Mata Dylandra terkejut saat melihat berita yang tampil di layar televisinya.
"Eh! I-ini kan pesawat yang tadi meninggalkan aku?" ucapnya dengan tatapan terkejut.
"Kok bisa kecelakaan?" ucapnya yang masih tak percaya dengan berita itu.
Sehingga Dylandra pun langsung memperbesar suara karena dia masih tak percaya.
"Heh! Ini beneran pesawat yang seharusnya aku naiki dan aku beruntung karena ketinggalan sampai terdampar di sini sekarang," ucapnya sambil mengusap kasar wajahnya, Dylandra tertawa keras karena dari kesialannya yang datang terlambat, dia malah selamat dari kecelakaan itu.
"Terima kasih Tuhan! Terima kasih sudah menyelamatkan aku, untung saja tadi aku bangun kesiangan dan aku ditinggal dalam penerbangan saat itu, kalau saja aku tidak bangun kesiangan, mungkin aku sudah menjadi salah satu korban dari kecelakaan ini dan ...." Dylandra mendengarkan berita itu jika tidak ada satupun korban yang selamat termasuk pilotnya juga.
"Ya Tuhan! Tidak satu pun yang selamat! Histtt ... Ternyata Tuhan masih sayang padaku, padahal dosaku sangatlah banyak bahkan tidak ada yang baik dari diriku, kecuali ...." Dylandra langsung melebarkan matanya ketika mengingat seseorang paling berharga dalam hidupnya.
"Mama! Ma- mama ...." Dylandra langsung melempar remote ditangannya dan bergegas mencari ponselnya yang masih mengisi daya dalam keadaan mati total.
"Mama pasti mengira kalau aku salah satu korban di pesawat itu! A-aku harus secepatnya memberi kabar sama mama," ucapnya yang segera meraih ponsel itu lalu berusaha menyalakan ponselnya, beruntung baterainya terisi sudah lima belas persen sehingga ponsel Dylandra bisa menyala kembali.
**
Sementara itu, di tempat lain.
"Hiks ... Hiks ... Pa! Andra tidak mungkin meninggal kan pa? Andra tidak mungkin dia meninggal! Dia salah satu putra kesayangan aku pa, walaupun dia nakal dan tak patuh tapi dia juga putraku pa, dia tidak mungkin meninggalkan aku ...." Aline terus menangis tiada henti, sejak mendengar berita tentang kecelakaan pesawat beberapa jam yang lalu dan dia masih ingat jika pesawat itu adalah pesawat yang ditumpangi oleh salah satu putra kembarnya, yaitu Dylandra Adhitama.
Sementara itu.
Ayahnya sekaligus kakek dari Dylandra yaitu Pramuditya terus memeluk putrinya dengan perasaan sedih sekaligus menyesal, karena sudah memaksa cucunya untuk pergi ke luar negeri agar cucunya yang hanya tahu bersenang-senang dan tak mau menjadi penerusnya sebagai pengacara itu mau belajar lebih giat di sana.
"Aline papa minta maaf ya, gara-gara papa yang memaksa Andra pergi ke luar negeri menjadi seperti ini, pa-pa ... Papa sungguh tidak berguna Aline, hiks ... hiks ...." Pramuditya ikut menangis, hatinya sama hancurnya seperti putrinya.
Dia merasa sangat bersalah terhadap putrinya sekaligus terhadap cucunya, walaupun Dylandra adalah cucu yang paling menyebalkan dan memiliki sifat terbalik dengan saudara kembarnya, yaitu Dannisha Adhitama, tapi mau bagaimana pun Dylandra masih tetap cucunya.
"Pa, Andra pasti selamat kan pa! Andra tidak mungkin meninggalkan aku, Andra tidak mungkin meninggalkan aku! Semua salah aku pa! Seharusnya aku tidak menyetujui ide papa untuk mengirim Andra ke luar negeri, seharusnya a-aku ...." Aline tiba-tiba hilang kesadaran karena terlalu sedih.
"Aline!" Teriak Pramuditya yang langsung panik melihat kondisi putrinya itu.
"Aline! Bangun nak! Maafkan papa, maafkan papa nak! Semua gara-gara papa! Kamu harus bangun nak!" Teriaknya dengan histeris, Pramuditya benar-benar sangat menyesal atas keputusannya itu.
Dari jauh, Darren yang baru sampai di rumah bersama dengan saudara kembar Dylandra, langsung berlari masuk menghampiri keduanya.
"Sayang!" Teriaknya saat melihat Aline tak sadarkan diri dalam pelukan ayahnya.
"Sayang, kamu kenapa? Sayang, bangun! Tolong jangan menakuti aku," teriaknya yang panik langsung mengambil alih tubuh Aline dari pelukan pramuditya, lalu menggendongnya.
"Darren, bawa Aline ke kamarnya!" Perintahnya dan tatapan Pramuditya langsung melihat ke arah Dannis, kakak kembar Dylandra.
" Dannis, cepat panggil dokter kemari! Cepatlah!" pintanya.
Dannis pun mengangguk dan secepatnya dia mengeluarkan ponselnya lalu memanggil dokter keluarga yang menjadi langganan keluarganya.
Sementara itu.
Darren membawa Aline masuk ke dalam kamarnya dan Pramuditya mengikutinya dari arah belakang.
"Sayang, aku mohon bangunlah sayang! Tolong jangan membuat aku takut seperti ini," lirih Darren, dia benar-benar merasa sedih melihat kondisi istri yang paling dia cintai sedang dalam keadaan tak sadarkan diri itu.
Tidak lama kemudian, Setelah telah sampai di dalam kamar, dia membaringkan Aline diatas tempat tidur dan kembali menatapnya dengan tatapan sedih.
"Sayang, cepatlah bangun! Aku tidak sanggup jika melihat kamu seperti ini," ucapnya sambil mengecup lembut dahinya.
Darren pun akhirnya melepaskannya.
"Dar, papa mau bicara sama kamu," ucap Pramuditya.
Darren menganggukkan kepalanya dan keduanya berjalan sedikit menjauh dari Aline.
"Ada apa dengan Aline? Kenapa dia bisa jadi seperti ini?" tanya Darren, karena dia belum tahu tentang berita kecelakaan pesawat yang ditumpangi putra bungsunya itu.
Pramuditya menarik napas panjang dan air mata pun langsung meluncur dari sudut matanya, namun secepatnya dia menghapus nya.
"Tadi Aline mendapat panggilan telepon dari maskapai penerbangan yang Andra tumpangi dan ...." Pramuditya kembali menitikkan air matanya, membuat Darren semakin penasaran.
"Ada apa dengan Andra pa?" tanyanya.
"Pesawat yang ditumpangi Andra mengalami kecelakaan dan seluruh penumpangnya tidak ada yang selamat, karena pesawat itu jatuh diatas lautan yang luas dan Tim SAR masih berusaha mencari keberadaan semua penumpang," ucapnya yang kemudian tubuhnya terhuyung karena tak sanggup menanggung beban perasaan sedih serta rasa bersalah.
"Dar, maafkan papa! Maafkan papa karena ini semua ide papa, andai saja papa tidak ...."
Darren langsung memeluk tubuh Pramuditya yang hampir saja jatuh.
"Sudah pa! Papa jangan menyalahkan diri papa, semua ini musibah yang tidak pernah kita tahu, jadi jangan papa menyalahkan diri papa, aku ...." Darren segera memapah Pramuditya untuk segera duduk.
"Duduk dulu pa! Papa harus jaga kesehatan, kasihan mama dan Aline nanti," ucap Darren
Dia berusaha terlihat kuat, walaupun hatinya juga sangat sedih.
"Ya Tuhan! Cobaan macam apa lagi ini? Mengapa engkau ambil salah satu putra hamba yang menjadi pusat kebahagiaan keluarga kami," gumam Darren yang tak sanggup menahan air matanya yang akhirnya jatuh juga.
"Dar, semua salah papa! Semua salah papa! Andaikan saja papa tidak memaksa Aline menyetujui niat papa untuk mengirim Andra keluar negeri, mungkin dia masih bersama dengan kita! Ternyata lebih baik dia terus bersama dengan kita walaupun prilakunya sangat menyebalkan daripada dia pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Hiks... Hiks ... Dar, papa sangat menyesal! Papa sangat menyesal!" Pramuditya terus menangis, dia menyalahkan dirinya sendiri.
"Papa jahat Dar! Papa yang jahat! Aline pantas marah sama papa, Dar!" Pramuditya terus tersedu, membuat hati Darren semakin sedih.
"Cukup pa! Papa jangan terus menyalahkan diri papa, papa tidak salah! Andra juga memang pantas untuk didisiplinkan, dia terlalu liar dan sangat memalukan. Niat papa sudah benar, karena ingin membuat dia jadi pria yang jauh lebih baik, apalagi dia bukan lagi anak kecil tapi sudah jadi pria dewasa, makanya wajar jika papa bersikap seperti itu," ucap Darren, dia memeluk Pramuditya untuk menenangkannya.
"Aku juga salah pa! Aku ayah yang tidak berguna, aku tidak becus mendidiknya menjadi pria yang dewasa serta bertanggung jawab seperti Dannis, dia ...." Belum selesai Darren bicara.
Tiba-tiba, ponselnya berdering.
Membuat Darren melepaskan pelukannya.
"Sebentar ya pa, aku mau jawab dulu," ucapnya.
Pramuditya mengangguk.
"Jawab dulu, takutnya itu urusan penting dari kantor," ucapnya.
Darren pun mengeluarkan ponselnya dan dia melihat dilayar ponselnya ID sipemanggil yang membuat matanya melotot karena terkejut.
"I-ini .... Andra! Dia ...." Suaranya tercekak karena terlalu terkejut.
Pramuditya yang sedang sibuk menghapus air matanya pun ikut terkejut mendengar ucapan Darren.
"Apa? Dar, apa yang tadi kamu katakan? A-andra Di--dia ...."
Pramuditya langsung menatap layar ponsel Darren yang masih menyala dan panggilan itu masih terus berlangsung.
"I-itu nomor Andra, apakah mungkin andra, dia ...." Pramuditya menatap ke arah Darren dan Darren pun menggelengkan kepalanya.
"Pa, mungkin saja itu panggilan dari orang yang menentukan ponselnya Andra, dia pasti ingin memberitahu keberadaan Andra saat ini, aku jawab dulu pa!"
Pramuditya mengangguk.
"Cepat jawab Dar! Cepat jawab sekarang!"
Darren pun segera menekan tombol hijau lalu menjawab panggilan telepon itu.
"Halo!"