Chapter 3

1502 Words
Pagi ini aku bangun dengan kaki yang sakit. Heels yang kupakai tadi malam cukup melukai kakiku hingga kulitnya sedikit lecet. Begitu besarnya pengorbananku hanya untuk menjadi asisten pribadi Madam. Aku keluar dari kamar dan langsung mendapatkan tatapan-tapapan aneh dari maid yang lainnya. Aku berusaha tidak peduli dan duduk disalah satu kursi makan. Aku mengambil sarapan dari mangkok besar berisi bubur, dengan tenang aku mulai makan. "Dia, bukan?" "Iya." "Aku tidak percaya dia dapat masuk ke pesta itu, sudah kuduga ada yang tidak beres dengannya." "Kukira dia orang yang baik, ternyata aku salah." "Benar-benar gold digger!" Aku mendengar semua bisikan itu yang mana di layangkan padaku tentunya, karena hanya ada aku dan Diane didalam pesta itu. Aku tidak menyangka Diane akan selicik ini dengan memberitahu maid lainnya tanpa memberitahu kebenaran yang aku katakan semalam. Setelah selesai sarapan, aku segera membawa piringku kewastafel dan mencucinya langsung. Tatapan menusuk terasa di punggungku, hinaan juga terasa di telingaku. Sebegitu bencinya mereka denganku. Aku langsung pergi ke kamar saat setelah mencuci piring, dengan cepat aku memakai baju maidku. Aku menatap wajahku dikaca, princes tadi malam sudah hilang dan yang tinggal hanyalah upik abu. Aku membuka laciku dan mengambil lipstik yang kusimpan di antara buku. Aku memakainya sedikit, karena aku takut ketahuan dan kena hukuman nantinya. Dengan lipstik ini kuharap aku tidak terlalu buruk. Terdengar bunyi langkah kaki di depan kamarku, artinya mereka sudah mulai pergi ke rumah utama. Aku masih menunggu sampai mereka semua pergi dan aku akan datang terakhir. Saat tidak lagi terdengar suara, aku langsung keluar dari kamar dan tanpa sengaja berpapasan dengan Diane. Ia tidak menatapku, ia melewatiku begitu saja seolah aku tidak ada. Aku tidak begitu peduli juga padanya lalu berjalan menyusul lainnya yang sudah berada dirumah utama. Aku memasuki dapur, jalan utama bagi para Maid untuk masuk kerumah utama ini. Aku mengambil apron putihku lalu melilitnya di pinggangku. Tiba-tiba Diane datang dari belakangku lalu menyenggol bahuku, seolah aku menghalangnya untuk jalan. Aku menghela napas, tidak suka dengan suasana saat ini. "Kayla! Kau dipanggil Madam ke ruangannya," kata salah satu maid. Semua orang tiba-tiba menatapku dan mulai berbisik kembali. Tidak terkecuali Diane yang kini menatapku sinis. Berada disini bersama mereka terasa sangat gila. "Terima kasih," balasku untuk siapapun yang memberitahuku. Aku berjalan melewati mereka dan langsung ke ruangan madam. Aku mengetuk pintu dahulu, setelah dengar suara yang menyaut barulah aku masuk. "Pagi, Madam," sapaku. Aku dapat melihat madam terlihat lebih bercahaya dari sebelumnya. Wanita itu tidak berhenti tersenyum lebar seolah memenangkan jackpot bernilai milyaran. "Kayla, aku ada berita bagus untukmu!" pekik madam antusias. Madam terlihat tidak sabar untuk memberitahuku. "Apa itu madam?" tanyaku. "Kau naik pangkat menjadi asisten pribadiku! Selamat Kayla!" Madam terlihat sangat senang sedangkan aku merasa bimbang. Ikut dalam pesta tadi malam saja sudah membuatku digosipkan apalagi jika mereka mendengar hal ini. "Apa kau yakin memilihku, Madam? Kurasa masih banyak maid lain yang mungkin lebih baik dariku, seperti Diane." Tolakku halus. Madam mengernyit, membuat kerutan berada di dahi indahnya. "Aku menginginkanmu, Kayla. Aku tidak ingin yang lainnya maupun itu Diane, aku memilihmu." "Tapi kau ta---" Madam memotong perkataanku. "Kayla, aku tidak menerima penolakkan. Mulai sekarang kau akan tinggal dirumah utama, kau tidak akan lagi berlama-lama didapur. Kau yang akan melayani keluargaku." "Aku?" tanyaku tidak percaya. "Tentu saja kau, Kayla poter." Aku menunjukkan wajah tidak yakinku. Madam tertawa melihat reaksiku. "Sekarang cepat pindahkan barangmu ke kamar barumu, aku ingin kau segera melayaniku, nanti." Aku masih terdiam. Otakku terlalu kaku untuk menerima semua hal yang madam katakan. "Kayla, hurry!" setelah berkata seperti itu, aku dibawa keluar ruangannya dan ditinggalkan begitu saja. Aku mencoba tersadar dan pergi kekamarku dipaviliun untuk mengambil barang-barangku. Nothing special, hanya baju-baju dan dokumenku yang harus kubawa, tidak lupa dengan lisptik tadi. Dengan cepat aku membawa barang-barangku ke dalam kamar baruku. Bisa dibilang kamar ini sangat berbeda dengan kamar yang berada di paviliun. Kamar ini lebih indah dan seperti kamar usia remaja dengan warna serba putih dan abu-abu. Kasur yang kudapatkan kali ini sangat empuk dan harum, aku tidak menyangka akan semenyenangkan ini mendapat kamar baru. Tok! Tok! Aku segera membuka pintu dan mendapatkan Madam yang mengetuknya. Ia membawa sesuatu di tangannya. "Bagaimana?" tanya Madam saat ia sudah masuk kedalam kamarku. "Nyaman sekali." Aku tidak dapat menahan senyum yang timbul dari bibirku. Madam membalas dengan ikut tersenyum. "Senang mendengarnya, Kayla." "Ini." Ia menyerahkan benda yang sedari tadi berada di genggamannya. "Apa ini, Madam?" Madam tersenyum rahasia. "Buka saja," suruhnya. Aku membuka plastik yang membungkus sesuatu didalamnya dan saat sudah terlepas aku menatap tidak percaya pada apa yang ada di genggamanku. Baju maid bewarna sama dengan yang kupakai saat ini namun terlihat lebih indah dan potongan yang rendah. Sangat indah sekali. "Kau harus mencobanya sekarang juga, aku tidak sabar melihatmu memakai itu." Aku mengangguk lalu beralih ke dalam kamar mandi yang berada di kamar ini. Ini benar-benar gila, saat kupakai baju itu dan terasa sangat nyaman. Aku mendapatkan baju maid bewarna hitam dengan apron yang sudah terpasang di bagian roknya, sehingga aku tidak harus repot-repot memasang dan melepasnya. Roknya berpotongan rendah diatas lututku sedikit dan mengembang yang memudahkanku berjalan, juga lengannya pendek batas sikuku dengan brenda putih sehingga aku tidak harus menggulungnya lagi. Tidak sabar untuk menunjukkannya pada Madam. Aku keluar dari kamar mandi dan membiarkan Madam melihatku. Ia tersenyum lebar sebagai reaksinya. "Sudah kuduga, pasti cantik di pakai olehmu," pujinya. "Terima kasih, Madam. Aku merasa mendapatkan baju baru oleh ibuku," lirihku teringat dengan ibu. "Oh, Kayla. Jangan bersedih," katanya lalu memelukku. Aku balas memeluknya lalu mengusap air mata yang keluar dari sudut mataku. "Aku sangat berterima kasih padamu Madam," kataku tulus dari hatiku. "Tidak apa-apa. Lebih baik kau bersiap karena wanita yang berada di depanmu sedang kelaparan." Aku tertawa mendengarnya, ia berusaha melucu untuk menghiburku. "Baiklah, Madam. Kau bisa menunggu di meja makan, aku akan melayanimu dengan sepenuh hati." tidak lupa aku memberikannya senyum lebarku. Madam menepuk pundakku sebelum pergi dari kamarku. Aku berkaca sebentar untuk melihat bagaimana baju ini di tubuhku. Kau tahu, ini sangat luar biasa, aku beruntung mempunyai kulit tan sehingga tubuhku terlihat lebih eksotis. Aku langsung pergi ke dapur, mengambil beberapa makanan dan menatanya di meja makan. Aku berpapasan dengan Diane yang juga menata makanan, ia menatap bajuku kesal. "Kayla, apa yang sedang kau kenakan?" tanya Diane dengan nada membentak. "Madam memberiku baju ini." "Apa maksudmu? Madam tidak mungkin memberikanmu baju itu." Aku tidak tahu membalas perkataannya dengan apa karena ia tidak terima dengan apapun yang kukatakan. "Kenapa kau tidak bertanya pada Madam?" akhirnya itulah yang terlontar dari bibirku. Diane mendengus lalu berjalan sembari menyenggol bahuku dengan sengaja. Aku heran, di usianya yang tidak muda lagi jiwa irinya masih melekat padanya. Aku kembali mengambil makanan di dapur dan kembali untuk menatanya. Madam sudah berada di sana, begitu pula dengan Diane. Sesekali Diane menatapku sinis, aku bahkan dapat merasakannya setiap ia memberiku tatapan anehnya. Setelah selesai menata, Diane berdiri di samping Madam. "Maaf Madam, bolehkan saya bertanya sesuatu?" pinta Diane dan aku tidak akan beranjak dari tempatku berdiri sebelum mendengar kata-kata yang akan dilontarkan Diane. Madam mengangguk, mengiyakan. "Apakah pantas Kayla memakai baju maid seperti itu, sedangkan ia hanyalah maid biasa. Bagaimana jika maid lainnya cemburu, Madam?" tanya Diane dan aku tidak percaya dia benar-benar menanyakan hal itu. Madam mengangguk sebelum menjelaskan, "Aku memang memberinya baju itu, Diane. Dan tenang saja, para maid tak akan cemburu karena Kayla sudah menjadi asisten pribadiku sekarang dan bukan lagi maid biasa." Aku dapat melihat wajah terkejut Diane, ia pasti tidak percaya apa yang di dengarnya dan berakhir tidak terima. Inilah kenapa aku mulai benci denganya, terlalu egois. "Dan ia akan tinggal di rumah utama," tambah Madam, membuat Diane menggeleng tidak percaya. "Tapi Madam, tidak ada sejarahnya maid tinggal di rumah utama dalam keluarga ini bahkan kepala maid masih tinggal di paviliun." "Diane, Kayla berbeda, ia bukan maid biasa tapi maid pribadiku. Bebas untukku membiarkannya untuk tinggal dimana saja." "Apa kau majikannya disini?" tanya Madam yang nembuat Diane terdiam dan menggeleng lemah. "Kalau begitu bangunkan tuan muda," perintah Madam. Diane mengangguk lalu pergi menaati perintah majikannya. Aku juga hendak pergi namun ditahan oleh Madam. "Kau tetap disini, Kayla. Kau asisten pribadiku." Aku mengangguk dan berdiri disamping Madam sampai pintu kembali terbuka dan tiga pangeran memasuki ruangan dengan wajah bantal mereka, keluarga Collins memang luar biasa. Apa yang harus kulakukan jika aku terpana dengan mereka bertiga.  "Pagi, Mom dan err... Kayla?" tanya Nathan menatapku. Aku mengangguk. "Pagi, tuan Nathan." "Mom aku tidak percaya kita punya barbie sepertinya di rumah ini," seru Nathan terus menatapku, ia sangat antusias. "Pagi, Kayla!" sapa Sebastian, ia sangat riang seperti anak-anak. "Pagi, tuan Sebastian," balasku. "Pagi, Kayla." Refleks aku menjawab, "Pagi, tuan... Tuan..." ah! aku tidak tahu namanya. Madam menatapku. "Kau belum berkenalan dengannya, Kayla?" tanya Madam. "Aku sudah bertemu dengannya tadi malam, Madam. Tapi aku tidak tahu ia adalah tuan muda." Madam berbalik menatap putranya. "Kenapa kau tidak memberitahunya namamu?" Pria itu tersenyum, terlalu manis. "Aku lupa, Mom."  ia berhenti sejenak lalu menatapku dengan mata tajam seksinya. Ia dapat membuatku berlutut padanya dengan tatapannya. "Aku Seande, kau bisa memanggilku Sean." Aku tersenyum semanis mungkin. "Selamat pagi, tuan Sean." "Kau tidak mengucapkan selamat, hanya pagi saja padaku, Kayla," Sebastian terlihat tidak terima dan begitu menggemaskan. "Maafkan aku, Tuan. Akan kuulangi. Selamat pagi, Tuan sebastian." Sebastian terlihat puas dan tidak berkomentar lagi sedangkan Nathan sedari tadi menatapku intens. Aku merasa panas ditatap seperti  itu olehnya. "Kayla, bisakah kau mengisi gelasku?" pinta Sean tiba-tiba dan dengan sigap aku mengisi gelasnya dengan poci yang berada di tanganku. Saat mengisi gelas itu aku sedikit menunduk dan tiba-tiba saja Sean bernapas hangat di leherku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD