BAB 12

1263 Words
Alejandro menatap tubuh perempuan yang terbaring memunggunginya, seakan siluet itu adalah karya seni yang hidup. Kulitnya putih bersinar, halus seperti marmer yang dipahat tangan dewa. Pinggang ramping itu melengkung indah, mengalir menuju kaki jenjang yang masih tersisa bayangan gairah. Alejandro nyaris tak percaya—ia, seorang pengawal yang seharusnya hanya berdiri di pinggir panggung kehidupan, kini justru berada di pusatnya, berbagi ranjang dengan Natalia, sosok perempuan yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari kejauhan. Semua ini bukan mimpi, melainkan buah dari perjanjian yang ganjil, perjanjian yang Natalia, yang selama ini ia rasanya lebih mirip kutukan daripada anugerah.pandang sebagai lambang keanggunan, justru menyingkap sisi lain yang tak pernah ia bayangkan. Ia mengira perempuan itu akan kaku, membeku dalam gengsi dan aturan sopan santun yang membelitnya. Namun kenyataan menampar dugaannya. Natalia bukan sekadar anggun—ia liar, membara, menyimpan hasrat yang selama ini tersembunyi rapat. Dalam dekapannya, perempuan itu meledak dengan gairah yang membuat Alejandro mabuk kepayang. Kini, ketika sisa-sisa keintiman masih melekat di udara kamar, Alejandro terjebak antara ekstasi dan rasa bersalah. Ia tahu betul, perjanjian yang menuntunnya ke sini akan menelan segalanya—harga diri, kesetiaan, bahkan mungkin jiwa mereka. “Nyonya, lapar nggak?” Ia bertanya hati-hati. Punggung Natalia bergerak dan perempuan itu mengubah posisi menjadi berbaring. Selimut tipis menutupi bagian atas tubuhnya, meski begitu tidak bisa menyembunyikan d**a yang membusung. Alejandro memaki dalam hati karena kejantanannya tergugah oleh tubuh molek Natalia. “Kamu lapar?” tanya Natalia pelan, dengan mata menatap langit-langit kamar yang diselubungi kelambu putih. Debur ombak terdengar nyaring, seperti lagu pengantar untuk percakapan mereka. “Saya akan memesan makanan, dan meminta mereka membawanya kemari. Atau, Nyonya ingin makan di luar?” Natalia mengedip, menatap Alejandro yang berbaring miring ke arahnya. Tubuh laki-laki itu tertutup selimut hanya di bagian pinggang ke bawah, sedangkan dadanya dibiarkan terbuka. “Kamu ingin makan di luar?” Natalia seperti orang bodoh, mengulangi perkataan Alejandro. Terdengar tawa lirih, Alejandro mendekat dan merengkuh tubuh Natalia dalam pelukan. “Saya sangat lapar, tapi ada satu hal yang harus dipastikan,” bisiknya. Natalia menatap lekat-lekat. “Apa?” “Ini.” Alejandro menyentakkan selimut, membiarkan kain itu jatuh berantakan di tepi ranjang. Dalam sekejap ia menggulingkan tubuhnya hingga menindih Natalia, membuat jarak di antara mereka menguap begitu saja. Bibirnya menunduk rakus, menemukan puncak yang menegang, lalu mengisapnya tanpa malu, tanpa jeda, seolah dahaga yang lama terpendam kini pecah tak terkendali. Tangannya tak tinggal diam, satu meremas d**a yang lain, menyalurkan hasrat dengan tekanan yang sengaja dipermainkan. Ia berpindah bergantian, dari kiri ke kanan, mencumbu dengan kesadaran penuh bahwa setiap desah Natalia adalah kemenangan kecil yang membuatnya tersenyum puas. Malam itu, gairah menggantikan logika, membakar sisa-sisa kewarasan. “Anda sangat cantik, Nyonya.” Natalia menggigil, bukan karena dingin, melainkan karena malu yang membakar sekujur tubuhnya. Alejandro menciuminya tanpa jeda, bibir dan jemarinya menelusuri setiap lekuk—dari helai rambut hingga pundak, dari d**a hingga pinggang, lalu turun lebih jauh ke wilayah terlarang. Dengan keberanian tanpa segan, ia membuka kedua pahanya, menunduk ke arah inti paling rahasia. Bibir dan lidahnya bergerak liar, menghadiahkan kenikmatan yang membuat Natalia terperangkap antara rasa bersalah dan ekstasi yang tak terbantahkan. “Alejandro—” Natalia tak kuasa menahan desah yang lolos dari bibirnya, lirih namun penuh getaran. Jemarinya merenggut rambut Alejandro, seolah ingin menahan, namun tubuhnya justru menggelinjang mengikuti gelombang gairah yang terus dipicu. Pangkal pahanya berdenyut panas, membara oleh rangsangan yang tak henti. Saat lidah Alejandro menelusuri dengan liar, cairan hangat pun mengalir, menandai betapa tubuhnya menyerah pada kenikmatan yang memabukkan, meski hatinya berusaha menyangkalnya. “Nyonyaa—” Alejandro mengangkat kepalanya dari pangkal paha Natalia, lalu segera menunduk melumat bibirnya dengan intensitas yang membuat napas mereka saling berebut. Ciumannya dalam, rakus, hingga Natalia tak diberi kesempatan untuk bernapas lega. Jemarinya turun ke bawah, mengusap lembut namun pasti, memastikan setiap lekuk kewanitaan Natalia telah basah oleh gairah. Namun di saat yang sama, sebuah kejutan membuat matanya terbeliak. Jemari Natalia, gemetar namun berani, meraih kejantanannya yang sudah menegang keras. Sentuhan itu membuat Alejandro terhenti sejenak, terperangkap antara keterkejutan dan kenikmatan yang semakin menguasai tubuhnya. “Ah, tangan Anda lembut sekali.” Awalnya Natalia hanya berniat sekadar mencoba, menyentuh dengan ragu seolah takut akan reaksinya sendiri. Namun, ketika melihat bagaimana wajah Alejandro berubah, bagaimana matanya terpejam dan desahannya terdengar nikmat, keberanian itu perlahan tumbuh. Jemarinya bergerak pelan, mengusap dari ujung hingga pangkal, merasakan bagaimana benda itu semakin keras dalam genggamannya. Alejandro mendesah berat, tubuhnya bergetar tiap kali telunjuk Natalia menyentuh ujung yang paling peka. Erangan kecil lolos dari bibirnya, menambah panas suasana yang kian menyesakkan d**a. Saat pandangan mereka akhirnya bertemu, Natalia melihat napas Alejandro memburu, matanya berkabut gairah, seakan hanya dirinya yang berarti di dunia ini. “Maaf, Nyonya. Tapi saya nggak tahan lagi,” ucap Alejandro serak. Ia melumat bibir Natalia dengan ganas, seolah hendak menegaskan kepemilikannya. Tubuh perempuan itu dibalik, pinggulnya diangkat, dan dalam satu gerakan penuh hasrat, Alejandro menembusnya dari belakang. Nafas mereka beradu panas, sementara Alejandro melingkupi punggung Natalia, menjilat bagian belakang telinganya, jemarinya meremas d**a yang bergetar mengikuti irama. Gerakan mereka kian cepat, beringas, meninggalkan segala rasa malu yang sempat ada. Alejandro terperangkap dalam kegilaan, kecanduan yang tak bisa dihentikan. Natalia menerima setiap hentakan dengan desah yang membius. Saat tubuh mereka berpadu tanpa jeda, gairah seolah tak berbatas. Dan ketika Natalia mencengkeram kuat, Alejandro memaki serak, erangannya pecah bersama ledakan kenikmatan. “Nyonyaa, sungguh sangat panas,” desahnya memuja. Tubuh mereka terus beradu hingga akhirnya hasrat mencapai puncaknya. Alejandro melepaskan inti sari dirinya, menyerahkannya sepenuhnya pada Natalia yang menyambut dengan senyum penuh suka cita. Keringat, napas yang memburu, dan sisa-sisa gairah masih melekat, namun di antara kelelahan itu ada kehangatan yang sulit dijelaskan. Mereka terkulai sejenak, saling menatap tanpa kata, seolah hanya tatapan yang mampu mengikatkan hati. Ketika akhirnya tubuh kembali tenang, mereka memutuskan memesan layanan kamar. Alejandro memilih nasi bistik, sementara Natalia meminta steak lengkap dengan kentang goreng dan salad. Di meja kecil yang menghadap langsung ke pantai, suara ombak menjadi musik pengiring. Sambil mengunyah, mereka berbincang ringan, tertawa kecil, menikmati kebersamaan yang manis setelah badai gairah yang menghempaskan mereka ke tepian rasa. “Nggak ingin berenang?” tanya Alejandro. Natalia mengangguk. “Mau, tapi nggak sekarang. Nunggu sore nanti.” “Bawa pakaian renang?” “Bawa.” “Bagus, nanti aku temani.” Sebuah percakapan sederhana, tentang renang, pantai, dan pasir. Dari pembicaraan mereka, Natalia tahu kalau Alejandro mahir berenang dan pernah ikut kejuaraan. Selesai makan, Natalia beranjak dengan tenang, berpamitan menuju kamar mandi. Udara sejuk dari pendingin ruangan tak mampu meredam panas yang masih tertinggal di tubuhnya. Begitu berdiri di depan wastafel, pandangannya tertumbuk pada cermin besar di dinding. Bayangan dirinya menatap balik—perempuan yang ia kenal, namun sekaligus terasa asing. Tatapannya jatuh pada kulit leher, bahu, hingga bagian atas d**a, yang kini dipenuhi tanda merah. Jejak gairah yang tak bisa ia sembunyikan, bukti dari cumbu dan desah yang semalam menelan mereka berdua. Jemarinya terulur, mengusap perlahan bekas itu, dan seketika ingatan tentang percintaannya dengan Alejandro menyeruak. Laki-laki itu seolah tak mengenal kata lelah, terus menuntut, terus memberi, membuatnya hanyut dalam pusaran hasrat yang tak terduga. Yang lebih aneh lagi, Natalia tidak menolak. Justru ia menyambut setiap sentuhan, setiap lumatan, dengan kerelaan yang penuh. Belum genap sehari mereka berada di tempat ini, tapi sudah berkali-kali tubuhnya bersatu dengan Alejandro. Rasa lelah seakan tak lagi berarti, tergantikan oleh kenikmatan yang memabukkan. Natalia menatap pantulan dirinya lagi, bertanya dalam hati: siapa sebenarnya perempuan yang kini menatap balik dari cermin itu? “Apakah dengan begini, aku akan cepat hamil?” Natalia berkata pada udara kosong. Tersenyum pahit, mengingat suaminya dan sang papa yang sedang sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD