyata, makan malam yang dimaksud Prajaka berbeda makna dengan apa yang disiapkan Stevani. Jelas, semua ini hanya untuk dua orang—dan Zalima tidak termasuk di dalamnya. Dia hanyalah orang luar yang tiba-tiba terjebak di antara mereka.
Mengembuskan napas pelan, Zalima yang sedari tadi membuntuti Prajaka dan Stevani bak anak ayam mengekor induknya, tiba-tiba menghentikan langkah tak jauh dari pintu. Dia menggelengkan kepala, tersenyum tipis sambil berkata, “Em, sebaiknya aku pulang saja. Rasanya canggung kalau aku tetap kekeh ikut dinner bareng kalian.”
“Jangan!”
“Baguslah kalau kau sadar diri.”
Prajaka dan Stevani menjawab bersamaan—dan tentu saja, jawaban keduanya bertolak belakang. Seketika mereka saling pandang. Wajah Prajaka tampak keberatan, sementara Stevani berusaha membujuk dengan nada lembut.
“Hanya ada dua piring dan dua gelas di sana, Praja. Kalau dia ikut, tidak akan ada bagiannya,” jelas Stevani, menunjuk meja yang tampak begitu “berdua”.
“Minta ART-mu siapkan satu lagi untuk Zalima. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Ada hal yang ingin kukatakan pada kalian berdua, makanya aku mengajaknya malam ini.”
“Masih bisa dilakukan setelah kita makan, kan? Ayolah, apa kau tidak kasihan melihatku yang sudah menyiapkan semua ini? Lagipula, sudah lama kita tidak satu meja bersama ... apa kau tidak merindukannya?”
Prajaka mendengkus pelan—nada sinis yang disamarkannya di balik tarikan napas panjang, mungkin tujuannya agar Stevani tidak terlalu tersinggung. “Lakukan saja seperti yang kukatakan. Makan malam yang kau inginkan itu ... kita lakukan di lain waktu. Masih ada banyak waktu, Stev, jadi jangan kecewa.”
“... baiklah,” angguk Stevani akhirnya, dengan nada berat. Dia lalu berbalik pergi, memanggil ART-nya.
Kini, hanya tinggal Zalima dan Prajaka. Zalima kemudian berdehem, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Setelah mendengar percakapan tadi, dia benar-benar kehilangan kata. Pupus sudah keinginan untuk pulang. Lagipula, membantah pria yang sudah membayarnya tentu bukan pilihan cerdas.
“Ayo duduk, Za. Stev akan kembali sebentar lagi,” ajak Prajaka sembari memberi isyarat ke arah meja. Dia berjalan duluan, menarik kursi, lalu menempatinya.
Mengangguk dengan cepat, Zalima kemudian bergegas menyusul karena tak ingin diminta dua kali. Tapi baru saja bokongnya mendarat di kursi yang berada tepat di seberang Prajaka, Stevani sudah kembali bersama ART-nya dan langsung memprotes.
“Itu tempatku. Siapa yang mengizinkanmu duduk di situ?”
Kening Zalima otomatis terangkat, bibirnya ikut membulat. “Ah, aku minta maaf. Kalau begitu, aku akan pindah.” Lalu dia berdiri, tapi mendadak bingung, tidak tahu harus duduk di mana lagi—hingga Prajaka menarik kursi di sebelahnya dan menepuknya pelan.
“Di sini,” ujarnya singkat.
“Oh, terima kasih.” Zalima pun segera beralih ke sana.
Tapi begitu melihat Zalima duduk di samping Prajaka, rona keberatan langsung tampak di wajah Stevani. Namun, dia tak bisa lagi protes. Hanya memperlihatkan ekspresi menahan kesal, sebelum akhirnya ikut duduk di kursi yang ditempati Zalima tadi.
Makan malam dimulai tepat ketika makanan Zalima selesai disiapkan. Lima menit pertama hanya diisi oleh denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Zalima memilih untuk acuh dan menikmati, terlebih rasa pasta carbonara itu terlalu enak sampai membuatnya lupa sesaat bahwa beberapa waktu lalu dia sangat ingin pergi dari sini.
Namun, keheningan yang melingkupi mereka tiba-tiba pecah ketika Prajaka akhirnya bersuara.
“Stev, selama tiga bulan ke depan, kuharap kau tidak melakukan hal apa pun yang bisa menggagalkan rencana rujuk kita. Aku memberi kesempatan kedua karena percaya kau akan memperbaiki kesalahanmu. Jadi, manfaatkan sebaik mungkin—jangan buat aku kecewa lagi.”
Gerakan tangan Stevani langsung terhenti. Dia mendongak, menatap Prajaka dengan mata yang mulai sendu. “Maafkan aku. Sungguh, aku berjanji tidak akan mengulanginya, Praja. Aku bersumpah.”
“Kau tahu sumpah saja tidak cukup, kan?”
“Ya, aku tahu. Aku juga akan membuktikannya padamu. Pria itu dan aku tidak lagi berhubungan sejak berita perselingkuhan kami terungkap ke publik. Aku meninggalkannya ... dan aku benar-benar menyesal telah mengkhianatimu. Aku ... mencintaimu, Praja.”
Refleks Zalima tersedak air putih yang sedang diminumnya. Gangguan kecil yang tak disengaja itu membuatnya menggigit lidah sendiri. Dia meringis, merasa bersalah karena sudah mengacaukan suasana.
“Maaf,” ucapnya pelan. “Apa sebaiknya aku pergi saja dari sin—”
“Tidak, bertahanlah sebentar lagi,” potong Prajaka cepat. Dia menoleh sekilas ke arah Zalima sebelum kembali menatap Stevani. “Keberadaan dia di sini untuk menegaskan padamu, Stev, bahwa aku juga bisa bersama wanita lain ... lebih dari apa yang sudah kau lakukan padaku. Aku ingin kau merasakan seperti apa rasanya sakit, cemburu, dan dikhianati. Pernikahan kontrak ini bukan sekadar pengalihan isu dari rencana rujuk kita, tapi juga bentuk ujian untuk menguji kesetiaanmu. Jika kau bisa menahan semuanya sampai tiga bulan ke depan, maka tak salah kalau aku memberimu kesempatan kedua.”
Seketika Zalima terpaku, menatap dua orang di hadapan dan sampingnya. Saat itu dia sadar, dia bukan istri kontrak—dia hanya alat untuk menguji cinta yang belum padam. Peran yang dijalani dengan kontrak tertulis, tapi tanpa tempat di hati siapa pun.
Mata Stevani mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, seolah sebentar lagi isakan lirih akan pecah. Namun menolak terlihat lemah, dia memilih menunduk, tak sanggup menatap dinginnya mata Prajaka.
“Lakukanlah apa pun yang kau inginkan. Aku memang pantas menerima semuanya.”
“Bagus.” Senyum Prajaka muncul, tapi bukannya lembut—justru sinis dan menyakitkan. Untuk sesaat, Zalima seakan sulit percaya bahwa pria di sampingnya adalah orang yang dulu menatapnya dengan penuh kasih.
“Aku dan Zalima akan sering bersama selama tiga bulan ke depan,” lanjutnya. “Kami juga akan menunjukkan kemesraan selayaknya pasangan suami istri. Orang-orang harus menaruh perhatian pada Zalima, hingga melupakan sosok Stevani yang telah berselingkuh. Jadi, selama itu jangan mengacaukan apa pun. Kalau kau benar-benar ingin kembali padaku, pastikan pernikahan ini berjalan lancar sampai batas waktu yang sudah disepakati.”
Tak ada sahutan dari Stevani selama beberapa saat. Dia bukannya sedang berpikir—Zalima tahu hanya dengan melihat bahunya yang merosot dan kepalan tangannya yang begitu erat di atas meja—tapi sedang menahan luapan emosi agar tidak pecah menjadi tangis.
Hingga detik demi detik yang terasa dingin itu berlalu, akhirnya suara serak Stevani terdengar.
“Aku pastikan, apa yang kamu khawatirkan tidak akan terjadi. Karena sejak aku menyesal dan ingin memulai semuanya lagi bersamamu, aku sudah bertekad untuk mengikuti semua keinginanmu. Kalau itu bisa membuatmu tenang, kalau itu menurutmu sepadan dengan pengkhianatanku, maka ... aku tidak punya alasan untuk menolaknya.”
Seketika Zalima terpaku, menatap senyum tipis yang akhirnya terbit di bibir Prajaka. Ada kepuasan tersirat di wajah pria itu, seolah dia baru saja berhasil mengurai satu dari tiga benang kusut. Dan, demi apa pun, Zalima seolah baru disadarkan satu hal: bahwa benar, Prajaka masih mencintai Stevani.
Ternyata, di balik dinginnya sikap dan tajamnya tutur kata pria itu, perasaan terhadap mantan istrinya belum juga luntur, sekalipun pengkhianatan telah membawa mereka menuju perceraian.
***
Setelah malam itu, tidak ada lagi ajakan makan bersama yang melibatkan dirinya. Tentu saja Zalima merasa lega. Lagi pula, dia memang tidak suka ikut campur urusan pribadi orang lain. Tugasnya sebagai istri kontrak hanya berlaku ketika di luar—di depan keluarga besar dan orang banyak. Tapi ketika di dalam rumah, dengan Prajaka atau Stevani, dia kembali menjadi Zalima yang biasa. Tak ada hubungan apa pun dengan keduanya.
Dan karena statusnya masih pengantin baru, tidak banyak kegiatan yang harus dilakukan bersama Prajaka. Jadi, untuk mengisi waktu santai, dia kembali mencicil urusan administrasi kepindahan.
Jujur saja, Zalima ragu apakah semuanya bisa selesai dalam tiga sampai empat bulan ke depan. Tapi yang pasti, dia serius ingin ke luar negeri begitu semua prosedur keberangkatan rampung. Tidak ada lagi hal yang membuatnya ingin menetap di sini. Makanya, begitu kontrak pernikahannya dengan Prajaka berakhir, dia akan pergi tanpa menoleh lagi.
Hari ini, dia berencana mengajukan janji wawancara visa di Kedutaan Besar Jerman yang ada di kota ini. Laptop yang terletak di atas meja ruang santai memantulkan cahaya biru redup ke wajahnya. Di layar, halaman situs Kedutaan Besar Jerman terbuka. Kolom demi kolom dia isi—nama lengkap, nomor paspor, alasan pengajuan visa.
Dengan satu klik, dia menekan tombol Submit Appointment Request. Tak lama kemudian, muncul notifikasi: Appointment Confirmed. Your interview is scheduled in 3 weeks.
Helaan napas panjang keluar dari bibirnya, lalu senyum kecil mengembang tanpa bisa dia sembunyikan. Selanjutnya, dia hanya perlu menunggu hari wawancara tiba. Sungguh, dia tak sabar menanti momen itu datang.
Laptop pun dia tutup karena tak lagi digunakan. Bersamaan dengan itu, Bi Asih—salah satu ART-nya—datang membawa nampan berisi segelas jus nanas dan puding karamel buatan sendiri. Padahal Zalima tidak meminta, tapi perempuan yang diperkerjakan Prajaka ini memang sangat cekatan dalam pekerjaannya.
“Silakan dinikmati, Bu,” ucap Bi Asih ramah.
“Makasih, Bi. Padahal aku nggak minta, lho.”
“Pak Praja berpesan, kami harus melayani Ibu sebaik mungkin. Katanya, lakukan apa yang Ibu minta, dan tetap kerjakan bahkan kalau Ibu tidak meminta sekalipun.”
“Um, oke. Karena dia bilang begitu, aku harusnya nggak nolak, kan?”
Bi Asih tersenyum sambil mengangguk. “Kalau begitu, saya ke belakang dulu, ya, Bu. Panggil saja kalau butuh sesuatu.”
“Iya, Bi.”
Sepeninggal Bi Asih, Zalima yang tadinya duduk lesehan di lantai kini naik ke sofa dan menyelonjorkan kaki. Dia memutuskan untuk mencicipi puding karamel lebih dulu, baru kemudian jus nanas.
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi membuatnya teralihkan dari dessert lezat itu. Segera diambilnya benda tipis yang tergeletak di samping laptop, lalu menggeser tombol hijau setelah beberapa detik menatap nama Prajaka yang terpampang di layar.
“Halo,” katanya sambil menjilat bibir bawah yang masih berlumur karamel. “Ada apa?”
“Sayang, kau tidak ke mana-mana, ‘kan, hari ini?”
Panggilan Prajaka barusan benar-benar membuatnya kaget. Suara dan nada yang begitu familiar itu membawanya sesaat pada kenangan masa lalu. Tapi seolah tersadar bahwa pasti ada alasan di balik tutur lembut itu, dia cepat-cepat menyesuaikan diri dan menjawab, “Ya, Sayang. Aku di rumah seharian. Lagi menikmati puding karamel buatan Bi Asih.”
“Baguslah. Aku hanya ingin memberitahu, teman-temanku akan bertamu malam ini. Mereka ingin mengenal seperti apa rupa istriku.”
Terdengar siulan dan gelak tawa dari seberang sana. Dari situ, Zalima langsung paham: Prajaka sedang berakting karena ada orang lain di sampingnya.
“Kalau begitu, beritahu teman-temanmu, aku akan menjamu mereka dengan makanan yang enak, Sayang.”
“Pasti akan kuberitahu. Terima kasih. I love you, Sayangku.”
Nada lembut itu menelusup ke telinga Zalima, membuat jantungnya berdetak aneh—bukan karena cinta, tapi karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Suara Prajaka terlalu nyata, terlalu hangat untuk sebuah kebohongan yang diskenariokan.
“Love you too.”
Setelah panggilan terputus, Zalima kembali meletakkan ponsel di atas meja dan melanjutkan menyendok pudingnya. Tapi baru saja akan memasukkannya ke mulut, gerakan tangannya mendadak terhenti di udara.
Dia kembali teringat percakapan barusan.
Ternyata efek dipanggil sayang oleh pria straight berbeda dengan dipanggil sayang oleh pria SSA. Dengan mantan-mantan suaminya yang dulu, Zalima tidak pernah merasa apa-apa. Tapi anehnya ... dengan Prajaka, rasanya lain.
Apa mungkin karena mereka mantan, makanya jadi begitu?
Ah, masa bodoh! Mantan atau siapa pun, tidak seharusnya Zalima memaknainya lebih dalam. Intinya, selama tiga bulan ke depan, kontrak ini harus selesai sesuai kesepakatan awal.
Atau kalau tidak ...
Kalau tidak ...
Tidak apa? Zalima pun tak tahu.
***