8 | Hari Eksekusi

1616 Words
Langkah Elang terdengar mantap saat memasuki ruang desain Diamond Dreams. Melewati bagian dinding kaca berlapis kristal—menyerupai jendela lebar dalam ruangan—memantulkan siluet tubuhnya yang tegap. Di tangannya, Elang membawa map hitam berisi konsep koleksi terbaru. Semua karyawan berdiri memberi salam, tetapi matanya hanya mencari satu sosok—Ava. Gadis itu duduk di meja desain, menunduk dengan serius, tangannya lincah menggambar pola cincin yang rumit. Rambut hitamnya tergerai lembut, sedikit menutupi wajah. Elang menghela napas. Setiap kali melihat Ava, hatinya selalu bergetar—perasaan yang seharusnya tidak boleh dia miliki. Mengingat Elang adalah paman dari gadis itu, setidaknya di mata keluarga. Namun, hubungan darah tak pernah benar-benar ada di antara mereka. "Desain yang bagus," ucap Elang dalam dan tenang, membuat Ava menoleh. “Oh .... Pagi, Pak Elang,” jawabnya, menyapa singkat dan ramah. Lalu senyum segaris. "Mm ... terima kasih." Dipuji oleh orang sekeren pimpinan Luxora, bagaimanapun Elang itu asalnya dari perusahaan raksasa kelas internasional, Ava merasa tersanjung. Tapi semoga pujian itu dilontar objektif. Elang lantas mengalihkan atensinya kepada semua orang dalam ruang desain. Gita terutama, subjek kedua incaran Elang. Tapi sebelum itu, Elang datangi meja kepala tim. Dia letakkan map hitam di sana. "Ini konsep koleksi terbaru, buatkan yang sesuai. Akan launching untuk produk pertama di masa jabatan saya." "Baik, Pak." Elang mengangguk-angguk. Dia lalu menatap Gita yang sejak tadi terasa sedang memperhatikannya. "Selesai jam istirahat nanti kita meeting." Semua menyahuti, "Baik, Pak." Elang pun berlalu. Ava kembali fokus pada desainnya, tanpa sadar dia menggigit bibir merasakan desir yang tak ingin dipahami. Di sisi lain, Gita mengirimkan pesan kepada Arsenino. Gita: [Bener ternyata. Cowok yang waktu itu Pak Elang. Dan papa bilang, dia ini paman kami.] Gita: [Wah ... ada konspirasi apa, ya, mereka? Kok, bisa kebetulan banget momennya? Pas juga sama sosok Ava yang berubah drastis. Dia bahkan bisa nolak ajakan kencan. Seorang Ava Aradhana, lho, ini. Ada apa, ya?] Gita: [Ngomong-ngomong, kamu ajak Ava makan siang sekarang dan harus terjadi! Harus bisa gali info. Bakal ada rapat soalnya. Aku rasa itu rapat buat bahas kasus plagiat. Senggaknya kalo aku bisa ngebuktiin dengan presentasi yang lebih bagus dari Ava, desain itu pasti dipercaya bikinanku.] Gita: [Ya, kecuali kalo di antara mereka beneran ada sesuatu.] Gita: [Plis, Yang! Usahain, ya? Pake cara apa pun.] Gita butuh informasi terkait desain perhiasan yang sudah di-acc untuk pameran. Waktunya tidak banyak, pameran elite global itu juga semakin dekat dilaksana. Argh! Ava sialan. *** Kali ini Ava tidak menghindar, dia penuhi ajakan makan siang dari sang pacar. Oh, ponsel Ava ribut oleh getar-getar pesan atas nama Pak Bos Baru. Ava mode silent-kan saja notifikasinya. Duduk di depan Arsenino yang memberi senyum lebar. Di bangku yang pria itu tarikkan untuknya. Perlakuan Arsen begitu manis. Ava sudah pasti tersanjung, dulu. Sekarang tidak lagi. Tak ada rasa atau getaran apa pun terkait Arsen di dadanya. Ah, tidak. Sekalinya ada getaran pun namanya bukan lagi cinta, melainkan benci dan dendam semata. Seapik mungkin Ava tutupi dengan senyum-senyum tersipunya. "Makasih." Arsen balas senyum serupa. "Aku udah kangen banget sama kamu. Beneran kamu kayak menghindar. Aku sampe mikir, apa Ava udah bosen?" Hoek! Rasanya ingin Ava muntahkan caci maki untuk pria satu ini. Yang Ava tahan-tahan walau sudah mual mendesak tiap kali mendengar lantun kalimatnya. Arsen benar-benar pandai. Ava yang dulu tentu tertipu. Malah sejak awal Arsen mengajak makan, kayaknya Ava langsung mau, lalu menceritakan semua yang Arsen ingin tahu. Bodoh. Dan Ava hanya akan menangis, lalu memercayai Arsen bila itu semua sudah merupakan suratan takdir. Soal Gita yang berdiri penuh percaya diri mempresentasikan hasil desain jiplakan dari ide Ava. Takdir yang dimaksud adalah 'belum rezekinya' dan 'sedang apes.' Naif. Ava yang itu sudah wafat, sekali lagi, ini Ava dengan sosoknya yang baru. "Kamu nggak makan?" Ava cuma pesan minum dan itu pun air putih kemasan. "Sebenernya, aku lagi nggak mood makan. Kayaknya aku lihatin kamu makan dulu aja, Yang. Nanti kalau kepengin, aku nyusul mesen." "Mau aku suapin? Biasanya ampuh kalo kamu lagi nggak selera," kata Arsen. Ava geleng-geleng. Aslinya, kan, karena sudah tidak percaya lagi dengan Arsen. Ava juga jaga-jaga, tak mau makan dan minum sembarangan, terlebih jika sedang bersama Arsenino, Gita, atau mama. Ava bahkan jarang makan di rumah dan syukur tak ada yang peduli, termasuk papa. Ava serasa sebatang kara di tengah keluarga yang masih ada. "Oke. Aku makan, ya? Eh, sambil ngobrol aja kayak biasa, Va. Kamu biasanya punya banyak yang mau diceritain. Aku selalu siap dengerin." Lagi-lagi dulu, Ava mungkin akan terkesima. Dia yang memang butuh didengar. Ava, kan, sosok yang tak seorang pun mau mendengarkan celotehnya, terkhusus para manusia di rumah. Arsen adalah sosok yang mengisi semua ketimpangan di hidup Ava. Arsen dengan sempurnanya membuat Ava nyaman dan begitu percaya. Padahal ... super guguk. "Kamu tahu? Aku denger Gita punya pacar yang namanya sama kayak nama pacarku." Oh, Arsen terbatuk. Cepat-cepat Ava bukakan tutup botol air mineral dan diserahkannya kepada sang kekasih. Arsen langsung meneguk demi mengatasi batuk, dan Ava tak perlu meminum minuman yang dibelinya itu. Baguslah. "Maaf, maaf. Kaget, ya?" Ava memasang tampang merasa berdosa. "Kayaknya lebih baik nggak usah sambil ngobrol, deh. Kita kangen-kangenan biasa aja." Arsen berdeham. "Nggak ... maksud aku, siapa yang bilang begitu? Namanya sama itu ... sama-sama Arsenino, gitu?" Ava mengangguk lugu, selugu tatapannya. Begini, kan, dirinya yang dulu? "Tapi, ya ... kan, ada banyak nama sama di dunia. Mungkin cuma kebetulan aja. Lagi pula aku tahu Arsenino yang kupunya super setia." Ava ulas senyum manisnya. Tatapan Ava lekat di Arsen. Lelaki itu tampak salah tingkah. Dulu pasti Ava tidak menyadarinya, tetapi ternyata begitu kentara saat ini. Dulu mungkin Ava akan mengira Arsen gelisah karena merasa tersanjung dipercayai sebegitunya, alih-alih salah tingkah sebab hampir ketahuan bobroknya. "Kalau soal desain atau kerjaan, biasanya kamu ngeluh terkait itu. Oh, ya, gimana dengan rencana pameran elite globalnya? Jadi mau bawa Aurora Diamond?" Ava mengerjap. "Eh, aku udah cerita soal itukah?" Pameran elite global. Aurora Diamond. Seingatnya, Ava cerita nanti di saat dia mengeluh ini. Soal ide desain yang dicuri Gita. Namun, lelaki itu sudah menyebut merek konsep di detik Ava bahkan masih bungkam. *** Ruang rapat Diamond Dreams siang itu terasa mencekam. Semua karyawan duduk tegang, menunduk, tidak ada yang berani berbisik. Di ujung meja panjang dari marmer putih, Elang duduk dengan tatapan dingin. Di tempatnya, Gita duduk gelisah. Wajahnya pucat, tangannya bergetar menggenggam map desain 'Aurora Diamond' yang dia bawa untuk presentasi. Itu adalah nama desain yang sudah di-acc oleh para elite global di pameran nanti. Elang membuka map hitam di tangannya. Dia mengeluarkan sketsa cincin lingkaran tak sempurna—desain yang sudah disetor pada pendaftaran mewakili Diamond Dreams di pameran kelak. Elang letakkan perlahan di meja, lalu mendorongnya ke arah semua orang. “Ini,” katanya datar, “adalah karya yang kemarin kamu klaim sebagai milikmu, Gita.” Ruang rapat makin sunyi. Beberapa karyawan saling pandang, tetapi tak seorang pun berani bicara. Oh, akhirnya tiba juga masa rapat itu. Pengeksekusian Gita. Ava tidak menyangka akan datang momen ini lebih cepat dari yang dirinya rencanakan. Well, untung Ava tidak terlambat masuk kantor selepas makan siang bersama Arsen. Ava malah belum makan apa-apa sekarang. Ava rasa, selain mau menggali info darinya, Arsen juga sengaja mau membuat Ava terlambat masuk rapat. Pasti atas suruhan Gita. Kini ... Elang menatap Gita lekat-lekat. Suaranya tenang, tetapi tajam seperti pisau. “Di perusahaan ini, dalam kungkungan kepemimpinan saya, selain kedisiplinan ada satu hal yang tidak bisa ditawar: Integritas." Uh, makin mencekam. Atmosfer kian membekukan. Ava sendiri tak berani menatap mata Elang jikalau dialah yang jadi tersangka, untungnya itu Gita. Tak jadi tersangkanya saja Ava tidak berani. Yang lain pun sepertinya menunduk. "Kamu mencuri ide juniormu. Kamu mengkhianati tim yang memercayaimu. Dan yang paling parah, kamu bisa-bisa mempermalukan Diamond Dreams dengan kebohongan itu. Ngerti?" tekan Elang, tajam setajam tatapan. Gita tercekat. “Saya … saya hanya—” “Diam.” Elang memotong cepat. Suaranya begitu dingin hingga membuat bulu kuduk berdiri. “Jangan beri alasan. Bukti sudah cukup. CCTV dan saksi. Kamu pikir saya tidak tahu karena masih baru? Setiap detail langkahmu, langkah siapa pun itu terekam, bahkan saat kamu masuk ke ruang CCTV untuk mengakali semua aksimu.” Oh, Gita membeku. Bagaimana bisa .... Gita kian menunduk, suaranya mengecil. “Maafkan saya .…” Ava dan yang lain serasa jadi penonton, tetapi inilah esensinya. "Dengar, kalian semua." Ah, tidak. Rupanya Ava dan yang lain pun di-notice. "Saya peringati terkait hal ini, pencurian ide atau mencuri jenis apa pun itu fatal," papar Elang. "Dengar?" "Dengar, Pak." Disahuti demikian hampir oleh semua orang, kecuali Gita yang tampaknya menciut. Elang lantas menghela napas panjang, dia lalu berdiri. Tubuhnya menjulang, auranya begitu mendominasi ruangan. Katanya, “Maaf tidak bisa mengembalikan kepercayaan. Maaf tidak bisa menghapus noda yang sudah kamu buat, Gita.” Kembali Elang menatap seluruh karyawan. “Sekali lagi, dengar baik-baik. Diamond Dreams di tangan saya akan berdiri tegak dari kejujuran dan kerja keras, bukan dari pencurian dan tipu daya. Jika ada yang masih berpikir bisa naik level dengan cara kotor, lihatlah apa yang terjadi hari ini.” Semua karyawan menegakkan punggung, merasakan getaran wibawa dalam setiap kata Elang. Akhirnya, Elang kembali menatap Gita. “Mulai hari ini, kamu tidak lagi bagian dari Diamond Dreams. Berkemaslah, dan keluar dengan kepala tertunduk. Itu satu-satunya cara tersisa untukmu menjaga sedikit harga diri.” Oh, God! Ava sendiri terkejut mendengarnya. Sementara ... Gita terisak, tetapi tak mampu membantah. Dia tahu, kariernya hancur di tempat itu juga. Elang menutup map, lalu menoleh pada Ava yang duduk di sisi meja, masih terkejut dengan keberanian pamannya membela kebenaran. Di mana kebenaran itu tentang dirinya. Sepersekian detik tatapan mereka lalu bertemu—sebuah janji tanpa kata, bahwa Elang akan selalu melindungi Ava, bahkan di hadapan semua orang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD