6. Permainan Selanjutnya

1354 Words
Liam mengunjungi penthause-nya malam itu. Dia membuka pintu kamar dengan kunci khusus. Matanya langsung tertuju pada Nadine yang terlihat kotor dan berantakan. duduk bersandar di sudut sofa dengan baju yang masih mengenakan pakaian yang sedari kemarin. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan ada jejak air mata kering di pipinya. “Kamu menolak untuk dimandikan?” Suara Liam datar, tapi nadanya seperti pisau yang diasah perlahan. Nadine menatapnya dengan pandangan membara, tapi tubuhnya gemetar. “Aku tidak butuh bantuan pelayanmu!” Meski dalam keadaan terancam pun Nadine masih memiliki keberanian untuk membalas ucapan Liam dengan nada sombong. Sudah satu hari lebih dia berada di tempat asing ini, dan berharap jika ayahnya atau Arga menemukan dirinya. Liam menghela napas pendek, lalu mendekatinya dengan langkah pasti. Tanpa kata-kata, dia menggenggam lengan Nadine dan menariknya berdiri. “Kalau begitu, aku yang akan membersihkanmu.” Nadine mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Liam terlalu kuat. “Lepaskan! Aku bisa mandi sendiri—” “Tidak,” potong Liam. “Kamu sudah membuktikan bahwa kamu tidak bisa.” Dia menarik Nadine ke kamar mandi, suara langkah mereka bergema di lantai marmer disertai dengan suara teriakan Nadine. Liam berhasil menyeret Nadine ke bawah pancuran air dingin. Tanpa ampun, dia menyalakan shower, air deras menghujam tubuh Nadine yang masih mengenakan gaun pesta yang kini kotor dan lepek. “Kau pikir ini permintaan maaf?” Nadine menggigil, tapi matanya masih membara. “Atau hanya alasan untuk mempermalukanku?” Liam tidak menjawab. Tangannya mencengkeram kerah gaunnya, merobeknya sedikit untuk memastikan air membersihkan setiap inci kotoran di tubuhnya. Tiba-tiba, Nadine menghentikan perlawanannya. Dengan gerakan menantang, dia melepas sisa gaun yang basah dari tubuhnya, kini dia telanjang sepenuhnya di hadapan Liam. Tanpa ada rasa malu sedikit pun. “Ini yang kamu mau, kan?” Nadine mendesah dengan suaranya yang getir. Liam tidak bereaksi. Nadine menatap Liam masih dengan sorot tajamnya. “Jawab aku b******n!” Liam tersenyum miris. “Mandikan dirimu sendiri!” Nadine masih memandang Liam dengan penuh keberaniannya. Bahkan tidak peduli jika saat itu dia tidak mengenakan apapun lagi di tubuhnya di hadapan pria mengerikan itu. Liam mematikan shower, melemparkan handuk ke wajah Nadine. “Kamu terlihat sangat menyedihkan,” ujarnya, suaranya terdengar hampa. “Bahkan untuk jadi godaan, kamu sama sekali tidak berarti.” Kemudian dia berbalik pergi. Nadine menjambak rambutnya sendiri dan bergerak hendak menyusul Liam. “Aku tahu kau sebenarnya—” Pintu kamar mandi terkunci tepat di depan hidungnya. Di balik pintu, Nadine mendengar suara Liam yang sepertinya sedang berbicara melalui panggilan telepon: “Siapkan kamar kedap suara. Ya, segera.” Mulut Nadine menganga mendengar ucapan Liam. Dia bahkan tidak tahu siapa pria yang sedang dihadapinya. Dia tidak begitu mengenalnya. Apalagi rencana-rencana gilanya untuk menghukumnya. Pria itu benar-benar sangat sadis. Psikopat lebih tepatnya. Nadine kembali ingat dengan percakapan dirinya bersama dengan teman-temannya saat di kantin kampus dua hari sebelum pesta. “Dari yang gue dengar .... ayahnya si Arabella ini punya pengaruh kuat di kampus kita, lho.” “Terus kenapa? Bokap gue juga punya pengaruh kuat di kota ini.” “Ya udah, Nad, asal inget aja, setiap orang punya titik balik. Dan lo gak akan tau kapan giliran lo.” Nadine kembali mencengkeram kuat rambutnya. Apa yang terjadi pada dirinya persis yang diucapkan oleh Freya. Kini dia berada di titik itu, titik palimg rendah dalam hidupnya. Nadine menangis dan meraung, menyesali perbuatannya. Andai saja dia mendengar nasihat Gita yang saat itu melarangnya mengganggu Arabella, mungkin dia tidak akan berada di sini menjadi tahanan pria psikopat yang menginginkan dia mati perlahan. Di tengah keputusasaan dan penyesalannya terdengar suara kunci diputar, buru-buru Nadine menyambar handuk yang dilemparkan oleh Liam ke arahnya segera melilitkan handuk tersebut menutupi tubuhnya. “Nona sudah selesai?” Nadine sedikit lega karena yang muncul adalah pelayan wanita yang siang tadi mengantar makanan untuknya, tapi tak lepas mendapat hardikan tajam darinya juga. Kepala Nadine mengangguk cepat. “Ayo, keluar dan berpakaian.” Pelayan itu memegangi tangan Nadine dan menuntunnya ke kamar. Nadine menurut saja, mengikuti langkah kaki si pelayan itu. Tatapan matanya tertuju pada gaun berwarna putih di atas ranjang. Pelayan itu memberikan dress putih dengan motif bunga-bunga yang juga berwarna putih. “Dipakai, ya.” Lagi-lagi Nadine menurut tanpa membantah. Setelah berpakaian, Nadine berniat untuk bertanya pada si pelayan itu. “Siapa pria itu?” tanyanya dengan suara pelan. Mary, Si pelayan, memasang ekspresi kebingungan melihat Nadine. “Jadi nona sama sekali tidak mengenalnya?” Nadine menggelengkan kepalanya. “Tidak sama sekali. Aku hanya mengetahui putrinya saja ....” Suara Nadine bergetar saat mengatakan itu. “Tuan Liam Abraham.” “Liam. Abraham.” Nadine kembali mengucapkan nama itu. “Menurut saya, Tuan Liam sangat kejam. Saya merasa sangat heran mengapa nona menjadi tawanan Tuan Liam ...?” Nadine menatap Mary dengan ekspresi wajahnya yang ketakutan. ‘Apakah aku harus mengakui kesalahan pada si pelayan ini?’ batinnya bertanya. “Dia ada menyebut perihal kamar kedap suara,” ucap Nadine terbata. “Apa Tuan ingin menempatkan Nona di ruang lain?” “Mungkin.” Suaranya terdengar pasrah. *** Freya memilin ujung bajunya, matanya tak lepas dari Gita. “Masih belum ada kabar dari Nadine?” Gita menghela napas, menggeleng pelan. “Kemarin Arga dan Om David mendatangi rumah Arabella. Mereka bertemu langsung dengan Liam Abraham.” Sara menyeringai, “Dan? Pasti pria itu pura-pura tidak tahu!” Gita mengangguk. “Liam bersikeras enggak tahu apa-apa. Alibinya kuat, dia sedang di rumah sakit menemani Arabella yang masih dalam perawatan dokter.” Freya mengerutkan kening. “Mereka enggak memeriksa rumahnya?” Gita tertawa getir. “Apa lo kira mereka berani? Arga bilang, Liam Abraham punya aura yang bikin orang berpikir dua kali untuk macam-macam. Lagi pula ....” Suaranya mengecil, “tanpa bukti, itu sama saja bunuh diri.” “Soal Bella yang dianiaya Nadine? Apa itu bukan alasan pria itu melakukan balas dendam pada Nadine dengan menculiknya?” Freya kembali bertanya. Gita mengangguk paham dengan yang dimaksud oleh Freya. “Arga pikir begitu, pun dengan Om David, mereka pikir apa yang terjadi pada Bella ada hubungannya dengan hilangnya Nadine. Tapi, enggak ada bukti atau jejak Nadine di sana. Pria itu—Liam—mengaku enggak tau apa-apa soal Nadine. Bahkan dia berniat untuk melaporkan kasus anaknya ke polisi, tapi Nadine keburu hilang.” Sara mengepalkan tangan. “Jadi kita hanya bisa menunggu?” Freya menatap tajam pada kedua sahabatnya. “Atau ... mungkin Nadine sedang mendapat hukuman yang layak.” “Om David sudah melaporkan hilangnya Nadine ke pihak berwajib. Kita berdoa saja, semoga Nadine segera ditemukan dan tidak kurang satu apapun.” Ucapan Gita diaminkan oleh Sara dan Freya. Namun tetap saja dalam pikiran mereka masing-masing mulai mengkhawatirkan Nadine yang sudah dua hari ini menghilang tanpa jejak. *** Nadine terduduk di lantai bawah ranjang, matanya menyapu setiap sudut kamar mewah yang menjadi penjaranya. Tidak ada benda tajam, tidak ada kaca, bahkan bingkai foto pun diganti dengan lukisan yang dicetak di kanvas. Liam telah mempersiapkan semuanya—bahkan kekosongan ini adalah bagian dari hukumannya. Pintu tiba-tiba terbuka. Liam masuk dengan langkah mantap, diiringi oleh dua pengawal bertubuh besar. Bayangan mereka memanjang di dinding, seperti monster yang siap menyergap. “Waktunya untuk permainan baru,” ujar Liam, suaranya dingin seperti pisau bedah. “Bawa dia.” Nadine merangkak mundur, tapi pengawal sudah mencengkeram lengannya. Cengkeraman itu meninggalkan bekas merah di kulitnya. “Apa yang kau inginkan dariku?!” teriaknya, suara pecah oleh ketakutan. Liam tidak menjawab. Hanya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk membawanya pergi. Mereka melewati koridor panjang, lantai marmer yang dingin membuat kaki telanjang Nadine gemetar. Hingga akhirnya, Liam berhenti di depan pintu baja antipeluru—persis seperti pintu brankas. Nadine melihat tombol biometrik di sampingnya, dan lambang "W" yang terpampang di atas pintu. Wine cellar. “Tidak—!” Nadine memberontak, kuku-kukunya mencakar lengan pengawal. “Aku mohon, jangan masukkan aku ke sana! Aku akan—” Pintu terbuka. Angin dingin berbau anggur basi dan logam menyergapnya. Liam akhirnya menatapnya—tanpa ampun, tanpa kemenangan, hanya keputusan. “Kau akan belajar, Nadine. Belajar menjadi seorang yang tidak berdaya, seperti orang-orang yang kau aniaya dulu.” Pengawal melemparkannya ke dalam. Tubuh Nadine membentur lantai yang dingin. Pintu terkunci.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD