5. Pria Manipulatif

1632 Words
“Bagaimana mungkin kamu kehilangan Nadine, Arga? Apa yang kamu lakukan, hah?!” Suara David Alexander menggelegar, wajahnya merah padam saat menerima kabar hilangnya putri semata wayangnya di tengah pesta. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Suasana di kediaman Alexander tegang bagai kawat berduri. David, yang dibangunkan paksa oleh asistennya, nyaris tak percaya dengan kabar itu. Fransisca, yang sedang berada di rumah sakit, langsung bergegas pulang begitu mendengar kabar tersebut. Wajahnya pucat, tangan gemetar menggenggam telepon. Arga telah menjelaskan kronologi kejadian, tapi David tetap menyalahkannya. “Kamu tidak becus menjaga putriku!” “Haruskah kita lapor polisi?” Fransisca akhirnya berbicara setelah lama terdiam, pikirannya berputar mencari solusi. “Belum dua puluh empat jam, pihak berwajib tidak akan bertindak,” sergah David, tangannya mengepal dan memukul meja. Emosinya sudah meledak-ledak. “Mereka pasti mau menolong. Kau kan pejabat terpenting di kota ini,” Fransisca bersikeras, suaranya bergetar. David terdiam, rahangnya mengeras bak baja. Matanya yang sesaat lalu membara, kini menatap Arga yang masih menunduk lesu. “Bagaimana dengan teman-temannya?” suaranya parau, berusaha menahan gejolak amarah. “Mereka semua baik-baik saja, Pak. Hanya Nadine yang ....” Arga menghela napas, “Kami bahkan tidak menyadari kepergiannya sampai pesta usai.” Fransisca mengeratkan jemarinya. Karakter Nadine ... Pikirannya melesat pada kenakalan putrinya yang kerap dia abaikan. “Apa ada masalah terjadi sebelum ini, Arga?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh desakan. Arga mengangkat pandangannya, ada kegelisahan di sana, seolah dia terjepit antara kesetiaan dan kebenaran. Fransisca segera menangkap sinyal itu. “Katakan saja, Arga. Kami perlu tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Nadine?” bujuknya, meletakkan tangan di bahu Arga dan mengusap lembut. David yang sejak tadi diam, kini mengalihkan tatapan tajamnya pada Arga. “Ada sesuatu yang kamu sembunyikan? Sesuatu yang berhubungan dengan kejadian ini?” Ruangan mendadak terasa sempit. Arga menyadari jika ayah dan ibu Nadine adalah orang yang berpendidikan pastinya menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan kehilangan Nadine yang tiba-tiba. Kinar yang sejak tadi hanya berdiri di sudut ruangan sembari meremas tangannya, tampak sangat bersedih mengetahui kabar anak asuhnya yang menghilang. Dan, kini putranya yang harus bertanggungjawab atas kejadian itu. Sesuatu yang sangat ditakutkannya. Arga melirik ke arah sang ibu, yang kemudian mendapat anggukan kepala dari Kinar, memberi kode untuk menceritakan yang sebenarnya terjadi. “Tiga hari sebelumnya, Nadine sempat terlibat masalah dengan seorang gadis. Arabella namanya,” ucapnya pelan tapi cukup terdengar jelas. “Arabella ...? Siapa dia?” tanya Fransisca sembari tangannya meremas ujung kursi. “Dia adik tingkat di kampus Nadine. Nadine dan teman-temannya—tidak, hanya Nadine dan satu sahabatnya ... mereka—” Napas Arga tercekat, “Mereka menyiksanya.” David Alexander tiba-tiba berdiri, wajahnya berubah pucat mendengar penuturan Arga. Nadine-nya menyiksa seorang gadis? “Menyiksa? Apa maksudmu?!” David bertanya dengan suara keras. Ada kemarahan di wajahnya yang berubah memerah penuh emosi. “Mereka mengurungnya di toilet, menyiram air dingin, tanpa ampun dan membuat Arabella pingsan. Ada saksi mata yang melihat itu.” “Tuhan ... Nadine melakukan itu?!” Fransisca tak percaya, hampir saja dia tersedak dengan ludahnya sendiri. David menghantam meja dengan tinjunya. Gelas di atasnya berguncang, bahkan isinya tumpah ruah ke atas meja. “Kau bilang ada saksi mata? Siapa?” Arga tampak gugup. “Beredar percakapan di grup kampusnya. Saya sedang mencari tau, Pak.” Fransisca memegang kepala, seperti mencerna kenyataan mengerikan tentang putrinya. Putri yang dia pikir baik-baik saja selama mereka memenuhinya dengan materi, ternyata .... “Apa itu sebabnya dia hilang? Ini pasti balas dendam. Benar kan?” tanyanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan. “Arabella.” David mengulang nama itu. “Arabella Jane Abraham.” Arga melengkapi nama aslinya. David langsung mengambil ponsel. “Cari tahu siapa keluarga Arabella. Sekarang!” titahnya pada asistennya yang berdiri di pintu. Sang asisten segera mengeluarkan ponselnya dan mencari nama yang disebutkan oleh Arga tadi. Dalam sekali ketikan di pencarian, nama itu muncul dan sedikit membuatnya gugup. “Pak ... Arabella adalah putri Liam Abraham.” Mendengar itu, semua tampak terdiam. David perlahan menatap Fransisca, wajahnya mencerminkan horor yang sama. Jelas mereka tidak asing dengan nama itu, namun tetap saja mereka butuh penjelasan lebih. “Liam Abraham ... Konglomerat sekaligus tangan kanan Gurbernur?” tanyanya dengan suara menggelegar. “Betul, Pak. Liam Abraham adalah pengusaha pemilik perusahaan keamanan terbesar di negara ini. Beliau keturunan Jerman-Indonesia dan sudah lama menetap di sini sebagai warga negara, jaringan bisnisnya benar-benar global. Koneksinya ... sangat luas dan berpengaruh. Beliau bukan orang sembarangan, Pak.” Roman, asistennya menjelaskan secara rinci informasi yang dia dapatkan mengenai orang yang kemungkinan ada hubungannya dengan hilangnya putri sang bos. “Sial!” David kembali menggebrak meja sehingga gelas-gelas di atas meja berguncang dan jatuh ke lantai dengan suara yang nyaring di tengah kesunyian pagi dini hari. “Bagaimana ini bisa terjadi? Nadine dan ... gadis itu, anak dari Tuan Abraham.” Suara Fransisca tampak tercekat. “Besok pagi kita harus menemuinya. Arga kamu harus ikut saya!” titahnya pada pemuda yang sebelumnya sangat dia percayai untuk menjadi pengawal putrinya. *** Liam berdiri di ambang pintu, matanya tak lepas dari Karenina yang sedang menyuapi Bella makan siang. Dibandingkan tiga hari lalu, ketika putrinya hanya murung dan terus menangis—kondisi Bella hari ini sudah sedikit membaik. Meski begitu, setiap kali bercerita tentang kejadian di toilet kampus, suaranya masih terputus oleh isakan. “Aku benci dia, Mama. Aku nggak mau ketemu dia lagi ....” Bella menggenggam serbet, air matanya menetes membasahi pipinya yang halus. “Bilang Papa, keluarin dia dari kampus, please ....” Karenina menoleh ke arah Liam yang masih bersandar di pintu. Dari sorot mata mantan suaminya itu, dia tahu, setiap kata, setiap tangisan Bella, terdengar jelas olehnya. Dan Liam .... Pria itu hanya diam. Tapi ketegangan di rahangnya bicara lebih keras daripada amarah. Liam menatap Bella sebentar sebelum berbalik. “Aku akan keluar sebentar.” Kalimat pendek itu diucapkan tanpa menunggu respon Karenina. Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan Karenina dengan firasat tidak enak di d**a. Langkahnya bergema di lorong rumah sakit yang steril, cepat, tegas, seperti mesin yang baru dihidupkan. Greg, tangan kanannya, nyaris harus berlari kecil untuk menyamai langkah sang bos. “Bos, telepon penting dari rumah.” Greg menyodorkan ponsel, suaranya sengaja direndahkan. Liam menyambar ponsel itu. “Ya?” Suara penjaga rumahnya terdengar was-was melalui receiver: “Tuan, David Alexander dan rombongan sedang menunggu di ruang tamu. Mereka ... terlihat tidak sabar.” Sudut bibir Liam melengkung. Bukan senyum, tapi ekspresi predator yang melihat mangsa masuk perangkap. “Sampaikan aku dalam perjalanan.” Di saat yang bersamaan, tangannya mengunci genggaman pada ponsel dan tersenyum tipis. Greg tak perlu bertanya. Dia sudah mengenal tanda-tanda itu. Greg mengemudi dengan lancar menuju kediaman tuannya. Di kursi belakang, Liam menyelesaikan panggilan telepon dengan suara datar: “Jangan izinkan siapa pun masuk. Kecuali Mary.” “Siap, Bos.” Ponsel dimatikan. Liam menatap jalanan melalui jendela, wajahnya tak berubah meski lalu lintas padat menghambat. Tidak perlu instruksi, Greg sudah membelokkan mobil memasuki gerbang yang terbuka otomatis. Sebuah mobil mewah terparkir di halaman. David Alexander. Liam melangkah ke teras, melewati pelayan yang membungkuk hormat tanpa sepatah kata pun. Di ruang tamu, David Alexander sudah menunggu dengan dua orang pengawalnya dan seorang pemuda lain. Liam tersenyum formal, nada suaranya terukur sempurna, “Pak David. Kehormatan bagi saya.” David berdiri, tangannya terulur untuk berjabat. Liam menerimanya dengan genggaman singkat, cukup sopan, tapi dingin seperti menyentuh logam. “Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya,” ujar David, mencoba membaca ekspresi Liam yang tampak sangat dingin. “Silakan duduk,” balas Liam, gestur tangannya halus namun penuh kendali. David kembali ke sofa, duduk bersebelahan dengan Arga yang tampak sangat kaku. Liam memilih sofa tunggal, posisinya strategis, dia bisa memandang langsung ke David sekaligus mengawasi dua pengawal di belakangnya. Matanya menyapu cepat ke arah mereka, seolah mencatat setiap detail: senjata tersembunyi, postur, bahkan ritme napas. David menghela napas berat sebelum berbicara. “Saya datang untuk meminta maaf ... atas apa yang terjadi pada putri Anda, Arabella.” Liam tetap diam. Hanya jari telunjuknya yang mengetuk armrest sofa, seperti detak jam yang tak sabar. “Saya baru tahu putri saya terlibat dalam ... insiden tidak menyenangkan itu,” lanjut David, suaranya tegang. “Tapi—” “Tapi?” Liam akhirnya bersuara. Nada datar, tapi seakan ada silet di baliknya. David menelan ludah. “Nadine hilang sejak semalam. Apakah Anda tahu sesuatu tentang ini?” Liam mengangkat alis perlahan, wajahnya tetap netral tidak menyiratkan apapun. “Maaf, saya tidak terlibat dalam urusan keluarga Anda. Saya bahkan tidak tahu putri Anda sedang bermasalah.” Dusta itu halus, sempurna. Tapi mata Liam—yang tetap tak berkedip—seperti memancarkan pesan lain: kau tahu persis kenapa dia hilang. David menatap Liam dengan tajam, mencoba mencari celah di balik wajah dingin itu. Tapi yang dia temukan hanyalah dinding es, tidak ada getaran emosi, tidak ada kebocoran informasi. “Saya harap Anda memahami kekhawatiran saya sebagai seorang ayah,” ujar David, suaranya mulai kehilangan kesabaran. Liam tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah mencapai matanya. “Sudah saya katakan, saya tidak tahu apa pun tentang putri Anda. Beberapa hari ini saya sibuk di rumah sakit, karena putri saya masih dalam penanganan dokter.” Tidak ada suara balasan dari David atas ucapan Liam. David akhirnya berdiri, wajahnya berkerut oleh kekecewaan. Dia menyadari satu hal: Liam bukanlah lawan yang bisa dihadapi dengan ancaman atau negosiasi. Pria ini terlalu dingin, terlalu tinggi, seperti ular yang sudah mengincar mangsanya sebelum menyentak. “Baiklah,” David menghela napas, menyerah untuk saat ini. “Jika Anda mendengar sesuatu ....” “Tentu.” Liam mengangguk, tapi nada suaranya seperti menertawakan David dalam diam. Saat pintu tertutup di belakang David dan rombongannya, Liam berbalik ke jendela. Di kejauhan, penthousenya berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit—tempat Nadine saat ini sedang ‘dirawat’ dengan caranya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD