Natalia melangkah cepat keluar dari ballroom, gaunnya bergesek pelan mengikuti langkah tergesa. Senyum ramah yang tadi ia tampilkan kini lenyap, berganti dengan kegelisahan yang sulit ia sembunyikan. Sebelum pergi, ia sempat berpamitan pada para tamu dengan alasan ada urusan mendesak, namun tidak memberi penjelasan lebih jauh. Ucapan itu justru menimbulkan tanda tanya di benak banyak orang, membuat bisik-bisik pelan mengiringi kepergiannya.
Di parkiran, Natalia segera masuk ke mobil dan meminta sopir melaju ke rumah sakit. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, matanya terus menatap ke luar jendela dengan hati yang berdebar. Ia tidak ingin membagi kecemasannya kepada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang paling dekat dengannya. Malam itu, hanya ada satu hal di kepalanya: ia harus segera tahu kabar sebenarnya, meski apa pun jawaban dokter nanti bisa mengubah segalanya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Natalia berusaha keras mengubur rasa khawatir yang menghantui benaknya. Sang papa selama ini selalu tampak sehat, jarang sekali mengeluh sakit. Bahkan di usianya yang tidak muda lagi, Sebastian tetap aktif menghadiri acara-acara penting. Karena itu, kabar mendadak bahwa beliau masuk rumah sakit membuat Natalia seakan tak percaya. Sebagai satu-satunya anak, perasaan bersalah menekan dadanya. Ia sadar, akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan urusan pribadi dan politik Victor, hingga lupa meluangkan waktu untuk ayahnya.
Begitu sampai, Natalia hampir berlari menyusuri lorong rumah sakit, diikuti beberapa pengawal yang kewalahan menjaga langkahnya. Camila, sahabat sekaligus pendamping setianya, sempat berbisik bahwa Victor sedang dalam perjalanan, namun Natalia nyaris tidak mendengar. Jantungnya berdegup kencang saat berhenti tepat di depan pintu ruang rawat.
Saat pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Sebastian. Tubuh ayahnya terbaring lemah di ranjang, dengan selang infus menusuk lengannya dan oksigen menempel di hidung. Seketika, tenggorokan Natalia tercekat. Ia menelan tangis yang hampir pecah, memaksa dirinya terlihat kuat. Perlahan, ia mendekat dan duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan sang papa. Sebastian menoleh, tersenyum tipis meski wajahnya pucat. Senyum itu, justru membuat Natalia semakin teriris.
“Paaa, kenapa?” tanya Natalia dengan suara bergetar.
Sebastian berusaha tersenyum dengan wajah pucat. Terbatuk kecil sebelum bicara. “Hanya kelelahan.”
“Benarkah? Kenapa sampai dirawat?”
“d**a sesak.”
Natalia merasa matanya memanas. Meletakkan tangan sang papa di pipinya. Menahan isakan yang hendak keluar dari bibirnya.
“Jangan menangis, Natalia, Papa nggak apa-apa.”
Natalia mengangguk, tenggorokannya tercekat. Saat bicara, suaranya terdengar berat dan parau. “Maaf, Pa. Kurang perhatian sama Papa. Sampai-sampai, Papa sakit pun aku nggak tahu.”
“Bukan salahmu. lagipula tubuh orang tua. Memang begini.” Sebastian berusaha tertawa dan kembali terbatuk.
Natalia meraih beberapa lembar tisu untuk mengusap wajah papanya. Kulit yang keriput, wajah yang mengernyit menahan sakit, serta mata yang sayu, kesan gagah menghilang dari daiam diri Sebastian. Mendadak Natalia menyadari kalau papanya sudah sangat tua.
“Paa, setelah keluar dari rumah sakit, aku akan tinggal bersama Papa.”
Sebastian menggeleng. “Nggak perlu. Kamu sibuk, dan pekerjaan jauh lebih penting.”
“Tapi, Paa—”
“Papa hanya berdoa, semoga kamu cepat hamil dan punya anak. Papa ingin, sebelum mati bisa melihat cucu.”
Natalia memejam, membiarkan tangan sang papa tetap di pipinya. Perkataan sang papa tentang anak membuat hatinya teriris. Ia tidak tahu, bagaimana harus mengatakan keadaan yang sebenarnya terjadi. Kalau semua hal tidak seperti yang terlihat.
“Natalia, bisakah permintaan Papa tadi kamu penuhi? Papa tidak pernah minta apa-apa dari kamu, kecuali satu ini. Papa ingin cucu.”
Natalia mengangguk, menahan kesedihan. “Iya, Pa.”
Sebastian tersenyum, mengusap pipi anaknya dengan punggung jarinya. Ia memejam, menepuk dadanya perlahan dengan tangannya yang bebas. Meskipun sedang sakit, ia tidak suka melihat anak perempuannya bersedih.
“Jangan menangis, Papa senang kamu ingin mengabulkan permintaan orang tua ini. Natalia, uang bisa dicari, karir bisa dikejar, tapi rumah tangga yang sempurna baru bisa tenivujud dengan anak-anak.”
Saat bicara mata Sebastian menerawang menatap langit-langit kamar. “Selama ini, aku tidak pernah menekanmu soal anak, karena takut membuatmu stres. Tapi, akhir-akhir ini Papa sangat merindukan suasana rumah yang ramai dan berisik. Aku ingin mendengar jeritan anak-anak di rumah. Aku sudah punya segalanya, Natalia. Harta dan jabatan, kecuali tentu saja cucu yang lucu.”
Semakin lama mendengar Sebastian berbicara tentang anak, d**a Natalia terasa makin sesak. Setiap kalimat sang papa seperti belati halus yang menusuk hatinya. Ia sadar betul betapa selama ini dirinya terlalu sibuk dengan dunia sendiri—acara sosial, tuntutan publik, dan masalah rumah tangga dengan Victor—hingga melupakan kewajiban sederhana sebagai seorang anak. Ada rasa bersalah yang menumpuk, sebab baru sekarang ia menyadari kerinduan terdalam papanya sama seperti lelaki tua lain: mendambakan cucu, sesuatu yang bisa mengisi hari-harinya dengan tawa baru.
Percakapan mereka berakhir ketika Sebastian kelelahan dan akhirnya terlelap. Wajahnya tampak damai, meski tubuhnya rapuh dengan selang dan kabel medis menempel di sana-sini. Natalia merapikan selimut dengan hati-hati, lalu menahan air mata yang hendak jatuh. Tangannya terulur, mengusap pipi keriput itu, menyisir lembut rambut yang kini memutih, dan merasakan tulang yang menonjol karena tubuh ayahnya yang kurus.
Hening seketika menyelimuti ruangan, menyisakan Natalia dengan perasaan getir. Dalam hati, ia bertanya-tanya: bagaimana mungkin selama ini ia begitu lalai? Ia terlalu sibuk mengejar pengakuan orang banyak, sementara satu-satunya orang yang sungguh mencintainya tanpa syarat justru terabaikan. Kini, penyesalan itu menggantung, menekan d**a hingga sulit bernapas.
Natalia menoleh saat pintu membuka dan suaminya muncul. Victor melepas jaket yang dipakainya. “Bagaimana keadaan Papa? Dari bandara aku langsung kemari.”
Natalia mengusap air mata yang menetes di pipi. “Papa sepertinya kelelahan.”
“Apa kata dokter?”
“Penyakit tua.” Natalia menatap suaminya, menggigit bibir, dan menghela napas panjang. “Victor, bisakah kita bicara di luar?”
Victor yang sedang memperhatikan mertuanya, mengaiihkan pandangan pada sang istri. “Ada apa? Sesuatu yang penting?”
Natalia mengangguk. “Sangat.”
Victor meletakkan jaket ke atas kursi, meraih jemari istrinya, dan menggandeng menuju pintu. “Ayo, kita ke kafetaria.”
“Jangan, kita bicara di taman saja.”
“Oke-oke.”
Mereka berdiri berhadap-hadapan di taman yang temaram, diterangi lampu kecil yang remang. Udara malam terasa lembap, menyelimuti keheningan yang menggantung di antara mereka. Hanya suara ngengat dan serangga dari pepohonan sekitar yang memecah sunyi. Victor menatap istrinya tanpa berkedip, seakan berusaha membaca isi hati Natalia melalui tatapan yang dingin dan tertutup.
Hampir sepuluh menit berlalu tanpa sepatah kata pun terucap dari bibir Natalia. Diamnya justru membuat jarak di antara mereka terasa semakin jauh. Victor ingin berbicara, ingin memecah kebekuan, tetapi tenggorokannya tercekat. Dalam hening itu, ketegangan semakin menebal, seolah taman malam itu menjadi saksi dari retaknya sebuah hubungan.
“Natalia, Sayang. Mau ngomong apa?” tanya Victor dengan tidak sabar.
Natalia menggigit bibir, dengan tangan terkepal dan tubuh gemetar, bicara dengan suara lirih. Mengenyahkan rasa malu yang merambat dari hatinya.
“Aku bersedia, Victor.”
Victor mengernyit. “Bersedia untuk apa?”
“Menerima tawaranmu, untuk mendapatkan bayi. Demi papaku.”
Natalia mengakhiri perkataannya dengan pelan dan menunduk menatap tanah yang diselimuti kegelapan. Tidak menyadari tatapan suaminya yang bercahaya.
“Benarkah, Sayang? Kamu mau melakukan itu?” tanya Victor dengan kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan.
“Hanya sampai aku hamil.” Natalia merasa kotor saat mengucapkan itu. Sadar kalau keputusannya akan mengubah banyak hal.
“Iya, Sayang. Tentu saja hanya sampai kamu hamil.” Victor meraih tubuh Natalia dan memeluknya erat.
“Terima kasih, Sayang. Kamu bukan hanya menyelamatkan papamu, tapi juga aku. Kamu membuat kami semua punya harapan baru.”
Natalia tidak mengerti apa maksud dari perkataan suaminya. Setiap kata yang diucapkan Victor terdengar asing, penuh dengan harapan yang tidak pernah ia pahami. Baginya, semua itu hanyalah tuntutan yang menekan, sesuatu yang jauh dari perasaan cinta atau penghargaan.
Keputusan yang baru saja dibuat Victor terasa seperti pukulan telak. Natalia merasa harga dirinya direnggut, seolah ia hanya pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih. Rasa malu menelannya bulat-bulat, membuatnya jatuh dalam kubangan perasaan yang kelam. Ia tidak tahu harus bagaimana, selain berdiri dalam diam, menahan pedih yang sulit dijelaskan.
“Kamu tahu kabar baik, Sayang? Minggu lalu, Alejandro sudah menyatakan persetujuannya. Dengan syarat yang ketat dan rahasia, aku sarankan kalian berdua pergi berlibur. Aku akan mengatur waktu dan tempatnya.”
Entah siapa yang paling gila di antara mereka bertiga—dirinya, Victor, atau Alejandro. Namun kenyataannya, mereka telah duduk bersama dan menyepakati sebuah perjanjian yang tak masuk akal. Perjanjian itu bukan hanya aneh, tetapi juga melawan moral, seakan mereka rela menanggalkan nurani demi kepentingan masing-masing.
Dalam kesepakatan itu, harga diri dipertaruhkan, kesetiaan rumah tangga dikorbankan, dan batas kewajaran dilampaui. Natalia merasa seperti sedang menandatangani kontrak dengan kegelapan, sebuah persekutuan yang tak berbeda dengan beraliansi bersama setan. Meski hatinya berontak, ia tahu dirinya sudah terjebak dalam permainan berbahaya yang tidak bisa dengan mudah dihentikan.