“Pagi, Emily.”
Keesokan harinya, Zalima yang lebih dulu menyapa. Mereka sudah sepakat memulai jadwal dari pukul delapan pagi, jadi satu jam sebelumnya dia manfaatkan untuk berolahraga.
“Apa yang harus aku lakukan hari ini?” lanjutnya tanpa menoleh, sementara Emily mengikuti di belakang. Keduanya sedang menuruni tangga menuju ruang makan.
“Pagi juga, Bu. Hari ini Anda akan sibuk tanpa istirahat. Tapi pertama-tama, Anda harus sarapan dulu.”
Setibanya di ruang makan, Emily dengan sigap menarik kursi untuk Zalima duduki. Kening Zalima seketika berkerut—menurutnya itu terasa berlebihan.
“Terima kasih, tapi lain kali nggak perlu. Aku masih bisa melakukannya sendiri.”
“Saya hanya membantu. Ke depannya, saya harap Ibu bisa terbiasa, karena itu memang tugas saya.”
“Ah, begitu? Baiklah.” Zalima mengangguk singkat, lalu duduk dengan nyaman.
Tak lama, Bi Asih datang membawa teko kaca berisi s**u, lalu menuangkannya ke dalam gelas di sisi kiri Zalima.
“Ibu mau sarapan apa? Biar saya siapkan,” tanyanya ramah.
Karena sudah belajar dari pengalaman, kali ini Zalima memilih tidak menolak pelayanan apa pun yang diterimanya di rumah ini.
“Roti panggang sama scrambled aja. Thank’s, ya,” jawabnya.
“Baik, Bu. Sama-sama.”
Sembari Bi Asih menyiapkan sarapan, Zalima meneguk susunya beberapa kali. Tatapannya kemudian jatuh ke sisi meja yang biasanya ditempati Prajaka.
“Bapak udah berangkat kerja, Bi?”
“Belum, tapi katanya tadi mau sarapan di rumah sebelah sekalian berangkat langsung dari sana,” jelas Bi Asih.
“Oh, pantes nggak kelihatan batang hidungnya.”
Bi Asih hanya tersenyum kecil, lalu meletakkan piring berisi roti panggang dan scrambled egg di hadapan Zalima. Setelah itu dia pamit undur diri, sempat berpesan agar Zalima memanggilnya atau Bi Ina bila butuh sesuatu.
Zalima mulai menikmati sarapannya, ditemani Emily yang berdiri di sisi kanan. Asistennya itu benar-benar berdedikasi—tidak bergeming sejak tadi, bahkan tidak tampak lelah sedikit pun. Entah di mana Prajaka menemukan orang seprofesional itu.
“Duduklah kalau kakimu mulai sakit, Emily,” ucap Zalima sambil menunjuk ke salah satu kursi. “Jangan terlalu kaku. Aku lebih senang kalau orang yang bekerja denganku bisa santai dan menikmati pekerjaannya.”
“Terima kasih, Bu, tapi jangan khawatir. Saya sudah terbiasa, jadi tidak masalah.”
“Ah, kamu dan sifat kakumu itu benar-benar menyebalkan.” Bibir Zalima mencebik, lalu dia kembali fokus pada sarapannya.
Beberapa menit kemudian, keheningan di antara mereka pecah ketika Emily kembali membuka percakapan.
“Apa makanan kesukaan Anda, Bu?” tanyanya tenang.
“Hm, apa, ya?” Zalima berpikir sejenak sebelum menggeleng. “Nggak ada, tapi semuanya nggak masalah. Selama bisa diterima lidahku.”
“Anda tidak pilih-pilih makanan. Itu bagus, sikap Anda sudah mencerminkan seorang nyonya yang baik.”
Emily lalu melangkah ke samping Zalima, posisinya agak menyerong dengan kepala sedikit menunduk.
“Etiket makan adalah salah satu keterampilan penting para bangsawan. Bisa dibilang pondasi dari pondasi.” Dia menunjuk pisau dan sendok di sebelah piring Zalima. “Gunakan alat makan dari yang paling luar. Jaga punggung tetap lurus dan kepala tegak.”
Tatapannya lalu menilai cara duduk Zalima. “Anda sebaiknya tidak meletakkan siku di atas meja, dan jangan menaruh kedua tangan di bawah saat makan.”
Zalima segera memperbaiki posisinya, lalu menunggu komentar lebih lanjut.
“Anda hebat sekali, cepat belajar,” puji Emily.
Senyum puas muncul di bibir Zalima. Ah, kalau begini caranya, berarti yang dikatakan Prajaka benar—dia memang cepat tanggap.
“Setelah itu apa lagi?” tanyanya, nada suaranya terdengar menantang.
Sudut bibir Emily terangkat tipis. “Pukul sebelas nanti, orang yang akan mengajarkan Anda etika dan tata krama akan datang. Bu Saraswati namanya. Beliau terkenal keras, tapi yang terbaik di bidangnya. Jadi mohon ikuti pelajarannya dengan baik.”
Nama itu terdengar asing bagi Zalima—wajar, dia bukan berasal dari keluarga kaya. Tapi karena mereka akan segera bertemu, dia memilih menahan rasa penasarannya dan mengangguk mantap.
“Baiklah, Emily. Aku akan melakukan seperti yang kamu minta.”
***
Setelah taksi online yang mengantar Emily dan Bu Saraswati menghilang dari pandangan, Zalima melangkah masuk ke rumah dengan tubuh yang benar-benar lelah. Dia berjalan lunglai menuju lantai dua, bahkan tidak membalas sapaan ketika berpapasan dengan Bi Ina di depan tangga. Energinya seolah tersedot habis—pelajaran etika yang dikiranya mudah ternyata menguras seluruh tenaga dan pikirannya.
Tepat pukul tujuh malam barulah dia keluar lagi, itu pun semata karena perutnya lapar. Kalau tidak, mungkin Zalima akan memilih tidur sampai pagi.
Baru saja menapaki lantai satu, suara perdebatan dua orang menarik perhatiannya. Rasa ingin tahu tiba-tiba mengalahkan rasa lapar, dan dengan niat menguping, dia pun berjalan pelan, berdiri menempel pada dinding. Dari arah suara, dia bisa menebak perdebatan itu terjadi di ruang tengah.
“Aku tahu aku salah, tapi tidak seharusnya kau menghapus semua kontak pria di ponselku,” suara Stevani terdengar marah, meski nadanya tetap terjaga. “Kau boleh curiga padaku, tapi apa salahnya bertanya dulu? Di sana ada nomor rekan kerja, atasan, klien, media partner, BA, EO, bahkan banyak lagi. Pekerjaanku bisa berantakan kalau aku tidak bisa berkomunikasi dengan mereka.”
“Aku tahu kau punya dua ponsel, Stev. Dan yang ada padaku jelas bukan yang khusus untuk pekerjaanmu.”
“Itu sungguh ponsel untuk kerja. Aku tidak berbohong, Praja.”
“Oke, mari kita anggap itu benar, tapi lantas kenapa kau terlihat cemas?”
“Karena itu menyangkut pekerjaanku.”
Zalima sudah bisa menangkap garis besarnya. Mereka berdebat karena Praja mengambil ponsel Stevani dan menghapus semua kontak pria di dalamnya. Belum dikembalikan pula. Tak heran kalau Stevani marah sampai hampir menangis.
Ya, orang yang pernah berselingkuh memang sulit dipercaya lagi, bahkan setelah dimaafkan. Zalima sedikit memahami posisi Prajaka, meski belum pernah mengalaminya—dan semoga tidak akan pernah. Hidupnya sudah cukup rumit tanpa harus menambah drama perselingkuhan. Melihat kisah orang lain saja sudah bikin stres, apalagi kalau menimpa diri sendiri. Bisa gila dia nantinya.
Memutuskan meneruskan niat awal untuk makan malam, Zalima pun beranjak dari tempat persembunyiannya. Biarlah dua sejoli itu sibuk berdebat—mendengarkan sampai selesai pun tidak akan memberinya apa-apa. Toh tak ada urusannya sama sekali dengan dirinya. Buang-buang waktu saja.
Selama makan, Zalima menelepon Arumi agar punya teman mengobrol. Di ruangan ini, dia sendirian setelah Bi Asih pergi usai menyiapkan makanan. Mengharap Prajaka bergabung jelas mustahil—mereka memang tinggal di bawah atap yang sama, tapi sebagian besar waktu pria itu dihabiskan bersama Stevani. Maklum, mereka sedang dalam masa ‘balikan’.
“Lo Sabtu malam sibuk, nggak? Clubbing, yuk!” suara Arumi terdengar di ujung telepon.
“Tumben?” Zalima mendelik ke arah ponsel, tangan kirinya yang memegang garpu berhenti di udara. “Lo lagi berantem sama Mas Adjie, ya?”
“Emang bestie gue banget lo, langsung ngerti tanpa gue jelasin.”
“Malam Minggu aja, gimana? Malam Sabtu gue udah ada jadwal sama Kak Praja.”
“Jadwal apa tuh?”
“Makan malam sama kliennya.”
“Officially istri pengusaha, nih.”
Tawa Zalima pecah di sela kunyahannya, tapi tak berlangsung lama—Prajaka tiba-tiba muncul dan duduk di kursi yang biasa ditempatinya. Kaget, Zalima langsung mengakhiri panggilan tanpa sempat berpamitan. Terlebih situasinya tidak mendukung untuk melakukan basa-basi itu.
“Asih dan Ina di mana?” tanya Prajaka datar, raut wajahnya tak bersahabat.
“Mungkin di ruang setrika, atau di kamar mereka. Kenapa memangnya?”
Prajaka hanya menggeleng. Tatapannya berpindah dari piring kosong di depannya ke arah Zalima. “Apa kau masih lama makannya?”
“Mungkin saja. Tergantung seberapa cepat aku mengunyah dan menelan makanan.”
Dia sempat ragu, tapi akhirnya permintaan itu keluar juga dari mulutnya.
“Bisa ambilkan nasi, lauk, dan sayur untukku? Hanya kau yang bisa dimintai tolong di sini.”
“Apa?” Zalima menatapnya tak percaya. “Kamu minta tolong begitu padahal semuanya ada tepat di depanmu?”
“Aku belum pernah melakukannya sendiri. Selalu ada orang yang melakukannya untukku,” jawabnya tenang.
“Dan karena sekarang nggak ada Bi Asih atau Bi Ina, kamu memintaku melakukannya?”
“Iya, kalau kau tidak keberatan.”
“Tentu saja aku keberatan. Memangnya kamu siapa sampai berani menyuruhku?”
“Aku suamimu.”
“Di atas kertas. Dan itu pun nggak akan lama.”
“Lebih dari itu, aku … mantanmu.”
Zalima langsung melongo. Dia menatap Prajaka seolah pria itu makhluk paling aneh di dunia. “Kamu benar-benar …” Dia menggeleng tak habis pikir, mendengkus keras, lalu berdiri menghampiri Prajaka sambil membawa piringnya. “Nih, makan bekasku. Sekalian pakai sendoknya juga, biar kamu tahu gimana rasanya berbagi saliva dengan orang lain.”
Prajaka tetap tenang. Dia hanya bersandar di kursi, mengamati Zalima dengan tangan terlipat di d**a.
“Karena permintaan Tuan Muda Praja udah aku penuhi, selamat menikmati,” lanjut Zalima ketus sebelum berbalik pergi. Selera makannya langsung hilang, perutnya mendadak kenyang gara-gara tingkah pria itu. Tapi baru dua langkah dia berjalan, tangannya tiba-tiba ditarik. Dan dalam satu sentakan, dia sudah kembali berhadapan dengannya.
“Sepertinya kau lupa,” suara Prajaka rendah, nyaris berbisik. “Dulu tidak hanya sendokmu yang pernah kugunakan, tapi bibirmu juga sudah kumakan.”
Mata Zalima membulat sempurna. Sialnya, kenangan itu langsung menyerbu seperti banjir bandang, membuat udara di antara mereka mendadak tegang—tegang yang aneh, mendebarkan.
“Kamu—kamu ngomong apa? Udah kubilang jangan bawa-bawa masa lalu!”
“Bukan aku yang memulai, tapi kau.”
Napas Zalima naik-turun cepat, dan dia yakin pipinya kini memerah.
Menolak terjebak lebih jauh dalam permainan Prajaka, Zalima menepis genggamannya hingga lepas, lalu mengambil kembali piring bekasnya. “Kutarik semua ucapanku. Sebagai permintaan maaf, aku akan panggil Bi Asih atau Bi Ina buat melayanimu.”
Tanpa menunggu balasan, dia buru-buru meninggalkan ruang makan—dalam hati merutuki sikap Prajaka yang mendadak aneh. Mungkin gara-gara bertengkar dengan Stevani tadi, pikirannya jadi sedikit oleng malam ini.
***