Setapak demi setapak langkah Ava mengekori bos barunya.
Dia Kalingga Elang Danuarta.
Tiba di ruangan bos yang mewah, pertama-tama Ava ucapkan, "Terima kasih, Pak."
Pria berusia 35 tahun itu tersenyum. "Tak perlu. Lupa? Secara keluarga, kamu bahkan bisa memanggil saya paman. Atau om lebih baik."
Ah ... iya.
Ava menggigit bibir bagian dalamnya, refleks saat merasa kikuk atau gelisah. Kali ini jelas kikuk. Dan melihat Ava seperti itu, Elang beralih topik.
"Oh, ya, terkait desainmu." Buku sketsa dan sejenisnya sudah kembali ke pelukan Ava. Asisten pribadi yang rangkap sebagai sekretaris Elang pun sudah tak lagi bersamanya, beliau di luar ruangan. Sedangkan Pak Bambang selaku bos lama, beliau telah berpamitan. "Saya tertarik."
Om—eh, haruskah Ava sebut begitu tentang sosok pria di depannya?
Kalingga Elang Danuarta, lelaki ini benar pamannya. Hanya memang tidak dekat. Bisa dibilang paman jauh malah. Di samping itu, sejak sang ayah menikah lagi, Ava benar-benar mengalami krisis kedekatan dengan keluarga besar.
"Ter ... tertarik?"
Elang mengangguk, dia ambil tempat di sofa, lalu menyilakan Ava duduk juga.
"Ya. Saya tertarik pada karyamu di suatu kompetisi."
Ava mengerjap. Agak tercenung.
Kompetisi?
Bukannya Ava tidak ingat, tetapi itu sebuah kejadian yang cukup lampau.
"Lalu saya menemukan dokumen personalnya dimanipulasi."
Dengar?
Ava dan desainnya adalah perpaduan yang tidak pernah didaftarkan pada sebuah kompetisi, yang jikapun itu terjadi, data personal bukan ditulis atas namanya. Inikah yang paman maksud?
"Bagaimana kalau saya membantumu menangani kasus itu?"
Ava tertegun.
Tiba-tiba saja ritme detak jantungnya menanjak. Yang Pak Elang—eh, pamannya—ucapkan itu kedengaran cukup mengguncang bagi Ava.
Bagaimana tidak?
"Sebelumnya ... Om tahu dari mana tentang itu? Maksudku, setahu aku sejauh ini nggak ada yang tahu selain kami. Orang-orang terkait." Dan Ava hanya bisa menangis kala itu. Dia hancur, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Kejadiannya tepat saat ibu tutup usia.
Ava bahkan tidak ada energi untuk memeranginya. Sekadar memerjuangkan miliknya, karyanya, Ava tidak ada daya.
Kemudian sekarang ... seorang Kalingga Elang Danuarta muncul bak anomali dalam kehidupan Ava yang baru. Beliau menawarkan sebuah bantuan terkait kasus yang membuat perasaan Ava tercabik-cabik, Arsenino sekali pun tak bisa mengatasinya.
Ah, Arsen bahkan sedang asyik-asyiknya merayakan kehancuran Ava kala itu bersama Gita.
Iya, kan?
Saat Ava merasa tak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sandaran, lalu Arsen yang paling Ava percaya nyatanya menjadi bagian terbesar dari sebuah pengkhianatan.
Ringan dan tenang Elang menjawab, "Saya menyukai desainnya, jadi saya mencari tahu informasi soal dokumen personal pemilik desain itu, tapi asisten saya menemukan fakta mengejutkan di baliknya. Ternyata dokumen personalnya dimanipulasi."
Ava mencerna. Terdengar sangat bisa diterima akalnya ucapan sang paman.
"Lantas ...." Ada lagi yang ingin Ava tanyakan. Dia agak berdebar. Masalahnya, secara sadar Ava sekarang sedang berhadapan dengan pria panutan Diamond Dreams, bahkan panutan bagi seluruh perusahaan desain perhiasan di muka bumi. Wajar bila Ava gugup, bukan?
"Lantas?"
Ava membasahi bibir. Di situlah tatapan Elang tergelincir. Memandang lekat bibir sang ponakan.
"Lantas kenapa ... karena apa ... ah, maksudku, atas dasar apa Om ingin membantu? Kalau hanya karena menyukai desainnya, kurasa nggak perlu semerepotkan itu."
Bukannya tidak mau menerima bantuan, bukannya menolak, apalagi tak butuh. Terlebih, ini bantuan dari 'pusat' ibaratnya. Dari seorang Kalingga Elang Danuarta.
Siapa, sih, beliau ini?
Perlukah Ava perkenalkan sosok Elang dengan rinci? Walau tak dekat, saat disebutkan tentang lelaki itu, Ava jelas tahu dan ingat banyak. Di kehidupan sebelumnya, Ava hanya jadi pendengar tentang segala hal dari sosok Elang.
Tinggal di luar negeri, paman jauh Ava.
Makin jauh lagi karena papa diasingkan keluarga besar.
Tapi sekarang ....
Ava bahkan berhadapan dengan salah satu saudara jauhnya itu.
Bisakah Ava percayai? Inilah yang membuatnya merasa harus lebih jeli, teliti, menelisik, hingga tidak sembarangan menerima sekali pun yang ditawarkannya berupa bantuan. Menguntungkan.
Ava tidak mau gegabah.
Kepercayaannya pernah tercederai oleh orang yang sangat dia cintai, tak hanya kekasih, tetapi papa juga demikian.
Well, Ava baru berusia 22 tahun saat ini. Ava melihat Elang tersenyum. Lelaki tampan dan matang itu berucap, "Karena yang saya sukai tidak sekadar desainnya, tetapi juga pemilik asli dari desain itu."
***
A-apa tadi?
Apa yang barusan?
Ava berbalik, ditatapnya daun pintu ruangan bos yang baru saja dirinya keluar dari sana.
Hingga kini Ava duduk di meja kerjanya.
Seluruh mata tertuju di Ava.
"Va ...."
Yang biasanya tidak dipedulikan, sekarang Ava dipanggil.
"Iya, Kak?"
Oleh senior pula, cara memanggilnya cukup ramah di telinga.
Sementara itu, Gita tampak geram di tempatnya. Dia kena hukuman. Dijatuhi hukumannya di tempat terbuka pula, lobi lantai tiga, meski memang seluruh karyawan dipersilakan duduk di meja masing-masing ... tetap saja! Di lobi lantai tiga ada pekerja, lalu tentangnya auto jadi topik panas di grup. Karyawan lantai satu sekali pun bisa tahu.
Argh!
Ini semua gara-gara si sialan Ava.
Bahkan baju Gita jadi kotor.
Pokoknya, gara-gara Ava.
Gita kembali memikirkan siasat untuk—eh, apa ini?
Dia dapat pesan. Jantung Gita berdebar saat nama pengirimnya adalah penanggung jawab Diamond Dreams untuk acara pameran desain perhiasan elite global.
Di mana desain Gita sudah dikirimkan ke penanggung jawab di perusahaan, untuk kemudian bersaing dengan desain seluruh karyawan sini. Begitu tembus penyaringan lokal, barulah didaftarkan ke pameran oleh penanggung jawab itu masih dengan identitas Diamond Dreams. Namun, kelak saat sudah lolos, Gita bisa mencantumkan namanya dan ... wah!
Kyaaa!
Dia menjerit semringah.
Tatapan orang-orang yang semula tertuju di Ava seketika beralih padanya.
"Guys, aku lolos babak akhir buat ikut pameran elite global sebagai perwakilan Diamon Dreams!"
Jelas, ini suatu kebanggaan. Kalian tahu? Kuota penerimaan hanya sedikit, itu pun disaring dan disaring, bahkan per perusahaan desain hanya boleh mengirimkan satu, dipilih desain mana yang banyak diminati para elite perusahaan barang mewah. Untuk kelak dipajang di pameran, dipresentasikan nilai desainnya, lalu dilelang, kemudian ... indah sekali bayangan kesuksesan di kepala Gita. Yang lalu dia kembali dengan sosok congkaknya.
Tak masalah dihukum, persetan dengan potong gaji.
Memangnya dengan kebanggaan seluar biasa ini bagi perusahaan, bos tahan menghukumnya lama-lama?
Oh, makin berjaya rasanya Gita. Apalagi saat kabar bahagia ini diumumkan tepat di hari pertama bos baru singgahi kantornya.
Pak Elang pula.
Gita tentu tahu siapa beliau.
Dan kabar gembira ini mestinya sudah tiba di Pak Elang.
Ava mengecek website pameran yang dimaksud di ponsel, dia menemukan nama perusahaan Diamond Dreams.
Di kehidupannya yang lalu, Ava juga ikutan daftar. Dan dari semua yang mendaftar itu gagal di seleksi akhir. Namun, sekarang Ava tahu kuncinya, desain seperti apa yang bisa memikat para elite global.
Sekarang grup besar perusahaan Diamond Dreams sedang ramai memberi selamat untuk Gita.
Sebelum akhirnya, Ava men-slide pesan pengumuman yang memperlihatkan desain Gita, lalu Ava ketik di sana.
Ava: [Lho, ini desainku.]
"Duh ... sirik, ya? Kok, ngaku-ngaku?" Gita nyeletuk langsung.
Ava tak memedulikan, dia ketik pesan di grup, dan dengan agak maju-mundur—meragu—Ava tandai kontak bos baru.
Ava: [Maaf sebelumnya. Bisa tolong dicek lagi, Mbak, sebagai penanggung jawab event pameran ini? Aku daftar dengan desain yang sama persis dan bisa kupastikan originalitas desainku.]
Ava: [Dan sebelum didaftarkan ke pusat pameran, saat akhirnya perusahaan sudah memutuskan desain terpilih, kenapa tidak ada kabar-kabari pada saat pengumuman itu, Mbak? Tahu-tahu sudah didaftarkan dan lolos tahap akhir, tapi ternyata desain terpilih adalah desain hasil plagiat rekannya.]
Ava: [Bukannya apa, Mbak, @Pak Elang selaku bos baru kami. Selain menghargai hak cipta dari sebuah karya, bukankah pada saat pameran nanti akan ada tahap presentasi? Di mana sebagai pemilik asli desain itu, bukankah jelas saya yang paling tahu tentang makna dari detail dan segala ukirannya?]
Ava: [Apa kabar saat yang mempresentasikannya adalah seorang plagiat desain itu? Nilai desain yang lolos ini bisa jatuh, di saat bisa jadi lebih tinggi dari yang diharapkan perusahaan untuk hasil lelang.]
Rahang Gita mengetat.
Pintu ruangan tim desain mereka pun terbuka, tetapi yang masuk bukan orang yang Ava harapkan.
Eh, dia berharap siapa memang?
Pamannya?
***
Jam kerja usai. Terkait kisruh di grup soal desain Gita, konon akan dilakukan pemeriksaan sementara masih ada waktu untuk pentas di pameran nanti.
Ava cukup puas dengan respons itu. Dia rasa ini bahkan lebih baik dari yang sudah dirinya rencanakan. Bila bosnya masih Pak Bambang, mungkin Ava sendiri yang harus turun tangan menyerahkan bukti-bukti. Sebetulnya sudah Ava miliki, tetapi mari lihat bagaimana cara perusahaan di bawah kepemimpinan baru ini bekerja.
Konon, Pak Elang akan memeriksanya sendiri.
"Butuh tumpangan?"
Ava terkesiap.
Dia lalu menatap sekitar. Bagaimanapun bukankah tak baik bila tampak terlalu dekat dengan atasan? Bos baru pula. Di mana sosok Kalingga Elang Danuarta tak diketahui khalayak tentang statusnya yang merupakan paman jauh Ava.
"Ayo ikut sama saya, sekalian lewat."
"Terima kasih, Pak." Karena di tempat umum yang mana tahu siapa pun bisa mendengar, jadi sebutannya 'pak' bukan 'om.'
"Aku udah pesen ojek online," imbuh Ava, menolak sopan. Sesopan senyumnya selepas memberi penolakan.
Sebelum itu, tadi pamannya bilang apa? Sekalian lewat? Seolah tahu di mana tempat Ava tinggal.
Namun, belum sempat Ava tanyakan, seseorang muncul dari pintu keluar.
"Sayang! Aku cari-cari, di sini ternyata." Arsen melempar senyum menatap kekasihnya. Dia menyentuh pundak Ava, agak berjengit samar tubuh gadis itu. Kaget, ya?
"Yuklah, pulang. Aku sengaja ke sini buat jemput kamu. Sekalian kita makan malam dan ngobrolin soal ide desain kamu. Aku penasaran sebagus apa yang mau dilombain itu."
Ava kontan membeku.
Dulu, perihal ide desain yang dia ceritakan kepada Arsen, Ava selalu bersemangat. Membahasnya dengan sang kekasih membuat dia merasa mencintai dan dicintai dengan total karena Arsen pun berbagi soal pekerjaannya tanpa terkecuali.
Ava anggap itu sikap terbuka dan positif dalam sebuah hubungan.
Namun, sekarang tidak lagi.
Tubuh Ava bahkan menolaknya. Sampai semembeku ini.
Dan dengan sikap permusuhan, Elang responsif. Dia menyergap perbincangan. "Anda buta?"
Perihal keberadaannya yang tak digubris. Oh, Elang mencela pria itu.
"Ava pulang dengan saya." Lalu menarik pergelangan tangan Ava dan menyuruhnya masuk ke mobil.
Mobil Elang pun melesat pergi.
Meninggalkan Arsen yang sedang mencerna situasi, juga ... siapa lelaki itu tadi?
***