4. Liam dan Permainan Liarnya

1860 Words
Nadine menatap Liam tajam, mencoba menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak takut akan ancaman pria itu. Tapi di dalam hati, dia mulai was-was, napasnya mulai terasa berat. Dia berharap Arga menyadari kehilangannya dan segera mencarinya. Liam berdiri tegak di depannya, kedua tangan di saku celana, tatapannya dingin seperti udara yang membeku. “Kamu berurusan dengan orang yang salah, Nadine Alexandra.” Nadine mengernyit, matanya memancarkan kebingungan. Pria itu bahkan tahu nama panjangnya. Entah siapa pria yang sedang dihadapinya ini. “Anda siapa? Apa salahku?” Liam tidak langsung menjawab. Dia melangkah pelan, suaranya terdengar rendah namun jelas. “Arabella.” Nama itu membuat Nadine terdiam sepersekian detik. Dia tidak akan mungkin melupakan nama itu. Tiba-tiba saja telapak tangannya mulai dingin. Dia bisa menebak jika pria di hadapannya kini adalah ayah si gadis blasteran itu. Liam tersenyum tipis, menyadari jika gadis di depannya mulai ingat dengan nama yang baru saja dia sebutkan. Tidak mungkin tidak, kejadiannya masih sangat baru. Liam yakin gadis itu tidak mengalami hilang ingatan hanya untuk mengingat sebuah nama. Kemudian dia sedikit menunduk, menatap Nadine dari jarak dekat, hingga gadis itu bisa merasakan tekanan dari kehadirannya. “Sudah mengingatnya, Nona?” Nadine mencoba membuka mulut untuk membalas, namun Liam memberi isyarat halus dengan jarinya—dan dua anak buahnya yang menjaga pintu langsung mendekat. Malam itu, kendali sepenuhnya ada di tangan Liam. Tidak ada celah, tidak ada kesempatan. Nadine hanya bisa duduk di kursi itu, menatap pria yang memandangnya seperti seekor burung kecil yang sudah masuk ke dalam sangkar. Liam menatap Nadine lama, seperti menimbang sesuatu di pikirannya. Lalu, dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup dekat untuk membuat Nadine merasa terkurung, tapi tetap tidak menyentuhnya. “Aku akan beri satu kali kesempatan,” ucap Liam, nadanya dingin, terukur. “Satu kali untuk berpikir baik-baik, sebelum kamu membuat langkah yang akan kamu sesali.” Nadine menahan tatapan itu, pura-pura tidak terpengaruh. “Kalau gue nggak mau?” tantangnya dengan berani. Liam mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu dengan santai memutar sebuah video pendek. Nadine menunduk, melihat jelas rekaman dirinya di pesta, berjalan sendirian ke toilet sebelum akhirnya bertemu dengan dua orang bersetelan hitam. Setiap detiknya terekam rapi. Tatapan Liam tajam menusuk. “Kalau aku bisa mendapatkan ini dengan sangat mudah, bayangkan apa saja yang bisa aku dapatkan tentang kamu, orangtuamu, bahkan ketiga sahabatmu.” Nadine merasakan perutnya mengeras. Dia sadar Liam tidak main-main dan pria itu terlihat sangat berbahaya. “Mereka tidak ada hubungannya dengan ini, b******n!” Liam kembali tegak, memberi isyarat pada anak buahnya. “Pastikan dia tidak ke mana-mana malam ini.” “Jangan sakiti teman-temanku!” teriak Nadine ketika Liam hendak pergi. Dua pria itu segera bergeser, menjaga jarak tapi tetap mengunci semua jalan keluar. Liam sendiri berjalan menuju pintu dan mendengar peringatan Nadine yang sama sekali tidak akan dia pedulikan. Kemudian dia berhenti sebentar hanya untuk berkata, “Selamat datang di permainan, Little Bird.” Pintu tertutup. Dan Nadine, untuk pertama kalinya, merasakan dinginnya permainan yang dia belum tahu aturan mainnya. “Sialan!” Nadine mengumpat kasar. *** Sementara itu di Velvet Lounge, suara musik masih menggelegar, lampu strobo menari di antara kerumunan yang memadati lantai dansa. Tapi Arga sudah tidak lagi fokus pada langkah kaku Gita di depannya. Tatapannya terus mencari, menembus kerumunan, berharap menangkap sosok Nadine di antara cahaya yang berkelip-kelip. “Di sini enggak ada.” Beritahu Gita pada Arga yang masih mencari keberadaan Nadine. “Aku akan cari ke toilet.” “Oke, aku akan tanya teman-teman yang lain.” “Ya.” Arga segera berjalan cepat ke arah toilet. Dia berpapasan dengan para wanita berpakaian seksi tapi tidak ada Nadine di antara banyaknya wanita itu. Arga berdiri di luar toilet wanita, matanya menyapu sekeliling. Tidak ada Nadine. Dia menekan nomor ponselnya lagi. Nada sambung. Tidak diangkat. Dicoba lagi. Kali ini mati. Rasa dingin menjalar di punggungnya. Dia segera bergerak ke arah pintu keluar, menanyai pelayan, penjaga pintu, bahkan bartender. Semua menggeleng, seakan Nadine menghilang begitu saja di tengah pesta. “Buka rekaman CCTV parkiran sekarang,” perintahnya pada petugas keamanan klub. Petugas itu tampak kebingungan. “Tuan, semua rekaman malam ini, tiba-tiba kosong. Sistem error sejak satu jam lalu.” Alis Arga berkerut tajam. Error? Di tempat seperti ini? Terlalu kebetulan. Dia mencoba mengakses sendiri lewat laptop kecil yang dibawanya, tapi setiap file yang dia buka hanya menampilkan layar hitam. Tidak ada gambar. Tidak ada waktu. Tidak ada jejak. Arga memaki pelan. Dia tahu ini bukan sekadar kebetulan. Sistem keamanan klub malam ini jelas sudah diambil alih seseorang. Matanya berkeliling lagi, mencari tanda-tanda. Tidak ada. Seolah Nadine tidak pernah menginjakkan kaki di tempat itu malam ini. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena kehilangan Nadine, tapi karena firasat buruk yang menyelimuti pikirannya: ini direncanakan dengan sangat rapi. Gita, Freya, dan Sara bergegas menyusul Arga yang masih berada di pos keamanan. Wajah ketiga wanita itu dipenuhi kekhawatiran setelah Gita memberitahu mereka tentang hilangnya Nadine. Suasana malam yang semestinya riuh rendah oleh pesta kini berubah mencekam. “Arga, ada kabar?” tanya Gita, suaranya bergetar penuh kecemasan. Arga menggeleng cepat, raut wajahnya muram. “CCTV tidak berfungsi sejak tadi malam. Aku sudah cek semua sudut, tapi tidak ada rekaman apa pun.” “Bagaimana mungkin?!” Freya melangkah mendekat, matanya menatap tajam layar monitor yang hanya menampilkan statis. Jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin Nadine hilang begitu saja. Pesta ini seharusnya aman—dia sendiri yang memastikan semuanya terkendali. Tiba-tiba, ingatannya melesat pada sesuatu. “Atau, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan gadis blasteran itu?” “Gadis blasteran?” Arga mengerutkan kening, bingung. Gita dan Sara saling berpandangan, keduanya diliputi firasat buruk. “Ya, Nadine pernah ... menyakiti gadis itu—” “Arabella, Freya!” Gita memotong, suaranya tegang. Nama itu saja sudah cukup membuat bulu kuduknya berdiri. “Apa?! Nadine menyakiti dia? Kok aku tidak tahu?” Arga terlihat benar-benar terkejut, matanya membesar. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Freya menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya menghela napas. “Kejadiannya beberapa hari lalu, Nadine terlibat dalam insiden yang membuat Arabella trauma. Gue pikir itu sudah berlalu, tapi ....” “Tapi sekarang Nadine hilang, dan CCTV mati tepat di malam yang sama,” sergah Sara, menyelesaikan kalimat Freya dengan nada suram. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat. Seseorang—atau sesuatu—telah merencanakan ini. Dan waktu terus berdetak. Freya menatap tajam ke arah mereka, suaranya berbisik serak, “Ini pasti ada hubungannya dengan ayah Bella ... yang gue tau, adalah orang paling disegani—dan paling berbahaya.” Udara seketika terasa menusuk. Arga langsung melangkah ke depan, wajahnya dipenuhi tekad. “Kalau begitu, kita datangi kediaman gadis itu sekarang! Aku gak mau Nadine—” Gita menyergap lengannya dengan cengkeraman kencang. “Jangan gegabah, Arga! Kita gak punya bukti, dan kalo salah langkah, kita bisa bikin keadaan lebih buruk!” Sara mengangguk cepat, napasnya sedikit tersengal. “Lagipula, Arabella masih di rumah sakit. Tapi ....” Dia menatap sekeliling, dan merendahkan suaranya, hampir tak terdengar, “...siapa yang jamin kalo ayahnya gak terlibat?” Keheningan menggantung di udara. Di kejauhan, suara musik DJ masih menyala menyadarkan mereka jika masih berada di tengah pesta. Arga menyisir rambutnya frustrasi. Dia kehilangan Nadine. Apa yang akan dia katakan pada ibunya dan orang tua Nadine yang sudah mempercayakan putrinya dalam pengawasanmya. *** Nadine membuka matanya dan dia terkejut karena kedua tangannya terikat pada sisi ranjang masing-masing. Pencahayaan ruangan sangat temaram, membuat napas Nadine tidak beraturan. Seseorang masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas air mineral. “Minum ini.” Pria itu menyodorkan gelas itu ke mulutnya, memaksanya untuk minum. Nadine memelototi pria itu dengan berani. “Jangan melihatku seperti itu. Kau tidak bisa berbuat apapun di sini. Ayo, minum!” Dengan sangat terpaksa Nadine menurut. Dia meneguk minumannya, tapi hanya sedikit. Pria itu tersenyum licik. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Nadine yang tidak mengerti. Dia kembali ingat tentang permainan yang dikatakan oleh pria yang dia tebak adalah Ayah Arabella. Permainan apa? Tidak lama kemudian pintu kembali terbuka dan kali ini yang masuk adalah Liam. Nadine terus memperhatikan pria itu yang berpenampilan rapi. Liam duduk di kursi yang berlawanan dengan Nadine yang terikat longgar di tempat tidur. Liam memegang remote kontrol AC dan memandangi Nadine yang dia yakin sudah meminum air mineral tadi. Hanya menunggu beberapa menit dan obat itu akan bekerja. “Kamu suka membuat orang tak berdaya, ya? Tapi kamu tidak pernah pikirkan bagaimana rasanya ... menjadi mereka,” katanya seraya melepaskan dasi yang melingkar di lehernya. Nadine menggigit bibir, mencoba tidak menangis. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena dingin, tapi karena Liam sengaja membuat AC membekukan ruangan. Dan ... sesuatu yang membuat di dalam dirinya menjadi terasa panas. Membakar hasratnya. “A—pa yang anda mau?” Liam tersenyum tipis, melepas jas hitamnya dan meletakkan begitu saja di sisi sofa kosong tepat sebelahnya. “Aku? Tidak ada. Tapi kamu ... kamu menginginkan sesuatu, kan?” Napas Nadine memburu. Sesuatu dalam dirinya mulai bergolak liar. Tatapan matanya tertuju pada tubuh kekar Liam yang dibalut kemeja linen berwarna putih. Liam mendekat, tapi tidak menyentuh. Hanya berjalan memutari tempat tidur, seperti predator yang mengincar mangsa. “Aku tahu kamu terbiasa jadi ratu kecil yang dimanja. Tapi malam ini ... kamu akan merasakan bagaimana jadi nobody.” “Kita akan masuk ke permainannya sekarang,” ucap Liam sembari melepaskan satu ikatan pada tangan Nadine. “Aturan pertama, jangan menyentuh dirimu sendiri, meski kamu kedinginan.” Napas Nadine memburu kali ini bersamaan dengan sesuatu dalam dirinya yang ingin dilepaskan. Liam menekan remote control dan layar televisi di depannya menyala, menayangkan sebuah video seksual yang mampu membuat Nadine menggila dengan apa yang dirasakannya saat itu. Liam memandangi Nadine yang tampak sangat tersiksa di sana. Merasakan sesuatu dalam dirinya yang siap meledak-ledak tapi tanpa pelampiasan. “Mohonlah padaku, Nadine.” Nadine melenguh. Mulutnya membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi dia ketakutan. Namun, dia tidak mampu menahannya. “Please ... sentuh aku ...,” mohonnya pada Liam putus asa. Liam tersenyum tipis, langkahnya lambat dan terukur seperti predator yang tahu mangsanya tidak akan bisa lari. Dia mendekati ranjang, jari-jarinya yang dingin menyentuh dagu Nadine, memaksanya menatap langsung ke matanya yang gelap tanpa ampun. “Kamu pikir ini tentang seks?” Suaranya rendah, hampir seperti belaian, tapi nadanya menusuk. “Kamu salah. Ini tentang kendali—” Jarinya menelusuri leher Nadine yang berkeringat, berhenti di atas denyut nadinya yang berdegup kencang. “—dan kamu baru saja menyadari ... kamu tidak punya apa-apa.” Nadine menggigit bibirnya sampai berdarah, mencoba menahan erangan yang ingin meledak dari kerongkongannya. Tubuhnya bergerak tak terkendali, kulitnya memerah bukan karena malu, tapi karena keinginan yang dibiarkan mengganas tanpa kepuasan. Liam hanya mengamati, dingin dan tak tersentuh, sementara Nadine perlahan hancur oleh hasratnya sendiri. “To—long ....” Suara Nadine pecah. “Bella pun memohon begitu padamu, tapi kamu mengabaikannya dan membuatnya semakin tersiksa.” Nadine semakin tercekat. “Ma—af ....” Tapi Liam sudah berbalik, meninggalkannya terbaring lemas di atas seprai yang berantakan. Di ambang pintu, Liam berhenti sejenak, tanpa menoleh. “Besok,” ucapnya, seakan menjanjikan sesuatu yang lebih kejam, “kita lanjutkan lagi.” Pintu terkunci. Nadine terdiam, matanya terpaku pada langit-langit kamar, menyadari bahwa penderitaannya baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD