17. Kebebasan yang Pahit

2103 Words
Arga duduk di samping Kinar, matanya penuh keprihatinan melihat sang ibu yang semakin kurus dan muram. “Tubuh ibu kurus, pasti jarang sekali makan, ya?” tebaknya, dengan suara lembut. Kinar menghela napas panjang, wajahnya tampak keriput oleh beban dan kelelahan. “Bagaimana mau makan, lihat makanan saja ibu sudah tidak ada nafsu,” keluhnya, suara parau. “Ingat Nadine yang sampai saat ini tidak ada kabar sama sekali. Ibu tidak bisa tenang, Arga.” Sudah lebih dari dua minggu berlalu tanpa secercah harapan. Setiap telepon yang berdering membuat jantungnya berdebar, hanya untuk berakhir dengan kekecewaan. Nadine, gadis yang telah dia besarkan seperti anak sendiri, hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Arga menunduk, tangannya mengepal erat di pangkuannya. “Ini salah saya, Bu,” bisiknya, suaranya bergetar dipenuhi rasa bersalah yang telah menggerogotinya selama dua minggu terakhir. “Malam di pesta itu ... seharusnya saya tidak meninggalkan Nadine. Seharusnya saya menolak ajakan Gita untuk berdansa. Seharusnya saya menemani dia ke toilet, atau setidaknya memastikan dia sampai dengan selamat ....” Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti pisau yang menikam dirinya sendiri. Kenangan itu menghantuinya setiap malam: Nadine yang tertatih-tatih, wajahnya kemerahan karena alkohol, dan dia ... yang justru asyik berdansa, mengabaikan tugasnya. “Dia mempercayai saya, Bu. Dan saya telah mengecewakannya.” Kinar meletakkan tangan dinginnya di atas tangan Arga yang mengepal. “Bukan salahmu, Nak. Kau juga tidak bisa terus-menerus mengekorinya. Dia ... dia memang keras kepala. Siapa pun yang menjaganya malam itu mungkin akan mengalami nasib yang sama.” Tapi penghiburan itu tidak menyentuh rasa bersalah Arga yang terdalam. Dia tahu, sebagai pengawal, dialah yang bertanggung jawab. Dan kegagalannya itu telah menghancurkan sebuah keluarga. Andai saja malam itu dia tidak tergoda ajakan Gita, mungkin Nadine tetap selamat. Tapi benar yang diucapkan oleh ibunya, siapa pun yang menjaga Nadine malam itu pasti akan kejadian juga. “Ibu akan lebih tenang jika ada satu kabar baik tentang Nona Nadine. Jika dia benar-benar diculik, seharusnya si penculik meminta tebusan, atau jika Nona Nadine mengalami kecelakaan, minimal ada beritanya. Tapi, ini ... sama sekali tidak ada apapun yang bisa membuat hati tenang.” Arga melingkarkan tangannya pada pundak sang ibu dan membawanya ke dalam dekapannya. “Semoga saja pihak berwajib segera menemukan keberadaan Nadine, Bu. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu.” *** Di ruang kamar dengan pencahayaan yang temaram, Nadine masih berdiri di dekat jendela memandang keluar pada jalanan kota yang tak pernah tidur. Hanya itu satu-satunya penghiburannya, karena tidak ada apapun di kamar selain memandangi jalanan di luar sana. Nadine terkurung di dalam kamar mewah dengan fasilitas minim, tidak ada apa-apa di kamar itu hanya ranjang besar dan lemari. Menghindari kegilaan yang akan menggerogoti dirinya, setiap waktu yang dilakukannya hanya memandang keluar, karena itu satu-satunya yang hidup yang bisa menghiburnya di tengah kehampaan hidupnya. “Ini sudah larut, kenapa kau belum tidur?” Suara Liam tiba-tiba memecah kesunyian. Nadine tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang hampir asing baginya akhir-akhir ini, lalu berbalik menghadap pria yang kini berdiri di dekat ranjang. “Aku belum mengantuk,” jawabnya lembut, suaranya sudah tidak lagi penuh ketakutan seperti dulu, tetapi masih terasa hampa. Liam tidak menanggapi. Dia memilih untuk duduk di ujung ranjang, menciptakan sebuah keintiman yang tidak nyaman di antara mereka. “Kau sudah mendengar kabar tentang ayahmu?” tanyanya, matanya mengamati setiap reaksi Nadine. Nadine meremas-remas tangannya gugup, sebuah gerakan nervous yang masih sering dilakukannya. “Ya. Terima kasih ... karena sudah mengabulkan permohonanku, Tuan.” Ucapan terima kasih itu tulus, namun terasa pahit di lidahnya, karena dia tahu harga yang harus dibayar untuk itu. Liam mengamati Nadine dengan cermat. Dia bisa melihatnya—bayangan ketakutan itu masih bersembunyi di balik mata hazelnya, dalam setiap langkahnya yang ragu-ragu, dalam caranya yang meremas-remas tangannya sendiri. “Kemarilah,” pintanya, suaranya lebih lembut dari biasanya, namun masih mengandung unsur perintah. Nadine melangkah pelan, seperti mendekati singa yang sedang tidur. Setiap langkahnya hati-hati dan penuh perhitungan. Liam, yang tidak sabar dengan kehati-hatiannya yang berlebihan, tiba-tiba menjangkau dan menarik tangan Nadine saat jarak mereka hanya selangkah. Tubuh Nadine yang ringan terhuyung dan menabrak tubuhnya yang kokoh. “Jangan takut lagi, Nadine,” bisiknya, dengan suara rendah dan bergetar sangat dekat dengan telinganya. “Aku tidak akan menyakitimu, asalkan kau patuh dan tidak melakukan tindakan yang membuatku marah.” Nadine menahan napas, matanya membesar. “Benarkah?” suaranya hampir seperti desahan, penuh dengan harap dan keraguan yang bercampur. “Ya,” jawab Liam tegas. Tangannya yang besar berpindah dengan lembut menyentuh jemari Nadine yang masih kaku dan saling meremas. “Rileks, Nadine.” Sentuhannya berusaha menenangkan, tapi Nadine masih bisa merasakan kekuatan dan potensi ancaman di balik kelembutan semu itu. Dia mencoba untuk mengendurkan tangannya, untuk mempercayai kata-katanya, tapi tubuhnya masih saja tegang. Itu adalah janji—tapi janji yang bersyarat, dan Nadine tahu betul betapa mudahnya Liam marah. Beberapa saat kemudian, mereka terbaring berhadapan di atas ranjang. Hanya cahaya bulan yang menyelinap dari balik gorden, menerangi siluet wajah mereka. Liam dengan gerakan yang hampir tidak biasa membelai rambut hitam kecoklatan Nadine, ujung jarinya dengan hati-hati menyentuh kulit wajahnya yang halus. Nadine hanya diam, matanya—yang kini lebih tenang—memandangi Liam, mencoba membaca niat di balik kelembutan barunya ini. Dia tidak lagi melawan, tetapi dia masih tetap waspada. Liam memperhatikan setiap perubahan pada Nadine, seperti yang dikatakan Greg. Gadis itu memang jauh lebih patuh, tetapi sebuah pertanyaan mengusiknya: Apakah ini penyerahan yang tulus, atau hanya topeng yang lebih dalam? “Kau merindukan teman-temanmu, Nadine?” tanyanya, suara rendah dan seolah tidak bersalah, namun Nadine tahu, setiap pertanyaan Liam menyimpan maksud tertentu. Mata Nadine berkedip cepat, menunjukkan bahwa pertanyaan itu menyentuh sesuatu dalam dirinya. “Ya,” jawabnya jujur, tapi segera ditutup dengan permohonan yang hampir desperate. “Tapi ... aku mohon, jangan lakukan apa pun pada mereka. Mereka tidak terlibat.” Liam terdiam sejenak, jari-jarinya masih terasa ringan di rambut Nadine. “Aku tidak berniat menyakiti mereka,” katanya, dan itu terdengar tulus. “Tapi aku ingin kau tahu ... dunia luar sudah mulai melupakanmu, Nadine. Hidup mereka terus berjalan, tanpamu.” Dia mengatakan itu bukan untuk kejam, tapi sebagai pengujian, untuk melihat reaksi Nadine, apakah dia masih terikat pada kehidupan lamanya. Nadine menelan ludah, perkataan Liam seperti tamparan halus yang menyakitkan. “Aku mengerti,” bisiknya, suara kecil dan pasrah. “Aku di sini sekarang. Itu yang terpenting.” Jawaban itu membuat Liam terdiam. Itu bukan jawaban yang dia harapkan. Itu adalah jawaban seseorang yang telah menerima takdirnya, dan itu justru membuatnya tidak nyaman. Nadine tersenyum tipis, seperti senyum yang sengaja dipaksakan dan Liam tidak menyukainya. Kali ini tangannya berada di atas pinggang Nadine, sedikit mencengkeramnya, dan tatapan diamnya terus memandanginya. Merasakan ketegangan yang mulai meningkat, Nadine mengambil inisiatif. Dengan napas yang sedikit bergetar, dia mendekat dan memberanikan diri untuk mencium bibir Liam. Itu bukan ciuman yang penuh gairah, melainkan permohonan atau upaya untuk mengalihkan perhatian. Liam, yang terkejut namun tidak menolak, membalas ciumannya. Tangannya yang semula mencengkeram pinggang Nadine kini berpindah ke punggungnya, menariknya lebih dekat. Nadine pun memeluk tubuh Liam, seolah mencari perlindungan atau kehangatan dalam pelukan yang sama yang pernah menghancurkannya. *** Greg berdiri di hadapan Liam, wajahnya mencerminkan keheranan yang dalam. “Melepaskan Nona Nadine?” ulangnya, seolah memastikan telinganya tidak salah dengar. “Apa keputusan Tuan sudah yakin?” Ini adalah pembalikan sikap yang sangat drastis dari pria yang awalnya ingin menghancurkannya secara perlahan. “Ya, kau tidak salah dengar, Greg,” ucapnya tegas, suaranya datar namun mengandung keputusan yang bulat. “Aku tidak ingin melihatnya hancur sepenuhnya. Dia sudah cukup menderita. Dan, aku rasa semua ini sudah cukup.” Ada kelelahan dan mungkin sedikit penyesalan dalam nada suaranya. “Seperti yang selalu saya harapkan, Tuan,” jawab Greg, merasa lega namun langsung dihantui oleh kekhawatiran. “Tapi, tentu saja Tuan harus pertimbangkan ... kita tidak bisa membebaskannya begitu saja. Dia akan lari langsung kepada David Alexander dan menceritakan segalanya. Reputasi Tuan—” “Kita akan buat kesepakatan dengannya, Greg,” potong Liam, matanya menyala dengan pikiran yang sudah dipertimbangkan. “Sebuah perjanjian yang sangat jelas. Dan jika perlu ... kita sertakan ancaman yang membuatnya tidak akan pernah berani membuka mulut.” Ucapannya tentang ‘ancaman’ itu dingin dan penuh pertimbangan, mengingatkan Greg bahwa di balik keputusan untuk berbelas kasih, Liam tetaplah Liam—seorang pria yang selalu memegang kendali dan tidak segan menggunakan ketakutan sebagai alat. *** Siska meletakkan sebuah dress floral yang cerah dan feminim di atas ranjang. Nadine, yang terbiasa dengan warna-warna suram, langsung tertarik. Dia mendekat dan meraba kainnya. “Dress yang cantik,” gumamnya, dengan suara penuh keheranan. “Tuan Abraham memintamu untuk mengenakannya. Beliau akan mengajakmu keluar,” ujar Siska dengan nada datar. Nadine terkesiap. “Apa? Tuan Liam akan mengajakku keluar?” tanyanya, tidak percaya. Pikiran langsung dipenuhi oleh rasa takut dan tanda tanya. Apakah ini jebakan? Atau hukuman baru? “Ya. Mandilah. Tuan Abraham sudah menunggu di ruang minum,” desak Siska, dengan lembut mendorong Nadine yang masih bingung ke arah kamar mandi. Setelah mandi, Nadine berdiri di depan cermin. Dress itu pas di tubuhnya, membuatnya terlihat seperti versi lama dirinya yang hampir terlupakan—gadis muda yang cantik dan penuh kehidupan. Tapi matanya masih menyimpan kehati-hatian dan kebingungan. “Ayo,” panggil Siska, membawanya ke ruang minum. Liam terlihat duduk di sofa, memutar gelas whiskey di tangannya. Saat Nadine muncul, matanya menyapu seluruh penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Cantik,” pujinya, suaranya lebih rendah dan lebih hangat dari biasanya. Dia berdiri, menawarkan tangannya. “Apa kau siap?” Nadine hanya mengangguk pelan, terlalu banyak pertanyaan di kepalanya untuk diucapkan. Di dalam mobil yang meluncur mulus, Nadine duduk diam di samping Liam tanpa mengatakan apa-apa. “Kau boleh membuka jendelanya,” ucap Liam. “Sungguh?” “Ya.” Dengan hati berdebar, dia memberanikan diri untuk membuka jendela. Embusan angin segera menyapu wajahnya, menerbangkan helai-rambutnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasakan dunia di luar—bau kota, suara lalu lintas, sensasi udara yang bergerak. Itu adalah perasaan yang hampir terlupakan, hampir membuatnya menangis. Nadine tersenyum sembari memejamkan matanya, merasakan semilir angin yang menyapu wajahnya. Rasanya sangat luar biasa. Dia menoleh kepada Liam, dan sebuah senyum—yang benar-benar tulus, lepas, dan tidak dipaksakan—merekah di bibirnya. “Terima kasih, Tuan,” bisiknya, suaranya nyaris tertiup angin, namun penuh dengan kehidupan yang kembali mengalir. Liam memandanginya, dan untuk sesaat, sesuatu yang mirip kedamaian menyentuh hatinya yang biasanya dingin. Dia tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa ini mungkin adalah hal terbaik yang telah dilakukannya untuknya—dan untuk dirinya sendiri. Setelah berkendara tanpa tujuan jelas, akhirnya Liam menghentikan mobilnya di sebuah jalanan sepi di kompleks perumahan mewah. Nadine melirik keluar jendela, dan seketika napasnya tercekat. Dia mengenali lingkungan itu ... rumah orang tuanya tampak berdiri megah tak jauh di depan sana. “Tuan ...,” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Liam memutar kepalanya, menatap Nadine datar tanpa ekspresi. “Aku akan melepaskanmu, seperti yang kau minta,” ucapnya tenang, tapi ada nada ancaman yang terselip. “Tapi ada satu syarat yang harus kau patuhi.” Nadine menoleh penuh, menatap wajah pria itu dengan bingung. “Syarat?” “Jangan pernah menyebut namaku pada siapa pun.” Suaranya dalam dan tegas, tidak memberi ruang untuk tawar-menawar. “Jika kau melanggarnya, aku akan melakukan sesuatu yang buruk pada ayahmu, ibumu, atau teman-temanmu.” Nadine mengangguk pelan, tangan yang sedang memilin-milin jarinya semakin kencang. “Mengapa kau melepaskanku, Tuan?” tanyanya, suara kecil dan penuh keraguan. Anehnya, di balik rasa takut, ada rasa enggan untuk pergi, sebuah ketergantungan yang tidak sehat yang telah terbentuk selama masa penahanan. Liam menarik napas. “Agar kau kembali ke kehidupanmu yang dulu,” jawabnya, nada suaranya sedikit lebih lembut, tapi masih mengandung teguran. “Tapi ingat, Nadine. Jadilah orang yang lebih baik. Berhenti menyakiti orang lain. Jangan lagi menyiksa gadis-gadis tak berdaya. Jangan sia-siakan kesempatan kedua ini.” Nadine menunduk. Rasa bersalah menyesak di dadanya, membuat tenggorokannya tercekat. Dia merasa dirinya begitu buruk jika mengingat perbuatannya dulu. Hingga dia merasakan usapan lembut pada puncak kepalanya, kemudian dia menoleh dan sepasang matanya yang berkaca-kaca bertemu dengan mata coklat Liam yang tajam. “Pergilah, lanjutkan hidupmu.” Nadine tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, lalu dia memeluk tubuh pria itu dan mencium pipinya. Dengan tangan gemetar, Nadine membuka pintu dan melangkah keluar. Dia berdiri di trotoar, menatap rumahnya, lalu menatap kembali ke dalam mobil kepada pria yang telah menjadi penjaga dan algojonya, dan kini menjadi pemberi kebebasan yang penuh syarat. Liam tidak menunggu. Mobilnya meluncur pergi, meninggalkan Nadine sendirian di depan pintu rumahnya, dibebaskan secara fisik, tetapi jiwanya masih terbelenggu oleh ancaman dan kenangan yang akan menghantuinya selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD