Alejandro merasakan kelegaan saat melihat kedua orang tua angkatnya menangis gembira. Dengan uang dari Victor, mereka bisa membangun rumah yang hangus terbakar. Alejandro tidak mengapa menjual diri layaknya gigolo, yang terpenting bisa membantu keluarganya.
“Kami merasa sebagai orang tua sangat tidak berguna, Alejandro. Memberimu beban tak berkesudahan. Toko roti kami kurang berkembang, kamu yang selalu memberi modal. Sekarang rumah terbakar, kamu juga yang menghabiskan uang tabungan.” Sang papa meraung, menatap uang yang diberikan Alejandro.
“Sudahlah, Pa. Memang seharusnya aku membantu.”
“Tapi, uang itu bisa kamu gunakan untuk menyewa lapangan dan sebagainya.”
“Nanti aku akan cari cara lain.”
Malam itu, kedua orang tua Alejandro meninggalkan rumah dengan wajah lega. Mereka berangkat untuk mencari kontraktor pembangunan rumah baru, sesuatu yang selama ini hanya bisa mereka impikan. Uang asuransi yang cair akhirnya menjadi harapan besar—bukan hanya untuk membangun rumah layak huni, tetapi juga toko kecil yang bisa menopang hidup mereka ke depan. Alejandro ikut merasa plong. Setidaknya satu masalah telah selesai, satu beban keluarga berhasil ia ringankan.
Namun, kelegaan itu segera tergantikan oleh beban lain. Tentang lapangan tempat latihan klub bola, uang baru akan turun jika Natalia hamil. Pikiran itu terus menghantui. Bagaimana kalau Natalia tidak mengandung? Mereka hanya bersama selama satu minggu. Ia tahu, satu minggu tidak menjamin apa pun. Ia juga membayangkan betapa kecewanya Natalia jika harapan itu tak terwujud. Alejandro sendiri merasa tidak tega.
Ia mencoba menepis kecemasan itu dengan menenangkan diri. Masih ada waktu. Jika kehamilan belum terjadi, ia bisa mengulanginya lagi bersama Natalia. Tetapi justru dari pikiran itu muncul kegelisahan baru. Apakah semua ini benar-benar hanya soal tugas dan kewajiban? Atau ada alasan lain yang mendorongnya begitu bersemangat setiap kali bersama Natalia?
Alejandro mengingatkan dirinya berkali-kali: jangan terjebak. Natalia adalah istri orang lain, perempuan yang tidak seharusnya ia cintai. Sekecil apa pun bentuknya, perasaan harus dilarang tumbuh. Namun semakin ia menolak, semakin kuat bayangan Natalia hadir dalam benaknya—membuatnya sadar bahwa ia sudah terlanjur terlibat terlalu jauh.
“Kenapa kamu pulang nggak bilang-bilang?” Sofia datang dengan wajah kesal. “Kamu pergi keluar kota selama seminggu, pulang, tapi diam-diam saja?”
Alejandro mendengarkan ocehan kekasihnya dengan lelah. Mengaku salah karena kurang memperhatikan Sofia. Ia pulang ingin istirahat, karena besok harus bekerja lagi.
“Sudah malam, aku nggak mau ganggu kamu,” ucapnya pelan. Sofia bersedekap, melotot kesal. “Mulai kapan kamu punya rasa tidak enak sama aku? Tumben, hah!”
“Sofia, kamu tahu bukan ada orang tuaku di sini?” Sofia mencebik. “Aku tahu, karena itu nggak datang kemari karena menghargai mereka. Lagipula, Pak Gubernur juga aneh. Kenapa berbulan madu minta dikawal, sih?”
Alejandro meraih tangan Sofia dan meremasnya. “Maaf, aku sibuk sampai lupa memberi kabar.”
Sofia menatap Alejandro yang terlihat lelah. Menghela napas dan mengakui dirinya kekanak-kanakan. Kekasihnya baru pulang setelah perjalanan jauh, terlihat sangat kelelahan dan dirinya merajuk. Akhirnya ia mengalah, mencoba bersikap tenang.
“Orang tuamu sudah pulang, apakah mereka punya uang untuk memperbaiki rumah?”
Alejandro mengangguk. “Sudah.”
“Asuransi?”
“Bukan.”
Sofia mengernyit. “Lalu dari mana? Uangmu?”
Alejandro mengangguk. “Begitulah.”
Mereka duduk berdampingan di sofa kecil dalam diam. Rasa kesal Sofia kembali muncul. “Uang yang kamu tabung bertahun-tahun, Alejandro?”
Alejandro menghela napas, bangkit dari sofa. Ingin menjauh dari kekasihnya yang malam ini terasa sangat mengesalkan. Ia tidak tahu, apakah perasaannya yang sedang lelah atau memang begitu, tapi Sofia sangat cerewet malam ini.
“Sofia, mereka orang tuaku. Sudah seharusnya begitu.”
“Oh, kamu lupa dengan janjimu, Alejandro. Aku ingin menikah, kamu bilang uang tabungan belum cukup. Ternyata, sangat besar jumlahnya sampai bisa membangun rumah. Apa-apaan ini sebenarnya?”
Alejandro mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu meneguknya dengan rakus. Cairan dingin itu seakan mampu meredakan bara di dadanya, memberi jeda agar amarahnya tidak meluap. Ia menghela napas panjang, berusaha memahami kekesalan Sofia. Ia tahu betul, perempuan itu kecewa. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak mungkin menjelaskan keadaan sebenarnya, tidak mungkin menyingkap rahasia yang terlalu rumit untuk dibebankan pada Sofia.
Hubungan mereka yang sudah terjalin beberapa tahun memang bukan tanpa luka. Pertentangan datang silih berganti, terutama dari pihak keluarga Sofia. Ayah dan ibunya menilai anak gadis mereka pantas bersanding dengan seorang pengusaha sukses, bukan dengan lelaki biasa yang bekerja sebagai bodyguard. “Hidupmu akan selalu dekat dengan bahaya bila bersama dia,” begitu kata mereka pada Sofia. Kata-kata itu menusuk Alejandro, meski ia berusaha menutupinya dengan senyum tipis.
Di sisi lain, orang tua angkat Alejandro pun tidak sepenuhnya merestui. Mereka menganggap Sofia terlalu manja, tidak cocok mendampingi lelaki yang ditempa kerasnya hidup sejak kecil. Pandangan itu membuat Alejandro semakin terhimpit di tengah. Ia mencoba mengambil jalan tengah: membuktikan diri. Ia bekerja keras, mengambil tugas-tugas tambahan, menyisihkan setiap receh untuk tabungan masa depan. Semua demi mengubah pandangan kedua belah pihak, demi suatu hari bisa melamar Sofia dengan kepala tegak.
Namun, nasib berkata lain. Tabungan yang ia kumpulkan dengan susah payah harus ia relakan, demi membantu orang tua angkatnya yang tengah kesulitan. Alejandro tidak menyesal, tetapi luka itu tetap ada. Ia tahu Sofia takkan mengerti, atau setidaknya butuh waktu lama untuk memahami. Kini, yang tersisa hanyalah dirinya—seorang lelaki dengan cinta yang besar, namun langkah yang terasa semakin berat untuk diteruskan.
Mereka saling menatap, dengan Alejandro bersandar pada wastafel. Mencuci gelas, lalu meletakkan di rak. Untuk saat ini, Alejandro sangat berharap kalau Sofia pergi dan meninggalkannya sendiri.
“Kenapa kamu diam, Alejandro?”
Menghela napas panjang, Alejandro mengangkat bahu. “Terserah kamu mau bilang apa. Tapi, aku tidak mungkin membiarkan orang tuaku kesusahan. Sofia, sebaiknya kamu pulang. Kita bicara lagi lain waktu.”
Sofia terbelalak. “Kamu mengusirku?”
Alejandro mengangguk. “Iya, aku sedang tidak ingin bertengkar. Lebih baik kita sudahi percakapan. Pulanglah!”
Sofia memejamkan mata, berusaha menahan perih yang merambat di dadanya. Rasa sakit itu begitu nyata, seolah ada beban berat yang menghimpit napasnya. Ia datang dengan niat tulus, setelah berhari-hari tidak bertemu Alejandro. Hanya ingin mengucap belasungkawa, menenangkan lelaki yang dicintainya, dan berharap malam itu bisa menjadi kesempatan untuk kembali dekat dalam kehangatan.
Namun, kenyataan justru menusuk hatinya. Alejandro bersikap dingin, kata-katanya kaku, dan sorot matanya terasa jauh. Tidak ada pelukan yang menenangkan, tidak ada genggaman tangan yang ia rindukan. Semua yang Sofia harapkan runtuh, meninggalkan kecewa yang begitu dalam.
“Bukan ini yang aku inginkan saat datang, Alejandro,” ucapnya sendu. “Kenapa setiap kali bertemu selalu berakhir dengan pertengkaran?”
Alejandro menggeleng lemah. “Entahlah, anggap saja aku sedang lelah. Maafkan aku.”
“Selalu meminta maaf, tapi mengulangi hal yang sama. Alejandro, lama-lama aku lelah sama hubungan kita. Aku merasa, seolah tidak ada aku di hatimu.”
Sofia melangkah keluar dengan kepala tertunduk, menyimpan kesedihan yang tak mampu ia tunjukkan. Alejandro bisa menebak, air mata kekasihnya pasti jatuh saat punggungnya tak lagi terlihat. Namun malam itu, ia benar-benar tidak memiliki tenaga untuk menghibur siapa pun, bahkan Sofia.
Dengan langkah lunglai, Alejandro berjalan ke pintu samping rumah. Matanya tertuju pada lapangan yang kini terkurung pagar kawat berduri. Pemandangan itu menyesakkan d**a. Ia bisa mengerti keluhan anak-anak yang dulu biasa berlari dan tertawa di sana. Kini, tempat itu seolah mati, sunyi tanpa suara semangat.
Alejandro menggenggam erat jemarinya, mencoba menahan rasa frustrasi. Entah kapan ia bisa mengumpulkan cukup uang untuk kembali membuka akses lapangan itu. Sebuah harapan kecil muncul di benaknya—mungkin nanti, saat Natalia benar-benar hamil. Saat itulah, dana yang dijanjikan akan turun, dan mimpinya bisa kembali hidup.
Alejandro ingin masuk untuk merokok saat terdengar langkah orang berlari menghampirinya. Ia menatap beberapa anak dengan heran.
“Mau apa kalian malam-malam begini?”
“Kak, ayo, kita main!” kata anak yang paling tua.
“Main apa?”
“Bola, masa, main tali.”
“Ayoo!”
Alejandro tidak mampu menolak ketika tangan kecil itu menggenggam jemarinya dan menariknya menuju taman. Lapangan seadanya, dengan tanah yang tidak rata, menjadi arena bermain bola bagi anak-anak. Mereka berlari penuh tawa, seolah dunia tidak pernah mengenal kesedihan. Alejandro hanya bisa mengingatkan agar mereka tidak membuat keributan, meski dalam hati ia tak ingin memadamkan semangat polos itu.
Keringat anak-anak bercucuran, sorak sorai mereka menggema di udara malam. Alejandro ikut tersenyum, mencoba melupakan gundah yang menekan dadanya sejak tadi. Untuk sejenak, ia merasa damai, seakan beban hidupnya lenyap di balik tawa sederhana mereka.