BAB 17

1408 Words
Natalia merapikan kerah jas Victor, jemarinya berhenti sesaat saat melihat punggung tangan suaminya. Ada bekas kemerahan di sana, seolah pernah tergores atau terkena sesuatu yang panas. Alisnya berkerut, rasa ingin tahu menyeruak, namun lidahnya kelu untuk bertanya. Victor menatap jam tangannya dengan dingin, sama sekali tidak menyadari sorot mata istrinya. Hari ini Natalia tak memiliki agenda penting, berbeda dengan Victor yang sudah dijejali pertemuan sejak pagi. Ia berniat ke salon, sekadar merawat diri, menggunting rambut, dan mempercantik kuku. Namun bayangan bekas luka di tangan suaminya terus menempel di pikirannya, menimbulkan tanda tanya yang belum berjawab. “Apa yang terjadi? Kenapa tanganmu luka?” Victor menggeleng. “Nggak apa-apa, Sayang. Nggak sengaja kena rokok.” “Nggak sengaja? Kamu bukan anak-anak, kenapa bisa ceroboh?” Natalia mengambil krim dalam wadah kecil, membuka, dan mengoles isinya. “Semoga ini bisa membantu.” “Terima kasih, Sayang. Kamu baik sekali.” Victor meraih kepala istrinya dengan lembut, menempelkan kecupan singkat di kening Natalia. Namun, ia segera merasakan ketegangan pada tubuh perempuan itu. Alisnya berkerut, sedikit heran melihat reaksi yang tidak biasa. Natalia menegang, seolah sentuhan sederhana itu membuatnya terkejut, padahal gestur tersebut sudah sering ia lakukan. Victor menarik diri perlahan, menatap wajah istrinya dengan pandangan penuh tanya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. “Kenapa kau seperti kaget?” pikirnya dalam hati. Namun, Natalia hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi kegugupannya, meski jelas ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. “Kamu sudah ke rumah Papa?” Victor mengangguk. “Sudah.” “Pantas, Papa menelepon dan berharap sekali aku cepat hamil.” “Itu harapan kita semua, Natalia. Karena itu, jangan terlalu lelah bekerja. Hiduplah sesantai mungkin.” Natalia menghela napas panjang, berusaha menahan resah yang bergemuruh di dadanya. Ia memunggungi Victor yang sibuk menyisir rambut di depan cermin, seakan dunia mereka berjalan di jalur berbeda. Tangannya terus merapikan barang-barang di atas meja rias, sekadar mencari pelarian agar tak harus menatap suaminya langsung. Permintaan Victor kini terasa semakin berat, seperti beban yang perlahan menekan pundaknya. Ia mencoba meyakinkan diri, bahwa semua ini demi kebaikan rumah tangga mereka, demi karier sang suami. Namun, semakin hari, Natalia merasa dirinya kian terjebak dalam permainan yang tidak pernah ia inginkan. “Bagaimana kalau ternyata aku nggak hamil?” tanyanya perlahan. Victor meletakkan sisir, tersenyum ke arah istrinya. Ia mengusap bahu istrinya, lalu berbisik lembut, “Kalau begitu, kalian harus mencoba lagi sampai berhasil.” Natalia mengedip. “Tapi—” “Natalia, jangan kuatirkan apa pun. Aku yakin kamu dan Alejandro sama-sama sehat, akan punya anak dengan cepat. Alejandro sudah dibayar untuk membuatmu hamil. Jadi, sudah seharusnya dia melakukan tugasnya dengan benar.” Rasanya begitu menjijikkan, telinga Natalia masih berdenging mengingat omongan Victor yang meluncur tanpa beban. Ia mendesah panjang, seolah mencari udara segar di tengah sesak yang melilit dadanya. Bagaimana mungkin seorang suami bisa bicara begitu tenang, seakan-akan tidak ada yang salah ketika istrinya tidur dengan laki-laki lain? Tidak ada tanda cemburu, apalagi kemarahan. Hanya dingin, datar, dan penuh perhitungan. Natalia mulai bertanya-tanya, apakah cinta mereka telah pupus sejak lama tanpa mereka sadari? Mungkin sudah retak sejak awal, hanya saja mereka terlalu sibuk menutupi luka dengan formalitas rumah tangga. Padahal, usia pernikahan mereka baru empat tahun. Belum lama, belum seharusnya hambar. Namun kenyataan yang kini terpampang di hadapannya membuat Natalia sulit membantah. Ia memandang dirinya sendiri di cermin, mencoba menemukan jawaban. Namun yang terlihat hanya bayangan seorang perempuan asing, yang tak lagi mengenali arti bahagia dalam rumah tangganya. “Aku akan ke salon untuk spa hari ini,” ucapnya mengalihkan pembicaraan. Victor mengangguk. “Bersenang-senanglah, Sayang. Aku berangkat dulu.” Victor bergegas keluar kamar tanpa sempat mencium bibir Natalia, kebiasaan yang dulu selalu ia lakukan sebelum berangkat kerja. Gerakannya cepat, dingin, seolah tidak ada ruang untuk kelembutan di antara mereka lagi. Tom dan Tim segera menyusul, berbicara cepat mengenai jadwal rapat, pertemuan penting, dan segala urusan kerja yang menunggu. Natalia hanya mendengar suara mereka memudar bersama derap langkah yang semakin menjauh. Kesunyian kembali menyelimuti ruangan. Dengan tatapan kosong, Natalia membuka lemari, lalu mengenakan sebuah mini dress putih yang kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. Gaun itu sederhana, namun tetap memberi kesan anggun. Ia memanggil Camila, lalu meminta asisten setianya itu untuk tidak ikut menemaninya kali ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin menikmati kebebasan, meski hanya sebentar, tanpa ada mata yang mengawasi setiap geraknya. “Kamu ke kantor saja, biar aku jalan sama sopir.” Camila mengangguk patuh, lalu mundur tanpa banyak kata. Dengan sopir pribadi, Natalia meluncur ke salon ternama yang sudah dipesan sebelumnya. Begitu tiba, beberapa staf segera menyambutnya dengan penuh hormat, mengantarnya langsung ke ruang VIP. Sopir tetap menunggu di area parkir, sementara Natalia berusaha mengendurkan ketegangan yang masih melekat di tubuhnya. Ia membiarkan kulitnya dipijat lembut, dilulur dengan wangi rempah, lalu rambutnya dikeramas hingga harum memenuhi ruang. Untuk sesaat, Natalia mencoba mengabaikan semua kekusutan hidupnya, memaksa diri tenggelam dalam kenyamanan semu. Namun, ketenangan itu terusik ketika pintu VIP terbuka. Dua perempuan masuk dengan langkah anggun. Natalia mengenali mereka seketika. Yang pertama, istri Adolf—lawan politik Victor yang sering tampil garang di media. Dan di sampingnya, seorang artis sinetron terkenal, adik kandung Adolf, yang wajahnya kerap menghiasi layar kaca. Keduanya menatap Natalia dengan senyum tipis, seolah menyembunyikan sesuatu di balik keramahan itu. Natalia pun merasakan hawa dingin menyelusup, tanda bahwa sore ini tidak akan berjalan setenang yang ia harapkan. “Nyonya Gubernur ada di sini. Nggak nyangka bisa bertemu, suatu kehormatan.” Nama istri Adolf adalah Dianti, sedangkan si artis adalah Zaneta. Itu yang diingat oleh Natalia saat membalas sapaan mereka dengan anggukan kecil. “Nyonya Gubernur adalah perempuan paling sibuk setahuku. kenapa bisa bersantai dijam begini?” Pertanyaan Dianti membuat Natalia menghela napas. “Kalian datang untuk mempercantik diri, bukan? Jangan bilang karena ingin menyindirku,” ucapnya pelan. Dianti bertukar tawa dengan adik iparnya. “Tentu saja kami ingin mempercantik diri. Bukan hanya Nyonya Gubemur yang ingin cantik, bukan? Sayangnya, adalah kami sebagai warga sipil protes, kenapa di saat jam kerja, Anda malah sibuk di salon?” Natalia menolak untuk diintimidasi. Ia tersenyum kecil ke arah Dianti. “Ah, benarkah itu salah? Seingatku, suamimu juga pernah meninggalkanjam kerjanya untuk berjudi. Apa aku salah baca berita?” Dianti mengepalkan tangan. “Kamu nggak tahu apa apa soal suamiku. Jangan bicara sembarangan.” Natalia tersenyum tipis. “Hal yang sama berlaku untukmu. Jangan sok tahu dengan kehidupanku!” Dianti hendak membantah saat melihat adik iparnya menggeleng. Zaneta menarik kursi, duduk di sebelah Natalia. “Nyonya Gubernur, kami paham tentang kebutuhan perempuan. Di usiamu sekarang, pasti ingin terlihat cantik, apalagi suami Anda sangat tampan. Pastinya di luar sana ada banyak perempuan yang menginginkan bisa bersanding dengan Pak Victor.” Natalia mengangguk. “Ah, kamu tahu juga kalau suamiku tampan? Memang banyak perempuan yang suka padanya.” “Makanya kamu nggak percaya diri? Memoles diri terus menerus biar suami nggak berpaling muka? Sayangnya, umur tidak bisa bohong, Nyonya.” Natalia menahan dengkusan. Kapster menyelesaikan tugasnya untuk menata rambut. Ia menatap bayangannya di cermin, bangkit dari kursi dengan perlahan dan menatap Zaneta yang duduk di sampingnya. Wajah cantik, umur muda, sayangnya make up yang terlalu tebal. “Zaneta, daripada kamu mengurus orang lain, terutama aku yang sudah bersuami. Kenapa nggak urus dirimu sendiri? Ada banyak gosip yang beredar di luar, tentang adik seorang politikus yang liar. Suka berganti pasangan.” Saat melihat wajah Zaneta memucat, Natalia menutup mulut dengan wajah berpura-pura kaget. “Tunggu, aku nggak bilang itu kamu, loh!” “Sialan kamu!” desis Zaneta. Natalia mendekat dan berbisik, “Sekali lagi kamu memakiku, aku akan menggunakan seluruh pengaruhku untuk menghancurkan karirmu sekaligus wajahmu yang penuh operasi itu. Camkan!” Zaneta mengayunkan tangan, Natalia menangkapnya, dan mendorong perempuan itu. Dianti ternganga, berniat membantu sepupunya tapi Natalia berdiri menjulang di depannya sambil mengangkat tangan. “Jangan memancing kesabaranku, Dianti. Aku tidak segan memukulmu!” Natalia meninggalkan salon sebelum ada pertumpahan darah. Ia merasa hari ini yang seharusnya berjalan dengan nyaman, berubah menjadi mengesalkan karena kedatangan Dianti dan Zaneta. Ia akan meminta Camila mencari salon yang lain, demi menghindari resiko karena harus bertemu Dianti. Natalia termangu, karena hujan turun dengan lebat. Manajer salon menawarkan diri mengantar Natalia ke mobil dengan payung besar. Ia mengangguk, dan terdiam saat mobilnya berhenti tepat di teras salon. Seseorang keluar dari balik kemudi dengan payung hitam di tangan. Natalia terperangah heran. “Alejandro, sedang apa kamu?” “Nyonya, silakan masuk!” Natalia masuk ke mobil dengan bingung, karena Alejandro mendadak muncul di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD