Bab 3 | Seperti Menyambut Kematian

1645 Words
Ayuna berhenti berlari dengan tatapan yang nanar dan napas yang memburu begitu tiba di depan ruang rawat Nisara, yakin seratus persen jika Nisara hanya pura-pura. Nisara adalah pasien tetap di rumah sakit tersebut, dan setiap collapse, wanita itu akan langsung dibawa ke ruang perawatannya alih-alih ke UGD. Orang tuanya membayar mahal untuk memberikan fasilitas terbaik dan membuat perjanjian dengan pihak rumah sakit jika dokter spesialis harus selalu bisa stand by dan memberi penanganan pada Nisara. Kehadiran Ayuna di sana langsung mendapat pelototan tajam dari Arseno. Alena pun mendekat dengan tatapan yang keruh. Tangannya dengan ringan kembali melayang menampar pipi Ayuna, seolah Ayuna adalah samsak hidup yang selalu bisa menjadi tempatnya melampiaskan emosi. “Dokter mengatakan Nisara collapse karena asmanya sampai mengalami hipoksia.” Suara mamanya bergetar dengan amarah yang semakin mendidih. Pun Ayuna yang ikut menahan napas, hatinya kembali terasa getir, seolah menertawakan takdir yang tidak pernah berpihak padanya. Kenapa wanita itu bisa dengan mudah membuat penyakitnya berpihak padanya?! Memang sialann! “Dia shock dengan tuduhan keji kamu, tubuhnya kaget, napasnya langsung sesak, paru-parunya sempat kolaps sebagian. Kamu hampir membunuh saudara kamu sendiri, Ayuna!” Alena kembali berteriak dengan lengkingan yang memekakkan telinga. Ayuna sampai mundur satu langkah dengan tatapan yang nanar sambil memegangi wajahnya yang terasa perih. Kali ini Dewangga -Sang Papa- mendekat dengan d**a yang kembang kempis dan napas yang memburu. “Kamu yang membersamai hidupnya selama ini, Yuna. Kamu tau dengan jelas riwayat asma berat yang dideritanya. Meski pun dikatakan sudah sembuh, bukan berarti paru-parunya benar-benar pulih seratus persen.” Kali ini Dewangga mengguncang-guncang bahu Ayuna. “Jika dia mengalami tekanan emosional yang terlalu mendadak, sistem sarafnya bisa memicu penyempitan saluran napas secara ekstrem. Oksigennya turun drastis. Bisa-bisanya kamu menuduhnya bercinta dengan Arseno! Di mana otak kamu, hah?! Nisara hampir mati lagi karena kamu!” Dewangga berteriak sangat keras lalu mendorong kuat tubuh Ayuna hingga gadis itu tersungkur di lantai. Napas Ayuna ikut memburu, air matanya jatuh semakin tidak terkendali. Dia kembali berdiri dengan susah payah dan mengusap air matanya kasar. “Ayuna sudah mati sejak lama, Pa. Jiwa Ayuna kalian bunuh sejak lama,” lirihnya pilu, detik itu dia menyeka air matanya kasar. Menatap papanya dengan seringai kecil sebelum tertawa terbahak-bahak, dia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Benar-benar sudah tidak ada yang tersisa. Kehancurannya dikuliti hidup-hidup, seolah dia tidak diijinkan lagi untuk bisa mendekat pada hal bernama kebahagiaan. Bahkan bukti yang dia dapatkan saat memergoki Nisara bercinta dengan Arseno hanya menjadi bumerang yang membuatnya semakin hancur. Tau-tau Arseno maju mendekat, mencengkeram lengan Ayuna dengan kuat. “Ikut aku! Kamu harus pergi dari sini!” Arseno menyeretnya kasar. “Lepas, bajingannn!” Ayuna berteriak, dan Arseno mengempaskan tangannya di depan lobi rumah sakit sambil bersedekap. Ayuna menatapnya penuh dendam, cintanya yang kemarin masih menggebu-gebu perlahan terkikis. “Tidak usah membuat drama dengan menjadi pihak yang paling tersakiti. Kamu yang selingkuh duluan dariku, Yuna. Dan Nisara selalu ada di sisiku untuk menghiburku, dia lebih mampu membuatku nyaman, ternyata semua yang kamu katakan tentang Nisara hanyalah omong kosong.” Dadaa Ayuna semakin berdenyut ngilu saat mendengar ucapan pria itu. Bisa-bisanya pria itu dengan ringan mengatakan Ayuna yang selingkuh lebih dulu! "Kamu menjijikan, bajingann!" Ayuna mendesis dengan kilat dendam yang semakin nyata. “Nisara wanita yang baik, dia selalu menyanjungmu dan mengatakan menyayangimu, sedangkan kamu sering mengeluhkan kelakuannya dan merasa sakit hati karena perbedaan kasih sayang orang tua kalian. Seharusnya sebagai saudara kamu harus paham dan lebih pengertian, orang tua kalian bersikap seperti itu memang sudah seharusnya, karena Nisara membutuhkannya.” Arseno terus menatapnya dengan tatapan penuh penghakiman, dia ingin melihat wanita itu terluka, sama hancurnya seperti Arseno yang melihat semua bukti-bukti perselingkuhan Ayuna. Rahang Ayuna mengeras mendengar tutur kata Arseno, padahal pria itu yang paling paham seluruh luka hati atas perlakuan keluarganya selama ini. “Harusnya kamu membantu mereka menjaga Nisara, bukan justru sibuk memupuk rasa iri kamu karena tidak diperhatikan oleh Mama dan Papa. Mama dan Papa juga pasti ingin menyayangi kamu, namun Nisara membutuhkan mereka lebih banyak dibanding kamu yang bisa apa-apa sendiri. Kamu terluka karena perasaan iri kamu sendiri yang terus dipupuk.” Arseno memang sengaja menyerang pada titik paling lemah yang dimiliki Ayuna selama ini, agar luka wanita itu semakin berdarah-darah. Agar wanita itu paham sesakit apa Arseno dikhianati olehnya. Mendengar cercaan itu Ayuna langsung menggigit bibir dengan air mata yang kembali mendesak ingin keluar. Padahal, sebelum Ayuna akhirnya menyadari perbedaan itu dan merasakan sakitnya, berulang kali dia telah menenangkan dirinya sendiri jika Papa dan Mama menyayanginya dan dia juga selalu berusaha menjadi anak yang baik. Menekan rasa iri dan luka yang ia derita karena perlakuan mereka, bukan hanya sebatas beda kasih sayang, tangan mereka pun begitu ringan memukulnya. Yang membuatnya bertanya-tanya, kenapa bentuk kasih sayang Mama dan Papa sangat berbeda? Kenapa hanya dia yang sering menerima pukulan? Sedangkan Nisara mendapat pelukan? Hingga beranjak dewasa dia perlahan mulai menyadari semuanya, jika selama ini bukan dirinya yang salah, namun mereka. Padahal Ayuna telah menceritakan semuanya pada Arseno, mulai dari titik penerimaan perlakuan orang tua dan saudaranya hingga sampai di titik dia menyadari semua itu salah. Dulu Arseno pun setuju dengan pendapatnya, dan meyakinkan Ayuna jika dia tidak bersalah dan dia adalah korban. Namun kini pria itu menghakiminya seolah hilang ingatan atas segala hal yang telah Ayuna ceritakan. “Kamu selama ini sibuk melihat dari sudut pandang kamu tanpa melihat dari sudut pandang mereka. Dan kejadian sekarang harusnya membuat kamu bisa lebih melihat kenyataan, hal kecil yang kamu besarkan itu membuat Nisara hampir meregang nyawa!” “Hal kecil?! Kalian bercinta di depan mataku kamu anggap hal kecil?!” Ayuna memekik dengan tatapan yang seolah siap mencekik Arseno saat itu juga. Plakk! Tangan Ayuna dengan sekuat tenaga langsung melayangkan tamparan di pipi Arseno, napasnya langsung memburu dengan kilat amarah yang mengerikan. Arseno mengusap pipinya yang terasa kebas, dia kembali menatap Ayuna dengan luka dan amarah yang sama-sama menganga lebar. “Sudahlah, kejadian tadi membuatku tau seperti apa topeng kamu sebenarnya, dan bagaimana Nisara yang tersiksa dengan keadaannya selama ini namun tetap menyayangi kamu di saat kamu membencinya. Kini aku tau siapa yang berhati tulus di sini.” Ayuna mendecih dan tertawa lagi. "Mana ada wanita berhati tulus tega bercinta dengan tunangan saudaranya sendiri?! Dia wanita murahaan dan berhati busuk! Sama seperti kamu!" Ayuna menatapnya dengan tatapan yang menghina, kali ini benar-benar menyesal telah membagi semua duka di hatinya pada pria yang kemarin masih dia anggap sebagai rumah tempatnya pulang. Dada Ayuna kini kembang kempis, dan Arseno terlihat sedikit tersentak saat tatapan wanita itu terlihat berubah. Bukan lagi tatapan yang dominan akan luka, namun sebuah amarah yang terbentuk karena rasa sakit dan berkembang menjadi tekad. “Aku yang membuang kamu, Arseno. Karena kamu pria murahan yang tidak bisa menjaga kemaluan kamu. Aku wanita suci dan terlalu berharga untuk menyerahkan hidup pada pria yang tidak bisa memegang martabatnya. Menjijikan.” Arseno yang mendengar itu langsung tertawa. "Kamu kira kamu wanita bermartabat, Ayuna? Kita satu sama. Jangan merasa paling suci hanya karena aku tidak memergoki perselingkuhan kamu langsung. Oke, mungkin kamu berselingkuh tidak sampai berhubungan badan, namun tetap saja, perselingkuhan yang kamu lakukan tetap tindakan yang hina dan menjijikan." Ayuna semakin tidak paham dengan bagaimana Arseno memiliki keyakinan sekuat itu jika Ayuna memang berselingkuh. Tangan pria itu hendak terulur untuk menyentuh wajah Ayuna dengan senyum sinis dengan tatapan yang penuh kendali. "Kamu tidak mungkin melepaskanku, Ayuna. Aku terlalu berharga untuk kamu lepaskan. Aku yang paling memahami kamu selama ini, aku yang menjadi rumah ternyaman untuk kamu selama ini." Pria itu menyeringai kecil sebelum melanjutkan, begitu yakin jika apa yang Ayuna katakan hanya omong kosong. "Pergilah sejenak. Tenangkan dirimu, aku akan memaafkanmu setelah ini. Perselingkuhan kamu, aku sudah memaafkan, kita bicara setelah perasaan kamu sudah lebih baik. Kamu tidak bisa hidup tanpaku, Ayuna. Kamu hanya akan lebih sengsara jika melepasku." Ayuna langsung menepis kasar tangan pria itu yang akan menyentuhnya, dadanya terasa semakin terbakar. Pria itu benar-benar membuatnya muak sampai ke ubun-ubun. "Apa kamu bilang? Memaafkan? Menenangkan diri? Sakit kamu, Sen! Kamu yang harus menenangkan diri supaya bisa waras, dan kamu yang harus meminta pengampunanku! Aku tidak sudi dan jijik melihat kamu! Aku bisa hidup dengan baik tanpa bajingann seperti kamu, sialann!" Ayuna menggeram dengan tangan yang terkepal dan siap menonjok wajah pria itu, namun kepalan tangannya hanya melayang di udara, digantikan dengan decakan keras. Sudah terlalu muak untuk meladeni pria itu. Ayuna lalu membalikkan badannya, meninggalkan rumah sakit dengan membawa segunung luka yang entah di mana obatnya. Pengkhianatan, tuduhan keji perselingkuhan, tamparan, dan semua luka yang menyertainya atas hari-hari yang telah lalu dia bungkus menjadi satu dengan air mata duka yang terus menyertai langkahnya. Untuk sesaat Ayuna merasa hilang arah, tidak tau di mana obat untuk semua luka-lukanya. Tatapannya terlihat linglung, sejak tadi dia hanya berjalan tanpa tujuan di antara hiruk pikuk jalanan dengan berbagai kendaraan yang melintas. Dia mencoba menyetop taksi, namun kepalanya justru berdenyut hebat dan pandangannya memburam. Langkahnya mulai lunglai dan dia tidak benar-benar paham ke mana arah dia harus berjalan. Hingga sebuah klakson panjang dengan decitan keras membuat tubuhnya membeku detik itu juga seolah lumpuh total. Yang Ayuna ingat, setelah klakson panjang itu tubuhnya terpental ke aspal, dengan sinar mobil yang begitu terang seiring dengan kepalanya yang semakin berdenyut hebat, juga bau anyir yang dia rasakan. Bibirnya yang pucat perlahan menyungging senyum, tangannya meraba-raba dadanya. Berdoa kepada Tuhan dengan kehancuran yang ingin dia adukan. "Aku memang merasa kematian lebih mudah untukku daripada sibuk mengejar bahagia yang terasa jauh dari genggamanku, tapi Tuhan, aku tidak ikhlas mereka bahagia di atas semua kehancuranku." Hatinya sibuk mengadu di tengah sisa-sisa kesadaran yang perlahan merenggutnya. "Jika memang ajalku sudah dekat, tolong ubah takdirku dan berikan aku kehidupan kedua. Aku akan kembali sebagai wanita yang tidak memiliki hati dan akan menghancurkan mereka semua. Tolong, Tuhan. Aku harus hidup untuk mengobati segala luka ini dengan melihat kehancuran mereka." Detik itu kepalanya mendenging hebat, seiring dengan tangannya yang terkulai lemas dan bau anyir darah yang semakin menyengat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD