3. Halo, Little Bird

1472 Words
Velvet Lounge malam itu berubah menjadi lautan kilau emas dan hitam. Lampu-lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya temaram yang memanjakan mata, sementara dentuman bass dari DJ booth membuat lantai bergetar halus. Meja VIP yang sudah dipesan Freya dihiasi champagne premium, lilin aromaterapi, dan kue ulang tahun bertingkat dengan taburan edible gold yang berkilau. Freya tampil memukau dalam gaun mini berwarna gold yang pas di tubuhnya, rambut bergelombang dibiarkan terurai, senyumnya memancarkan aura ratu malam. Gita dan Sara sudah asyik berpose di depan backdrop bertuliskan "Freya’s Golden Night", sementara Nadine—dengan gaun satin hitam backless dan high slit yang berani—tampak menikmati perhatian dari setiap sudut ruangan. Semua mata tertuju padanya, baik dari kaum pria yang terpesona maupun para wanita yang iri diam-diam. Pelayan lalu-lalang membawa minuman bercampur asap nitrogen, memberi kesan magis di tengah hingar-bingar musik dan tawa. Malam itu penuh dengan aroma parfum mahal, gelas yang saling beradu, dan kilau kamera yang tak berhenti menangkap momen. Yang tidak disadari Nadine, di antara kerumunan, sepasang mata tajam tengah mengawasinya dari kejauhan. Bukan mata pria yang ingin mengajaknya berdansa, tapi mata yang menunggu saat tepat untuk menyeretnya keluar dari dunia gemerlap ini. Dan, membuat hidupnya berubah menjadi seperti di neraka. “Ini sudah gelas ketiga, Nad. Setelah ini cukup.” Arga bersandar di kursinya, menatap Nadine yang kembali meneguk minumannya. Nadine memelototinya. “Kalau aku mabuk, bukankah ada kamu yang ngurus? Kalau nggak, terus apa tugas kamu, hm?” Nada suaranya ketus, tapi bibirnya tersenyum tipis. “Aku cuma minta kamu nggak kebanyakan minum. Nggak baik.” Arga tetap tenang, meski matanya menyiratkan kekhawatiran. “Kalau aku nggak mabuk, aku nggak bakal menikmati pesta ini sepenuhnya,” Nadine sengaja membalas, seolah menantang. Sebelum Arga sempat menjawab, suara nyaring memotong percakapan mereka. “Hai! Kalian di sini rupanya. Dari tadi aku cari-cari juga.” Gita muncul sambil menepis rambutnya, suaranya harus meninggi karena musik yang menggema memenuhi ruangan. “Hai, kesayangan gue,” Nadine langsung menarik tangan sahabatnya, membuat Gita duduk di sebelahnya. Gita melirik ke arah Arga yang malam ini tampil rapi dan—menurutnya—sangat tampan. Senyum manisnya mengembang. “Mau berdansa, Arga?” tanyanya, penuh harap. Arga menoleh, hendak memberi jawaban, tapi Nadine sudah menyambar lebih dulu. “Bawa aja dia, Git. Dia terlalu kaku dan udah ganggu gue banget malam ini.” Gita berdiri dengan semangat, menyambar tangan Arga. Sementara Arga menatap Nadine sekilas—tatapan yang jelas mengisyaratkan kekesalan—sebelum akhirnya membiarkan Gita menyeretnya ke lantai dansa. Nadine cekikikan melihat Arga yang menurut saja saat Gita menyeretnya. Dia tahu persis sahabatnya itu sudah lama naksir Arga, tapi pria itu selalu bersikap seolah tak tertarik. Di lantai dansa, Gita melingkarkan tangannya di pundak Arga. Sementara Arga, dengan terpaksa, meletakkan kedua tangannya di pinggang Gita. “Senyum dong, Ga. Kenapa sih mukanya datar banget?” suara Gita terdengar manja, meski harus sedikit meninggi agar terdengar di tengah dentuman musik. Arga tidak langsung menjawab, hanya menatap wajah cantik Gita. Malam ini, dia akui, Gita memang terlihat sangat menarik. “Begini saja kamu sudah ganteng, apalagi kalau senyum. Pasti semua cewek langsung klepek-klepek,” goda Gita. Arga mengangkat alis tipis. “Bukan semua cewek. Cuma kamu, kan?” Gita tertawa kecil mendengar balasan itu. Namun tarian mereka berubah lebih intens. Tubuh Gita mulai bergerak mengikuti irama musik yang menghentak, merapatkan dirinya ke d**a bidang Arga, bahkan sengaja menempelkan dadanya. Arga sempat kaku, tapi perlahan mulai goyah ketika tangan Gita mulai berani menyusuri tubuhnya, bahkan ke bagian yang paling sensitif. Refleks, tangannya ikut membalas, membuat Gita tersenyum puas, karena ini memang yang diinginkannya. Sementara itu, Nadine mulai merasa kantung kemihnya penuh. Dia bangkit dari kursi dengan langkah sedikit sempoyongan. Tangannya sesekali meraba dinding untuk menjaga keseimbangan. Beberapa pria mencoba menggoda saat dia lewat, tapi Nadine menepis tangan mereka. “Minggir,” desisnya ketus. Namun salah satu pria justru memepetnya ke dinding. “Hai, manis,” ujarnya sambil menyeringai. “Menyingkir dari gue, sialan!” Nadine mendorongnya cukup keras, lalu melangkah cepat menuju toilet. Begitu menemukan bilik kosong, dia masuk, mengunci pintu, dan segera menuntaskan hajatnya—tanpa menyadari bahaya sedang bergerak mendekat. Di luar bilik toilet, lampu koridor berpendar remang, beradu dengan dentuman musik yang merembes dari balik pintu utama. Sesekali, suara tawa dan teriakan bercampur, tapi di antara itu semua, ada langkah kaki yang teratur, nyaris tak terdengar. Dua pria berjas hitam saling memberi kode singkat. Salah satunya mengeluarkan ponsel, mengetik cepat. [Target sendirian. Lokasi: toilet wanita.] Beberapa detik kemudian, ponsel itu bergetar—balasan singkat dari bosnya. [Laksanakan. Bersih.] Senyum tipis terukir di wajah pria itu. Sementara di dalam bilik, Nadine merapikan pakaiannya tanpa sadar kalau waktu yang tersisa untuknya semakin sedikit. Musik pesta kembali memuncak, menyamarkan derit pintu toilet yang terbuka pelan. Di lantai dansa, Gita masih asyik melilitkan tubuhnya pada Arga, sementara pria itu sesekali melirik ke arah meja tempat Nadine tadi duduk. Gelas minumannya masih di sana, tapi sosoknya sudah tidak terlihat. Kemana lagi dia? batin Arga, mulai merasa tak enak. “Kenapa malah bengong? Fokus dong sama aku,” protes Gita sambil mencoba menarik perhatiannya kembali. Arga mengalihkan pandang sebentar, tapi rasa was-was itu semakin kuat. Dentuman musik dan lampu pesta yang berkelap-kelip membuatnya sulit mencari. Hingga akhirnya dia memutuskan melepaskan diri dari Gita. “Nadine ke mana?” tanyanya. Gita menoleh ke meja, lalu mengangkat bahu. “Tadi masih di situ. Mungkin ke toilet.” Arga tidak membalas. Dia segera bergerak meninggalkan lantai dansa, menerobos kerumunan yang menutup jalan. Sementara itu, di koridor menuju toilet, salah satu pria berjas hitam menutup pintu dari dalam. Bau parfum mahal bercampur dengan aroma antiseptik memenuhi udara. Dari balik bilik, terdengar suara gesekan kertas tisu, lalu hening. Nadine keluar dari bilik dengan langkah goyah. Kepalanya terasa berat, pengaruh alkohol masih menekan kesadarannya. Saat dia hendak berjalan ke wastafel, seorang pria berjas hitam muncul begitu saja di hadapannya. “Permisi, Nona. Teman Anda menitip pesan, diminta ikut sebentar.” Suaranya tenang, tapi tatapannya menusuk. Nadine mengerjap, mencoba fokus. “Siapa ... yang nyuruh?” tanyanya dengan suara serak. “Dia ada di atas, mau memberi kejutan.” Pria itu tersenyum tipis, lalu dengan sigap meraih lengannya. Nadine berusaha menarik diri, tapi tenaganya nyaris tak ada. “Lepas!” Pria itu tidak melepas, malah semakin menggiringnya keluar toilet menuju lorong sepi di belakang club. Lampu redup membuat semuanya terasa kabur. Nadine mulai menyadari jika ada yang tidak beres di sini. Kemudian dia mencoba meronta tapi cengkeraman tangan pria bersetelan itu sangat kuat. Di ujung lorong, dua pria lain sudah menunggu. Salah satunya membuka pintu akses pribadi yang langsung menuju lift khusus. Nadine semakin panik, tapi tubuhnya terasa berat dan langkahnya goyah, seperti kehilangan kendali sepenuhnya. Lift itu tertutup, menyisakan hanya dentingan musik pesta dari kejauhan dan kesunyian mencekam yang akan membawanya ke tempat yang tidak dia ketahui. Para pria bersetelan jas hitam itu menggiringnya ke sebuah mobil yang sudah menunggu di belakang bangunan. Nadine yang sempat memberontak dari sisa-sisa kesadarannya, didorong paksa masuk ke dalam mobil. “Kalian siapa?!” tanya Nadine dengan suara lantang. “Sstt. Bisakah kamu diam?” kata salah seorang pria asing itu. Nadine mulai panik ketika mobil meluncur keluar dari area gedung yang entah membawanya kemana. “Turunkan aku! Teman-temanku masih di dalam. Tolong lepaskan aku!” Tidak ada yang mendengarnya atau menghiraukan Nadine yang mulai memberontak. Hingga akhirnya salah satu dari mereka menekankan tisu yang sudah dicampur sesuatu ke hidung Nadine, dan membuat gadis itu seketika hilang kesadaran. *** Nadine mengerjapkan mata, mencoba menepis sisa pening di kepalanya. Cahaya remang ruangan hanya menerangi sedikit perabotan mahal, dan dari aroma serta suasananya, jelas ini bukan kamar pesta. Dia menggerakkan pergelangan tangannya—bebas. Tidak terikat. Tidak ada borgol. Namun, langkah kaki yang teratur dari arah belakang membuatnya menegakkan punggung. Seorang pria berdiri tidak jauh darinya, mengenakan setelan rapi dengan jas hitam yang membungkus sempurna di bahunya. Tatapannya tajam, dingin, seperti sedang menilai setiap gerakan Nadine. “Halo, Little bird.” “Siapa Anda?” Nadine langsung bicara, suaranya sinis. “Kenapa gue ada di sini?” Pria itu tidak langsung menjawab. Dia melangkah mendekat, setiap gerakannya tampak terukur. “Pertanyaan yang salah,” ucapnya tenang, suaranya dalam. “Yang seharusnya kamu tanyakan adalah ... apa yang akan terjadi padamu.” Nadine menegakkan dagu, berusaha tidak terintimidasi. “Kalau begitu gue tanya sekarang, apa yang akan lo lakuin?” Tatapan pria itu tetap menusuk. “Itu akan bergantung ... pada bagaimana kamu memilih untuk bersikap malam ini.” “Lo pikir gue takut sama ancaman kayak gitu?” Nadine sengaja menantang. Liam hanya memiringkan kepalanya sedikit, seolah membaca isi pikirannya. “Ketakutan tidak selalu terlihat di mata, Nadine. Kadang, baru terasa ketika pilihan yang ada di depanmu mulai hilang satu per satu.” Udara di ruangan terasa lebih berat. Nadine menelan ludah, tapi tetap memasang ekspresi menantang. Dia tau jika saat ini dirinya dalam bahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD