Nadine mengangkat kepala, matanya menatap tajam ke arah pintu. Suara itu jelas—sebuah hentakan keras yang tertutup deru hujan. Jantungnya berdebar kencang. Apakah Liam kembali? Atau seseorang yang lain? Dia menunggu, napasnya tertahan, mendengarkan setiap suara yang mungkin. Tapi yang ada hanya rintikan hujan yang tak henti-hentinya menghantam kaca jendela. Rasa sepi yang tiba-tiba terasa lebih menusuk daripada sebelumnya. Malam semakin larut, tapi kelelahan tak kunjung datang. Pikirannya terjaga, dipenuhi oleh bayangan Liam dan ketidakpastian nasibnya. Akhirnya, dia memberanikan diri turun dari ranjang. Telapak kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin, namun rasa dingin itu sama sekali tak berarti baginya setelah merasakan dingin yang membekukan tulang di ruang isolasi. Dia berjal

