16. Sebuah Perubahan

1546 Words
Nadine merasakan usapan yang tidak biasa pada lengannya. Matanya terbuka perlahan, kebingungan menyergapnya ketika dia menyadari Liam masih berada di sampingnya—tidak segera pergi seperti biasanya usai melampiaskan hasratnya. Kecupan lembut di pundaknya yang telanjang dan embusan hangat napasnya terasa asing dan membingungkan. Saat ranjang bergerak dan Liam bersiap untuk bangkit, naluri Nadine tiba-tiba bekerja. Dengan gerakan cepat, dia memutar tubuhnya dan menahan lengan Liam, mencegahnya pergi. “Lepaskan papaku,” pintanya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Liam berhenti, alisnya berkerut dalam ketidaksabaran dan keheranan. “Apa yang kau katakan?” tanyanya, sambil tetap melanjutkan mengenakan celananya dengan gerakan kasar. Nadine duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, mencari sedikit keberanian. “Jika kau tidak mau melepaskan aku ... aku akan menerimanya. Kau bisa melakukan apa saja padaku. Tapi ... tolong lepaskan papaku. Jangan hancurkan dia di pengadilan. Ini bukan kesalahannya, hanya aku yang pantas mendapat hukuman darimu.” Gadis itu sudah berlinang air mata, tetapi tatapannya tidak goyah. Ini adalah pengorbanan terakhir yang bisa dia berikan: menyerahkan kebebasan dan tubuhnya sepenuhnya untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang masih peduli padanya. Liam hanya menatap Nadine tanpa mengatakan apa-apa. Tapi dia mendengarkan setiap kata yang terlontar dari bibir gadis itu. Setelah itu pergi begitu saja meninggalkan Nadine yang sudah menangis tanpa suara. *** Greg berdiri di hadapan Liam di ruang kerjanya, memutuskan untuk berani mengambil risiko menyampaikan pendapat yang sudah lama dipendamnya. “Tuan,” ucapnya pelan. Saranya hati-hati tapi tegas. “Masalah dengan keluarga Alexander sebenarnya sudah selesai. Nona Arabella sudah pulih dan kembali berkuliah. Dan saya rasa gadis itu ... Nadine, sudah cukup menderita. Dia sudah dihukum jauh melampaui kesalahannya.” Liam mengangkat pandangannya dari dokumen, matanya menyipit, menebak arah pembicaraan sang asisten. “Apa maksudmu, Greg?” Suaranya datar, tapi ada peringatan di baliknya. “Maksud saya, Tuan ....” Greg memberanikan diri, “bukankah sudah waktunya kita melepasnya? Menahannya lebih lama tidak akan mengubah apa pun, malah saya khawatir bisa menimbulkan masalah baru. Apalagi Pak David tidak tinggal diam dengan kasus putrinya yang menghilang.” Liam berdiri, berjalan menghampiri jendela. Dia terdiam lama, menatap pemandangan kota di bawahnya. “Ini bukan lagi tentang Arabella, Greg,” ujarnya akhirnya, suaranya rendah dan hampir terdengar bingung. “Ini tentang ... dia yang tidak seharusnya begitu.” Greg mengernyit, tidak memahami. “Maaf, Tuan?” “Dia tidak seharusnya membuatku merasa seperti ini!” hardik Liam tiba-tiba, menghantam jendela dengan telapak tangannya, membuat Greg tersentak kaget. “Dia seharusnya hanya seorang gadis manja yang bisa dengan mudah ku hancurkan dan ku lupakan! Tapi dia ... dia tidak!” Ingatannya kembali terbang pada Nadine yang hampir mati kedinginan setelah dia mengurungnya di wine cellar selama tiga hari. Gadis itu seperti berusaha untuk mengakhiri hidupnya, tapi tidak. Gadis itu menjelma menjadi gadis yang membuat dirinya tersiksa. Liam menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dia seperti duri. Semakin kau mencabutnya, maka semakin dalam dia menusuk.” Greg melihat gejolak yang tidak biasa pada bosnya. Ini bukan lagi tentang balas dendam. Ini sudah menjadi obsesi pribadi. “Jadi ... apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Greg pelan. Liam memalingkan wajah, matanya gelap. “Aku tidak tahu, Greg. Tapi melepaskannya ... terasa seperti kekalahan. Dan aku tidak suka kalah.” Greg berdiri diam sejenak, mencerna perintah yang sama sekali tidak terduga itu. “Cabut tuntutan pada David Alexander, Greg.” Kalimat itu bergema di ruangan mewah itu, seperti sesuatu yang mustahil diucapkan oleh Liam Abraham. “Ta-npa penjelasan, Tuan?” Suara Greg terdengar gagap, matanya mencoba membaca setiap ekspresi di wajah bosnya yang biasanya begitu mudah ditebak, namun kini tertutup oleh sesuatu yang asing. “Tidak ada penjelasan. Hentikan semuanya. Sekarang.” Suara Liam datar, tapi ada keputusan mutlak di dalamnya yang tidak bisa diganggu gugat. Greg masih ragu. Ini adalah langkah mundur yang cukup besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Yang dia tahu, tuannya hampir tidak pernah membatalkan semua tuntutannya. Tapi, kini ...? “Anda yakin, Tuan?” tanyanya sekali lagi, mencoba mencari celah apakah ini jebakan atau ujian loyalitas. Liam menatapnya langsung. “Ya.” Hanya satu kata, tapi terdengar berat, seperti diambil setelah pergulatan batin yang panjang. Dia memalingkan muka, menandakan percakapan telah usai. Greg mengangguk pelan, akhirnya memahami. Ini bukan tentang hukum atau kemenangan lagi. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan Liam sendiri tidak sepenuhnya bisa kuasai atau jelaskan. “Saya paham, Tuan. Saya akan segera selesaikan,” jawab Greg, lalu berbalik untuk pergi. Di ambang pintu, dia berhenti sejenak, tanpa menoleh, dan berkata, “Dia memang gadis yang spesial, Tuan.” Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Liam sendirian dengan keputusannya dan ucapan Greg yang menggantung di udara seperti pengakuan yang tidak pernah bisa dia ucapkan sendiri. Liam ingin memaki dirinya sendiri atas sikapnya lemah terhadap permintaan itu. *** David terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan sangat kelelahan. Fransisca duduk di sampingnya, mengompres dahinya yang berkeringat. Roman masuk dengan langkah cepat, wajahnya membawa ekspresi campur aduk antara lega dan bingung. “Tuan, ada kabar menarik dari pihak berwajib,” ucap Roman, mencoba menahan agar suaranya tidak terdengar terlalu bersemangat di hadapan tuannya yang sedang sakit. David langsung mencoba mendorong tubuhnya untuk duduk, matanya berbinar dihiasi harap yang begitu besar. “Apa ini soal Nadine? Dia telah ditemukan?” tanyanya, suara serak namun penuh antisipasi. Roman menggeleng, wajahnya sedikit menunduk. “Sayangnya bukan kabar tentang Nona Nadine, Tuan.” “Lantas kabar apa?” sela Fransisca, suaranya cemas dan penuh ketidaksabaran. “Cepat katakan, Roman. Lihat kondisi suamiku!” Roman menarik napas. “Tuan Abraham ... telah mencabut semua tuntutannya terhadap Anda, Tuan. Dan, yang lebih mengejutkan, beliau juga berniat mengembalikan seluruh uang ganti rugi yang sudah anda bayarkan.” Suasana hening seketika. David hanya bisa membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa? Mengapa dia berubah pikiran begitu cepat?” tanyanya, suaranya terdengar bergetar antara lega dan tidak percaya. “Bukankah dia orang yang sama sekali tidak peduli dengan kesulitan orang lain? Ini pasti jebakan, Roman! Pasti ada sesuatu di balik ini!” Fransisca juga terlihat sangat bingung, tangannya berhenti mengompres. “Ini tidak masuk akal. Liam Abraham tidak pernah begitu mudahnya mengalah. Apa yang terjadi padanya?” Roman hanya bisa mengangkat bahu, sama bingungnya dengan mereka. “Tidak ada penjelasan resmi, Tuan. Hanya perintah untuk menghentikan semua proses hukum dan mengembalikan dana. Itu saja.” David terjatuh kembali ke bantalnya, diliputi oleh kelegaan yang masih diselimuti kabut ketidakpercayaan dan kekhawatiran yang dalam. Kemenangan ini terasa terlalu aneh dan tiba-tiba, meninggalkan rasa was-was yang justru mungkin lebih menyiksa daripada tekanan hukum yang jelas. David terdiam sejenak, matanya menatap kosong pada langit-langit rumah sakit, mencoba mencerna segala yang terjadi. “Apa dia benar-benar tidak ada hubungannya dengan hilangnya Nadine...?” gumamnya, suaranya parau dan penuh keraguan yang dalam. Pertanyaan itu seperti jeruji yang mengurung pikirannya, bahkan setelah kabar pencabutan tuntutan. Roman menghela napas. “Saya sudah memantau sekitar rumah utama Tuan Abraham selama berminggu-minggu, Tuan. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada aktivitas yang tidak biasa di sana.” Dia melanjutkan, menyusun fakta-fakta yang justru semakin membingungkan: “Putrinya, Arabella, sudah tidak tinggal di sana. Dia menetap di rumah ibunya. Dan Liam sendiri ... jarang terlihat di rumah itu setelah insiden penggeledahan Tuan.” “Jadi, di mana dia?” sela Fransisca, matanya tajam. “Dia pasti punya tempat lain. Orang seperti Liam Abraham tidak akan tinggal di hotel.” Roman mengangkat bahu, tampak frustrasi karena tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. “Itu yang masih menjadi misteri, Nyonya. Tim kita kehilangan jejaknya. Dia seperti hantu.” David menutup matanya, merasakan sakit kepala yang semakin menjadi. “Jadi, kita kembali ke titik nol. Liam bebas dari kecurigaan, tapi Nadine tetap hilang tanpa jejak. Dan kita tidak tahu harus mencurigai siapa lagi.” Suasana hening dan berat menyelimuti ruangan. Kabar pencabutan tuntutan yang seharusnya membawa kelegaan, justru meninggalkan kekosongan dan kebingungan yang lebih besar. Mereka tidak lagi memiliki musuh yang jelas untuk diperangi, dan itu justru lebih menakutkan. *** Siska memasuki kamar Nadine dengan nampan makan siang, diikuti oleh Greg yang berdiri kaku di belakangnya. Nadine hanya melirik sekilas, lalu kembali memandang keluar jendela, tidak menunjukkan minat sedikit pun pada makanan atau kehadiran mereka. Setelah Siska pergi, kesunyian yang tegang mengisi ruangan. Greg memperhatikan Nadine. Perubahan gadis itu cukup mencengangkan. Dari seorang gadis liar yang dulu dikenal sebagai socialite yang glamor dan kejam kini duduk lesu, seperti boneka porselen yang rapuh dan kosong. Pakaiannya sederhana, wajahnya tanpa makeup, dan matanya kehilangan cahaya yang dulu selalu dipenuhi dengan rasa percaya diri yang sombong. Liam Abraham telah menjungkirbalikkan dunia gadis itu sepenuhnya. “Aku hanya ingin memberi kabar,” ujar Greg akhirnya, memecah kesunyian, namun Nadine masih memandang keluar. “Mengenai permintaanmu pada Tuan Abraham. Beliau baru saja mencabut semua tuntutan hukum terhadap ayahmu.” Nadine langsung menoleh cepat, matanya yang hazel membelalak tidak percaya. “Di-dia mengabulkan permintaanku?” Suaranya bergetar, penuh dengan rasa harap dan takut yang bercampur. “Ya,” jawab Greg, mencoba terdengar netral. “Ayahmu baik-baik saja. Proses hukumnya dihentikan.” Untuk pertama kalinya dalam dua minggu terakhir, cahaya kecil muncul di mata Nadine. Air mata kebahagiaan dan kelegaan mulai menggenang di pelupuk matanya. Sebuah napas lega yang panjang akhirnya keluar dari dadanya yang sesak. Meski tubuhnya masih terjebak, setidaknya salah satu bebannya telah diangkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD