3 | Bertemu

1112 Words
Ava memoles gincu di bibir, menatap pantulan diri di cermin. Perlukah dia ubah penampilan? Ava lalu meraih tas kerja, pergi ke kantor seperti biasa. Hari ini Ava memakai kemeja terbaiknya. Bukankah akan ada bos baru di perusahaan? Ava pikir setidaknya kesan pertama itu penting, dia mulai dari memperhatikan penampilan. Masalahnya, Ava tidak bisa menebak alur tentang bos baru itu. Di kehidupan Ava sebelumnya tak ada kejadian ini. Dan saat kaki mulai menapaki lobi Diamond Dreams, Ava merasa dejavu pada suatu hal yang pernah dialaminya dulu. Ada Gita dan segelas kopi kemasan. Ava menghitung waktu. Menatap jam tangan. Memasuki lift di mana gerombolan senior juga ikut masuk. Dulu .... Sekeluarnya dari lift, saat Ava masih memeluk buku sketsanya, juga ada map berisi kertas desain yang Ava garap semalam, firasat Ava mengarah pada situasi di kehidupan lamanya. Waktu Gita dan gerombolannya jalan mendahului, tak lupa mereka selalu sengaja menubruk bahu Ava. Kemudian, Gita berbalik—lagaknya dibuat seolah Ava akan menubruk hingga kopi di tangan tumpah dan .... "Akh!" Gita memekik. Oh, Ava berhasil menghindar. Tak seperti dulu, detik di mana gelas kopi Gita ditumpahkan mengarah pada desainnya, tumpah mengotori kertas desain perjuangan Ava yang ada di dalam map plus pelukannya. Kini tidak demikian. Ava sukses tidak mengulang sejarah kopi tumpah di atas kertas desainnya. Di kehidupan ini, Ava sigap melempar buku sketsa beserta kertas desainnya ke sisi kiri, sedangkan tangan Ava yang satunya dengan gesit menepis gelas Gita sehingga jadi berbalik arah. Isinya lantas tumpah dan mengotori sang empu. Lihatlah. Pakaian Gita penuh noda kopi. Suasana di lobi lantai tiga itu pun menegang, mereka banyak yang tercengang, khususnya teman-teman Gita. "Lo—t***l! Punya mata nggak, sih, hah?!" bentak Gita. "Lo nggak lihat di depan ada gue? Main jalan terus jalan aja!" Lagi, vokal Gita menggelegar menyentak Ava. "Oh, atau lo sengaja? Dari kemarin kayaknya lo emang udah mulai sok! Terus ini ... sialan! Kotor baju gue, berengsekk!" Sambil mendorong bahu Ava. Ava tersentak mundur selangkah. Tahan. Tahan dulu. Jari telunjuk Gita lantas terarah padanya, menunjuk-nunjuk tepat di wajah Ava. "Guys, kalian lihat? Dia sengaja! Atau emang Ava ini pembawa sial." Persis. Di kehidupan yang lalu, adegan ini dicipta untuk mempermalukan Ava. "Bukan cuma sekali dua kali, sering! Dan bukan cuma gue aja yang pernah kena sial gara-gara Ava." Gita lantas kembali menatap saudari tirinya. "Nggak di rumah, nggak di kantor, sama aja. Sekarang lo ganti rugi! Lo tahu berapa harga baju ini, huh?" Amukan pecah. Tatapan Gita berapi-api dengan amarah yang membuncah. Dia bahkan tak hanya sekadar mengejek, tetapi juga menghasut orang-orang di sana agar mengucilkan Ava. Katanya, "Dan buat kalian, mending nggak usah deket-deket apalagi sampe punya hubungan akrab sama Ava. Karena siapa pun yang ada kedekatan dengan ini cewek, selalu aja sial. Gue contoh kecil, padahal cuma jalan di depannya. Yang lebih dari itu, ibunya bahkan sampe mati muda dan ... masih banyak lagi yang terkena sial jadi orang terdekat Ava." "Ih, ngeri!" timpal teman-teman Gita, mereka lalu termundur sambil memeluk diri. Ava biarkan mereka terus mengoloknya. Benar-benar aksi yang sangat kekanak-kanakan. "Sebelumnya, kalian inget kejadian—" Belum usai tutur kata Gita, tiba-tiba dia berhenti. Persis dengan gemuruh bisik-bisik yang muncul, ganti dengan atmosfer lain. Tepat di depan ujung sepatu pantofel mengilapnya, seorang pria mengambil desain Ava berikut buku sketsa yang dilempar beberapa saat sebelum ini. Sosok pria itu lantas menjadi pusat perhatian di lobi lantai tiga. Bagaimana tidak? Dia memiliki bentuk fisik dengan segala keindahan yang nyaris sempurna, tampang pun tampan paripurna. Di samping itu ... mereka langsung bisa mengenalnya. Kalingga Elang Danuarta, putra tunggal sekaligus pewaris Luxora, yang selama ini tinggal di luar negeri—oh, God! Luar negeri? Tidakkah itu berarti .... Yang membuat seorang Kalingga Elang ada di sini, jangan-jangan? "Desain perhiasan ini sungguh memukau, detailnya sangat rapi dan indah. Di lain sisi terlihat inovatif dan menarik, pasti akan membuat pemakainya tampak lebih stylish dan fashionable." W-wah! Mereka terpukau hanya dengan mendengar suara Elang. Sosok yang selama ini hanya ada di papan panutan Diamon Dreams, nyata berdiri di hadapan mereka, bahkan Ava. "Maaf, Sir. Desain seperti itu—" "Apa Anda meragukan penilaian saya?" Tatapan Elang membidik Gita, pun memindai penampilan gadis itu. Tak lama, sorot mata Elang kembali ke khalayak. Di belakangnya sudah ada sang asisten dan bos lama Diamon Dreams. Pak Bambang, lelaki yang sudah lama menjabat sebagai bos di sini pun melangkah maju. Pak Bambang menepuk Gita. "Cepat minta maaf sama Sir Elang!" Teman-teman Gita kompak merenggang dari yang semula berdiri di dekatnya, apalagi saat Pak Bambang berucap, "Oh, ya ... mohon perhatian, semuanya! Ini ... perkenalkan, mungkin sebagian atau seluruh dari kalian sudah mengenalnya. Beliau, Pak Elang, mulai sekarang resmi menggantikan saya sebagai pimpinan Diamond Dreams." Riuh suara 'wah' dan 'hah' memeriahkan. "Ya, beliau adalah bos baru kalian di sini." Pak Bambang lalu menunduk kepada Pak Elang. "Maaf karena memperkenalkan Anda dengan cara seperti ini, Pak." Bahkan jam kerja yang mestinya sudah dimulai malah molor gara-gara .... "Siapa tadi namanya? Wanita ini." Elang menunjuk Gita. "Ah, dia Gita Anastasya dan sebenarnya merupakan karyawan yang—" "Gita." Elang memangkas. "Yang lain, silakan ke tempat masing-masing dan mulai pekerjaan kalian." Ava menatap sosok bos barunya. Ada hal yang membuat dia mematung untuk sesaat. Di mana kini dia bingung bagaimana cara menyela Pak Elang untuk mengambil buku sketsa berikut kertas desainnya. Masih di tangan beliau. Oh, atau Ava lengser ke meja kerjanya dulu saja? "Gita, kamu sudah membuat keributan yang tidak perlu di sini. Kamu menyita waktu para pekerja saya di mana waktu adalah uang dalam ranah bisnis, artinya kamu sudah menghadirkan miliaran kerugian terhitung dari tiap menit yang kamu sabotase." Sambil melihat jam tangan rolex, hasil desain Luxora. Ditatapnya kembali wajah Gita. "Kamu tahu setiap perbuatan ada konsekuensinya, kan?" Hukuman. Gita tampak menelan saliva. Ava masih berpikir ini bagaimana cara dia menyela, meminta buku dan kertas desainnya? "Potong gaji harian selama satu minggu, tapi tetap masuk kerja sambil saya evaluasi. Kalau ini pun kamu tidak mematuhi, berarti—" "Pak, maaf. Kenapa jadi saya? Bapak nggak lihat di sini siapa yang korban? Nih, lihat baju saya. Bapak juga harus dengar dulu kronologi dari kejadian ini." "Saya sudah lihat dan mendengar semuanya. Kamu pikir saat kejadian, saya tadi di mana?" "Tapi, Pak—" Gita ditegur, masih ada Pak Bambang juga di antara mereka. "Oh, ya. Dan selama masa satu minggu itu, kamu boleh sambil mempertimbangkan untuk tetap di sini atau undur diri, tentunya dengan denda yang berlaku tergantung masa kontrak kerjamu." Rahang Gita mengetat, tangan pun mengepal. Sudah, kan? Ava pun mangap hendak bicara sekalian mau berterima kasih, tetapi belum suaranya keluar, Pak Elang mendahuli dengan berkata, "Kamu ikut saya ke ruangan." Eh? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD