Liam melemparkan tubuh Nadine ke atas ranjang dengan gerakan kasar. Nadine segera beringsut mundur, meraih bantal untuk dijadikan perisai antara dirinya dan Liam, tubuhnya menggigil, ketakutan.
“Lihat,” desis Liam, suaranya rendah dan berbahaya sambil melepas kancing kemejanya dengan lambat. “Jika kau sangat takut, kenapa kau berbuat nekat tadi?”
“Apa yang kau inginkan?” tanya Nadine, suaranya bergetar, lengannya erat memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba menjadi lebih kecil.
“Mengajari pelajaran yang akhirnya kau pahami,” jawab Liam, melepas kemejanya. Bayangan tubuhnya yang tegap dan penuh bekas luka tampak di bawah lampu, sebuah visual yang dirancang untuk menakut-nakuti. “Kau pikir kekerasan adalah bahasa yang kau kuasai? Kau salah.”
Nadine menggeleng cepat, air mata mulai mengalir di pipinya. “Maafkan aku ... Aku tidak akan melakukannya lagi,” ucapnya lirih, suaranya terdengar penuh penyesalan dan ketakutan murni.
Liam menghentikan gerakannya, celananya masih terpasang. Dia mendekati ranjang, menatap Nadine yang sedang terpuruk.
“Maaf?” ulangnya, dengan suara dingin. “Maaf tidak akan mengembalikan nyawa yang hampir kau ambil. Maaf tidak menghapus rasa sakit putriku.”
Dia membalikkan badan, mengambil kemejanya lagi. “Tapi malam ini, kau akhirnya mengerti rasa takut yang sebenarnya. Itu sudah cukup untuk hari ini.”
Dia meninggalkan kamar, mengunci pintu dari luar, meninggalkan Nadine yang tersedu-sedu dalam pelukan rasa takut dan kebingungan yang bertanya-tanya—mengapa dia berhenti?
Pintu terkunci. Nadine terduduk di atas ranjang, diliputi oleh badai emosi yang bertolak belakang. Rasanya seperti baru saja diselamatkan dari tepi jurang, tapi justru merasa lebih terperangkap. Mengapa dia pergi? Apa yang diinginkannya?
Keesokan paginya, suasana berubah.
Seorang pelayan baru—wanita paruh baya dengan wajah kaku dan bibir yang tak pernah tersenyum—mengantarkan sarapannya. “Nona,” sapanya dengan hampa, menaruh nampan di atas meja.
“Di mana Mary?” tanya Nadine, suaranya masih serak.
“Saya penggantinya. Nona bisa memanggil saya Bu Siska.” Jawabannya singkat, tanpa ekspresi. “Semua kebutuhan Nona akan saya urus. Dan saya diinstruksikan untuk tidak berbicara hal yang tidak perlu pada anda.”
Nadine memahami. Ini adalah bentuk hukuman baru. Liam tidak hanya mengisolasi fisiknya, tapi juga memotong segala bentuk interaksi manusiawi yang mungkin memberinya kenyamanan atau informasi.
Sepanjang hari, setiap pintu yang dia coba buka terkunci. Jendela-jendela tidak dapat dibuka. Bahkan jam dinding telah dilepas, membuatnya kehilangan sense of time.
Malamnya, cahaya lampu di langit-langit tiba-tiba padam, meninggalkannya dalam kegelapan total selama beberapa jam sebelum akhirnya menyala kembali. Ini adalah permainan psikologisnya Liam. Mengacaukan persepsinya, membuatnya semakin bergantung dan tidak stabil.
Nadine terduduk di lantai, memeluk lututnya. Perlawanan fisiknya telah pupus. Sekarang, yang tersisa adalah pertarungan untuk menjaga kewarasannya sendiri.
Dia menatap lensa CCTV di sudut langit-langit, dan untuk pertama kalinya, dia tersenyum getir.
“Apa lagi yang akan kau lakukan, Liam?” pikirnya. “Kau telah mengambil segalanya. Kini yang tersisa hanyalah diriku yang sudah tidak lagi takut kehilangan.”
Sebuah ketenangan yang berbahaya mulai menyelimutinya. Bukan karena pasrah, tapi karena dia telah mencapai titik nadir—dan satu-satunya jalan adalah naik, atau hancur.
Namun, lagi-lagi nyalinya menciut, karena dia sama sekali tidak memiliki akses apapun ke dunia luar. Dia sudah tidak memiliki apa-apa. Dunia hanya tahu dirinya menghilang tanpa jejak, tanpa saksi, dan tanpa permintaan tebusan. Nadine sama sekali tidak tahu berapa lama Liam menjadikan dirinya sebagai tawanan.
***
Setelah satu Minggu lebih menjalani perawatan intensif dan memastikan jika dirinya sudah baik-baik saja, Arabella kembali berkuliah. Dia tahu jika gadis si penganiaya-nya telah menghilang dan tidak ada yang mengetahui keberadaannya.
Karenina mengantar Arabella ke kampusnya di hari pertama masuk. Mereka sudah berada di depan gerbang kampus dan Arabella masih bertahan di kursinya.
“Apa kau masih khawatir?”
“Tidak. Hanya saja, teman-temannya pasti akan menanyaiku tentang hilangnya gadis itu dan menuduh aku atau papa terlibat.”
“Hey, Sayang.” Karenina menggerakkan tubuhnya menjadi menghadap pada sang anak. “Itu tidak akan terjadi. Bahkan berita itu sudah tersebar, tuduhan ayah gadis itu yang sama sekali tidak terbukti jika papa terlibat atas hilangnya gadis itu. Ini hanya kriminal lain dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Percayalah mereka tidak akan menuduh kau semudah itu. Kau adalah korban di sini, dan hilangnya gadis itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu.”
Arabella yang sejak tadi menunduk sembari memainkan tali ranselnya menatap sang ibu dan tersenyum tipis. Namun tetap saja ucapan sang ibu tidak begitu mempengaruhi kekhawatirannya.
“Pergilah, semua akan baik-baik saja. Jika kau merasa terganggu dengan mereka, kau bisa hubungi mama, maka mama akan segera datang.”
Gadis itu mengangguk, lalu mengecup pipi ibunya dan segera keluar dari mobil.
“Dah, Mama.”
Arabella melangkah masuk ke gerbang kampus, disambut oleh beberapa temannya. Dari dalam mobil, Karenina mengamati dengan cemas sebelum akhirnya menghubungi Liam.
“Aku baru saja mengantar Bella ke kampus,” lapor Karenina, suaranya datar.
“Bagus. Dia perlu kembali ke rutinitasnya,” sahut Liam singkat.
“Tapi dia khawatir. Teman-temannya mulai bertanya-tanya ... menuduhnya terlibat dalam hilangnya Nadine.”
“Sudah jelas aku tidak terlibat. Pengadilan pun membebaskanku. Bella tidak perlu takut pada gosip anak-anak itu,” jawab Liam, nada suaranya mulai meninggi.
“Aku sudah bilang itu padanya. Tapi ... aku masih tidak yakin, Liam.”
Liam mendecak kesal. “Kau masih meragukanku, Nina? Setelah semua bukti yang jelas?”
“Hanya kau yang mampu melakukan hal seperti ini, Liam. Kau dan jaringan 'kotor'-mu.”
“Hati-hati dengan ucapanmu, Nina. Itu bisa dianggap fitnah.” Suara Liam mendadak rendah dan berbahaya. “Bicaralah berdasarkan fakta, bukan prasangka.”
Karenina terkekeh sinis. “Kau mengancamku sekarang? Kita bercerai karena aku tahu sampai sejauh mana kau bisa melakukan sesuatu untuk hal yang kau anggap 'benar'. Dan ini ... sangat sesuai dengan caramu.”
“Apa kita harus berdebat tentang ini lagi?” tanya Liam, suaranya mulai kehilangan kesabaran.
“Tidak. Aku tidak punya waktu untuk debat tanpa ujung denganmu, Liam.”
Klik. Karenina memutuskan panggilan.
Liam meletakkan ponselnya, senyum tipis yang dingin mengembang di bibirnya. Percakapan itu tidak mengganggunya; justru mengonfirmasi bahwa mantan istrinya masih takut padanya—dan itu memberinya kepuasan.
Siska melewatinya dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Nadine.
“Tunggu!”
Langkah Siska terhenti dan memutar tubuhnya menghadap pada sang majikan.
“Ya, Tuan.”
Liam berdiri dari duduknya dan melangkah mendekat pada pelayan barunya yang akan mengurus Nadine.
“Jangan ada pisau dan garpu,” ujarnya melirik pada nampan yang berisi menu sarapan untuk Nadine
“Baik, Tuan. Akan saya singkirkan dua benda itu.”
Wanita paruh baya itu segera melanjutkan langkahnya menuju kamar Nadine. Liam hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri sampai sosoknya menghilang di tikungan lorong.
Siska membuka pintu kamar dan langsung dihadapkan dengan suasana kamar yang temaram. Nadine tampak terduduk di atas ranjang tanpa melakukan apapun.
Siska meletakkan nampan di meja kecil, lalu menutup pintu kamar. Setelah itu dia melangkah ke arah jendela, berniat untuk membuka gorden kamar agar cahaya masuk ke dalam ruangan.
“Jangan lakukan itu!” teriak Nadine yang membuat Siska menghentikan tangannya yang hendak menarik gorden.
Wanita itu menoleh ke arah Nadine di atas ranjang. “Kenapa?”
“Aku tidak suka terlalu terang, mataku akan sakit.”
“Kau bukan vampir, Nona.”
Dengan gerakan cepat Siska menyibak lebar gordennya sehingga cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamar dan menjadikan ruangan yang semula temaram menjadi terang benderang.
Nadine menelungkup di atas bantal, dia terlalu silau dengan cahaya yang berlebihan, efek berhari-hari berada dalam gelap.
Siska memperhatikan Nadine yang masih menelungkup di atas ranjang. Dia tidak peduli dengan perintah gadis itu karena yang harus didengar adalah ucapan tuannya.
“Makan sarapan anda, Nona. Saya akan kembali dua puluh menit lagi untuk mengambil wadah kotornya.”
Siska berjalan ke arah pintu dan keluar dari kamar.
Nadine masih belum bergerak dari posisi menelungkupnya. Dia bisa merasakan hangat cahaya matahari yang menyapa kulitnya, tapi bagi matanya itu sangat mengerikan. Dia harus perlahan terbiasa lagi dengan cahaya.
Nadine perlahan meluncur turun dari ranjang, matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Dia menarik gorden, membiarkan ruangan kembali diselimuti remang-remang yang nyaman baginya.
Dia memilih untuk duduk di lantai, menyandarkan punggungnya pada dinding dingin di bawah jendela. Dari sana, dia memandang keluar. Pemandangan yang terbentang hanyalah lautan gedung-gedung pencakar langit dan jalan raya yang seperti aliran sungai beton. Mobil-mobil terlihat seperti mainan yang bergerak lambat, dan orang-orang sama sekali tidak terlihat.
Dunia di balik kaca itu terasa sunyi dan jauh. Sebuah ironi yang pahit. Dahulu, kehidupan di ketinggian seperti ini adalah simbol status yang membanggakan. Sekarang, ia merasa seperti burung dalam sangkar emas yang melihat dunia berputar tanpa bisa menyentuhnya.
Kenangan akan kehidupan lamanya berkelebat: pesta yang meriah, tertawa dengan teman-teman, kebebasan yang dia anggap remeh. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang sangat jauh.
Hidupnya sekarang benar-benar terisolasi. Terkunci dalam kemewahan yang menjadi penjaranya sendiri. Air mata tidak lagi mengalir, yang ada hanya kehampaan yang dalam dan sebuah pencerahan yang getir: kebahagiaan sejati bukanlah tentang kemewahan, tetapi tentang kebebasan.
Dia menarik napas dalam, merasa sangat kesepian di tengah kota yang ramai ini. Entah sampai kapan dia akan berada di posisi seperti ini. Kapan Liam akan membebaskan dirinya?
Nadine bertekad untuk berbicara pada Liam. Dia akan mengaku bersalah, meski sebelumnya pun dia sudah mengakui kesalahannya tapi tetap saja pria itu tidak peduli. Malamnya saat Siska mengantar makan malam, dia bertanya perihal tuan majikannya.
“Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini, apakah dia ada di penthause? Atau, pulang ke rumah utama?” tanya Nadine pada wanita minim ekspresi itu.
“Tuan Liam ada di kantornya.”
“Jadi dia belum kembali ke sini.”
“Ya.” Siska hendak pergi meninggalkannya, tapi Nadine menahan tangannya. “Apa lagi?” tanyanya dengan sorot mata tajam.
“Beri tahu dia, aku ingin bicara,” katanya seraya melepaskan tangannya dari lengan Siska.
“Ya, saya akan beri tahu begitu beliau kembali.”
Siska segera melangkah keluar dari kamar Nadine.
Nadine tertidur lelap setelah menunggu lama, kelelahan akhirnya mengalahkan keinginannya untuk tetap waspada. Liam pulang lewat tengah malam, dan Siska segera melaporkan bahwa Nadine ingin bertemu dengannya.
Setelah mandi, Liam mendatangi kamar Nadine. Ruangan temaram, hanya diterangi cahaya kota yang menyelinap dari balik gorden yang terbuka. Nadine terbaring tidur, akhirnya mengenakan gaun tidur yang lebih pantas dan tertutup, seolah upaya kecilnya untuk berdamai dengan situasi.
Liam berdiri di dekat ranjang, memperhatikan Nadine yang tertidur dengan tenang. Untuk sesaat, wajahnya yang tanpa beban itu mengingatkannya pada Arabella, dan sebuah bayangan penyesalan yang samar menyelinap di hatinya. Dia memutuskan untuk tidak membangunkannya.
Saat hendak pergi, gerakan Nadine dalam tidur tidak sengaja membuat gaun tidurnya tersingkap, memperlihatkan pahanya. Liam langsung memalingkan wajah, rahangnya mengeras.
“Dia bahkan melakukannya dalam tidur,” gumamnya dalam hati, suara penuh frustrasi pada dirinya sendiri. Dia menarik selimut dan menutupi tubuh Nadine dengan gerakan kasar yang hampir tidak sabar.
“Tidur yang nyenyak, Little Bird,” bisiknya dengan nada sinis, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia masih memegang kendali. “Besok, kau akan menghadapiku dengan mata yang jernih dan penuh ketakutan lagi.”
Dia meninggalkan kamar, mengunci pintu dengan keras, seolah ingin mengusir setiap pikiran liar yang mencoba memasuki benaknya.