Chapter 2

1258 Words
Sudah dua jam lamanya Devan menunggu anak-anak berlatih, sambil membaca artikel di ponsel miliknya. Tapi ia tampak tidak nyaman, dengan tatapan seorang wanita yang semenjak tadi terlihat terus mengawasinya. "Ehm ... maaf, bolehkah saya duduk disini ?" Sapa si wanita yang mendapat anggukan dari Devan. "Menunggu anak-anak ?" tanya si wanita, ambigu. Yang hanya dijawab Devan dengan anggukan tanpa jawaban. "Saya sedang menunggu keponakan. Saya baru disini, sehingga tidak ada yang saya kenal. Kebetulan melihat anda, jadi saya menghampiri, Pak Devan," ucap si wanita yang membuat Devan menoleh, karena si wanita mengenalnya. "Hehe ... jangan kaget begitu, saya tahu anda , karena saya sering membaca majalah bisnis. Foto anda sering nampang," jawab si wanita dengan cengiran. Karena tidak menyangka bisa berjumpa langsung dengan pemilik nama Devan Ardhya Danendra tersebut. Devan hanya mengangguk tanpa berniat membahas apa yang disampaikan si wanita. Toh ia tidak mengenalnya. "Wow ... benar gosip yang beredar, anda sedingin kulkas, tapi saya suka itu." Si wanita terus saja mengoceh dengan Devan yang terlihat acuh. "Hmm ... jika tidak ada yang penting, bisakah anda diam ? saya tidak suka memulai obrolan dengan orang yang tidak saya kenal." Ucapan Devan membuat si wanita sedikit kaget, tapi hanya sepersekian detik. Karena ia mulai tersenyum kembali. "Oya, perkenalkan, saya Lala, kebetulan saya yang akan terlibat dalam proyek yang sedang dikerjakan Danendra Group," ucap si wanita sambil mengulurkan tangan pada Devan. "Hmmm ... baiklah, selamat bekerja, semoga tidak ada hambatan." Devan mengulurkan tangan menyalami Lala yang ternyata anak dari rekanan kerja Danendra Group. "Hahaha .... senang bisa melihat wajah ramah pak Devan, setelah sempat jutek," ucap Lala sambil tersenyum. Benar-benar wanita yang gigih dan pantang menyerah. "Papi." Tiba-tiba Ray berlari kecil dan langsung memeluk Devan, disusul Ryu, Erlang serta Hanna. Seorang bocah perempuan, dengan tampang jutek juga ikut mendekati mereka dan berjalan ke arah wanita yang bernama Lala. Ia duduk di samping Lala, tanpa berucap sepatah katapun, hanya mengambil air minum dan meminumnya. Tatapannya terlihat kesal ke arah Ray. Devan dapat menangkap itu, tapi entah mengapa ? ia tidak tahu. Mungkin masalah latihan, batin Devan menerka. "Ibu dimana ?" tanya Ryu yang melihat Ibunya belum nongol juga. "Mungkin lagi asyik dengan hobinya. Biasa, Ibu kan suka begitu," ucap Devan diiringi tawa kecil anak -anak. "Eh .... ini putra-putranya, ya ?" tiba-tiba saja, Lala yang merasa dicuekin mulai nyeletuk lagi. "Iya, ini putra dan keponakan saya," jawab Devan sekedarnya. "Ohw.... kalau ini, keponakan cantik saya, namanya Rara." lala tanpa ditanya memperkenalkan keponakannya yang hanya diam saja tidak menanggapi tantenya yang sedang puber, kali ya. Devan akhirnya berpamitan, karena malas untuk melanjutkan basa-basi yang tidak berarti. "Hmmm .... kalau ada yang tersisa kayak Pak Devan, sisakan aku satu ya Tuhan," gumam Lala sambil menatap punggung Devan yang menjauh, diiringi gelengan dari Rara. "Tante ....Tante ..., makanya, jangan cerewet kayak petasan, cowok-cowok pada ngeri mau deketin Tante," ucap Rara yang dibalas wajah manyun Lala. "Tapi ... pingin nyoba dekati pak Devan, siapa tahu berhadiah," jawab Lala lagi sambil nyengir. "Jangan mulai lagi deh, Tante ... senang banget sama suami orang." Rara yang masih kecil sampai hafal bagaimana Tantenya. Mereka akhirnya pulang, setelah beberapa saat duduk sambil bercerita. Kembali pada Arini yang sudah dua jam ditinggal, dan sekarang sedang asyik duduk sambil menikmati es cream yang sudah cup ke tiga. Setelah mendapatkan buku yang dicarinya. Niat menghubungi Devan gagal, karena ponselnya ternyata tertinggal di rumah. Padahal tadi ia yakin sekali jika sudah memasukkan alat komunikasi itu ke dalam tas nya. "Hadeh ...bagaimana aku bisa meninggalkannya ? padahal tadi beneran sudah dimasukan ke dalam tas," gumam Arini kesal sambil menikmati es cream yang tinggal sedikit. Pasti setelah ini, Devan dan anak-anak akan mulai meledeknya karena benda penting bisa ditinggalkannya. "Ahhh .... penting apanya, lebih penting disayang si abang es batu," gumam Arini lagi sambil tersenyum kecil mengingat suami tampannya tersebut. "Kakak kenapa senyum-senyum sendiri begitu ? apa ada yang lucu ?" Tanya Drupadi melihat Arini yang senyum-senyum sendiri sedari tadi. "Hahaha .... iya, aku enggak bawa ponsel, pasti nanti diledekin sama bos mu itu," ucap Arini menjawab pertanyaan Drupadi, si gadis androgini. Tidak berapa lama, tampak Devan dan anak-anak telah tiba. "Sayang ... kenapa enggak angkat telepon ?" tanya Devan yang dibalas cengiran Rini. "Ibu pasti lupa bawa ponsel, 'kan ?bisa ketebak." Bukannya jawaban dari Rini tapi Ray yang duluan nyeletuk. Sedangkan yang dibicarakan malah nyengir sambil memainkan mata jenaka pada suaminya. "Kalau enggak ada Kak Dru, pasti sudah tersesat." Lanjut Ryu membuat Rini makin tersenyum lebar. "Idih ...kalian berdua ini, suka sekali ledekin Ibu. Kalau Ibu punya anak cewek, pasti enggak ledekin Ibu." Rini tertawa sambil memeluk Hanna yang ikutan tertawa kecil. Devan menarik nafas melihat Arini yang saat ini memeluk Hanna dengan sayang. Bukan masalah ponsel yang tertinggal, tapi Devan fokus pada ucapan Arini. Istrinya itu benar-benar menginginkan memiliki bayi perempuan. Tapi dirinya yang belum siap jika harus melihat Rini kesakitan. Sedangkan untuk operasi caesar, Rini keberatan. Benar-benar dilema. Setelah puas berjalan-jalan, mereka akhirnya kembali ke rumah. Erlang dan Hanna belum dijemput sehingga menghabiskan hari di rumah Neneknya yang getol sekali menggoda cucu-cucunya. Devan pergi bersama Dru, entah kemana. Yang Arini tahu, itu adalah urusan pekerjaan. Rini sedang membereskan kamar, ia membawa barang yang tidak dipakai tapi masih bagus, ke gudang belakang. Sebenarnya Rini ragu untuk masuk, mengingat ia pernah pingsan. Tapi itu 'kan dulu, sudah lama berlalu, batin Arini lalu segera masuk ke dalam dan menyalakan lampu. Ia sudah meminta pada tukang untuk mengganti lampu dan memastikan lampu tidak padam tiba-tiba. Saat sedang asyik menata barang-barang tiba-tiba lampu padam. Arini benar-benar bingung. Ia berjalan perlahan, sambil memegang apa yang bisa diraih. "Tolong !" teriak Arini dengan suara tercekat. Sepertinya hari ini terjadi lagi, sesuatu benda jatuh dan menimpa kepalanya. Sepertinya buku yang cukup tebal, tidak terlalu sakit, tapi karena kaget, Arini langsung pingsan dengan nafas yang tidak teratur. Bibi yang ikut membantu Arini, masuk ke dalam gudang karena mendengar suara. Melihat Gudang yang gelap, membuatnya was-was, teringat apa yang pernah dialami Arini. "Rini ...," panggil Bibi yang tidak mendapat jawaban. Bibi keluar lagi untuk mengambil senter, lalu kembali ke gudang. Saat lampu senter menyala, betapa kagetnya Bibi, melihat Arini yang saat ini pingsan. Bibi dengan cepat meminta tolong pada supir dan juga tukang kebun untuk membawa Arini ke kamar. Mami Mila tampak shock melihat menantunya. Tidak terkecuali si kembar yang terlihat memeluk Arini. Papi dengan cepat memerintahkan supir untuk mengangkat Arini ke mobil. Mereka akan ke Rumah Sakit. Mami benar-benar khawatir. Saat di Rumah sakit, Arini diperiksa secara menyeluruh, tidak ada masalah, hanya shock saja karena berada di dalam tempat yang gelap dan baginya itu terasa sangat sempit. claustrophobia tepatnya. Untuk kepala, tidak ada masalah, benturan yang dialami Arini ringan, sehingga tidak mempengaruhi apapun. Devan tiba setelah dikabari oleh Mami. Tampak sekali raut khawatir di wajahnya. Tampak Arini sudah sadar dan melihat sekeliling. "Bik ....," lirih Arini memanggil Bik Sumi. Tapi Bik Sumi tidak ikut ke Rumah Sakit. "Sayang ... kamu sudah sadar ? apa kepalamu sakit ?" tanya Devan sambil memegang tangan Arini. Tapi dengan kasar Arini menepis tangan Devan, sambil mengernyitkan keningnya bingung. "Ayah Mana ? 'kan Ayah yang sakit, kenapa jadi aku yang dirawat ? Bik Sumi mana ?" tanya Arini, membuat Devan, Mami dan Papi saling pandang. Arini lalu menatap sengit ke arah Devan. "Bapak kenapa belum pulang ke kota ! 'kan kemarin saya sudah bilang, kalau saya enggak mau nikah sama Bapak ! nanti saya bujuk Ayah buat batalin !" Lagi-lagi mereka melongo, heran akan ucapan Arini. Jangan -jangan ? ******** kiss jauh dari Author. jangan lupa tinggalkan komen yang banyak ya. 100 komen langsung lanjut lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD