Ch.03 Semua Bekas

1350 Words
Xavion meregangkan tangan ke atas. Sekujur tubuh dirasa sangat lelah setelah seharian menghdiri dua persidangan dan tiga rapat bersama para petinggi di gedung kehakiman untuk tiga urusan yang berbeda. Mengusap tengkuk, lalu ia menekuk leher ke kanan dan ke kiri. Melemaskan urat serta otot. Memandang jam tangan, sudah pukul sebelas malam. Waktunya untuk pulang. Cukup bekerja hari ini, saatnya mendatangi ranjang di rumah. “Aaah, f**k! Aku benar-benar lupa!” desisnya saat mengangkat ponsel dan melihat sebuah chat dari wanita bernama Pixie. [Lain kalau kalau memang tidak bisa datang tolong kabari aku, ya? Aku seperti orang t***l menantimu sendiri di sini.] Xavion mengurut kening. Bagaimana mungkin dia lupa ada janji untuk bertemu di pub dengan wanita seseksi dan secantik Pixie. Apalagi, ketika mereka berada di atas ranjang maka seisi dunia adalah tempat yang jauh lebih baik. “Aku harus membelikannya barang mahal besok supaya dia mau memaafkanku. s**t, aku ingin merasakan goyangannya kembali di atas tubuhku besok malam!” kekeh Xavion sangat yakin hadiah darinya akan membuat keadaan lebih baik. Bukan, Pixie bukanlah kekasihnya. Dia tidak punya keterikatan dengan siapa pun. Wanita hanyalah tempat untuk melepaskan hasrat terpendam serta lahar hangat dari dalam tubuh. Memiliki kekasih hanya membuang waktu, tenaga, serta pikiran. Dan yang lebih penting lagi, membuang uang. Lebih baik membeli satu barang branded untuk wanita yang berbeda-beda daripada harus menghabiskan uang untuk satu wanita yang sama. Prinsip yang aneh, tetapi begitulah Xavion. Ia merapikan berbagai barang pribadi, memasukkan ke dalam tas kerjanya, kemudian melangkah keluar. Saat hendak memasuki ruangan depan tempat timnya biasa bekerja, terlihat ada sebuah lampu masih menyala. ‘Siapa yang belum pulang di jam selarut ini?” tanyanya dalam hati. Seorang wanita terlihat sedang mengetik di depan layar komputer. Sesekali jemari menyugar rambut panjang ke belakang dan mengembus kasar. “Kenapa kamu belum pulang?” “Oh, my God!” Hanae berteriak terkejut saat mendengar suara Xavion hingga tanpa sengaja menyenggol gelas di sebelah tangannya. Dalam satu hari, sudah dua kali ia menumpahkan minuman ke atas lantai. Sang Prosecutor menggeleng jengah, mengembus kasar, dan membentak jengkel. “Ada apa denganmu? Kenapa bisa seceroboh itu! Bagaimana kalau airnya mengenai berkas penting!” “Kamu katanya sedang magang? Dari fakultas hukum universitas mana, hah! Aku tidak mengerti kenapa wanita seceroboh kamu bisa kuliah!” Omelan Xavion tidak dijawab oleh Hana. Dia cepat mengambil tissue dan mengelap mejanya, kemudian mengelap lantai yang basah. Untung saja gelasnya terbuat dari plastik sehingga tidak pecah. “Kenapa kamu belum pulang? Ini sudah jam sebelas malam! Apa kamu berencana tidur di kantor, hah?” desis Xavion bersiap melangkah pergi. Hanae menghela letih, “Nona Fanty memberikan saya tugas yang sangat banyak. Katanya semua data ini harus masuk di dalam komputer besok pagi karena akan digunakan oleh pengadilan.” Jarinya yang basah menunjuk setumpuk file yang masih terlihat sangat banyak. “Saya sudah mengerjakan separuhnya sejak jam 11 siang dan masih belum selesai. Padahal, saya tidak makan siang sama sekali untuk menghemat waktu.” “Kamu tidak makan mulai siang hingga sekarang gara-gara mengerjakan tugas dari Fanty?” Kening Xavion mengernyit dan matanya memicing tak percaya. Iya, dia tidak percaya kenapa bisa ada orang sebodoh Hanae yang mau saja dikerjai habis-habisan oleh senior. Ia melangkah mendekati meja pekerja magang yang culun dan berbusana sangat tidak stylish di mata semua orang. Satu buah berkas diambil, lalu membantingnya ke atas meja. Satu hentakkan yang membuat Hanae sampai melompat terkejut dan terengah. “Buka file itu dan lihat tanggal kasusnya!” desis Xavion ingin menyentil kepala karyawan barunya supaya segera tersadar. Hanae mengangguk, lalu memabacanya dengan suara bergetar. “27 Mei 2015.” “Sekarang tahun berapa?” “2025?” “Berarti itu file berapa tahun lalu?” “10 tahun lalu.” “Kalau itu file 10 tahun lalu, kenapa semua harus dimasukkan ke dalam komputer untuk digunakan besok pagi di pengadilan, hah!” kesal Xavion kembali melempar satu buah file ke atas meja Hanae. Sadar kalau telah dikerjai dan dibodohi, Hanae menunduk. Ia tidak menjawab apa-apa. Bibir dikulum ke dalam menahan sebuah emosi yang tengah membungkus sekujur batin perihnya. Xavion menggeleng jengah seraya berkata, “Jadi orang itu yang pintar! Aku tidak suka punya karyawan bodoh meski dia hanya sekadar magang! Mengerti?” Tak ada suara, Hanae hanya mengangguk. Merasa perbincangan mereka sudah cukup, Xavion segera melangkah keluar. “Jangan lupa matikan komputer dan lampu setelah selesai! Aku tidak mau bagian umum memarahiku lagi karena masalah komputer dan lampu yang tidak dimatikan selesai bekerja!” Tetap tak ada suara, Hanae lagi-lagi mengangguk dalam diam. Setelah bosnya keluar dari ruangan, barulah ia mulai bersuara. Bukan berkata apa-apa, hanya terisak. Sedih karena sampai jam sebelas malam ternyata hanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna. Sedih karena sejak di bangku sekolah hingga bekerja diri selalu mengalami perundungan akibat tidak berasal dari keluarga terhormat. Lebih dari itu, dia tidak punya keluarga sama sekali. Hanya anak panti asuhan yang pintar hingga selalu mendapat beasiswa berjenjang. Hanya anak sebatang kara yang mencoba mencari tempatnya sendiri di dunia. *** Mengusap air matanya, Hanae mematikan komputer dan lampu seperti perintah jaksa tampan yang menjadi bosnya. Jangan salah, di mata Hanae memang Xavion sangat tampan. Hanya wanita buta yang mengatakan lelaki itu biasa saja. Akan tetapi, dia sama sekali tidak ada pikiran apa pun terhadap Tuan Muda Young. Tidak berani meski hanya berkhayal. Padahal, tidak ada yang melarang untuk berkhayal. Ia mengambil tas lusuh yang juga merupakan bekas pakai alias sumbangan pada panti asuhan. Bahkan, di bagian ujungnya sudah sedikit bolong. Tak mengapa, dia tidak memiliki tas lain. Keluar dari ruang kerja di lantai dua, langsung menuruni tangga menuju lantai satu. Sesekali menganggukkan kepala dan melempar senyum pada security yang tengah patroli. Udara dingin kota Los Angeles sontak menyapa begitu ia menginjakkan kaki keluar dari gedung kehakiman. Angin menerpa rambut panjangnya hingga berikibar ke arah belakang. Dua lengan ia peluk sendiri sementara kaki terus melangkah menuju halte bus yang terletak sekitar 100 meter di sisi kanan bangunan megah dan besar tempatnya bekerja. Hanae yang bodoh. Bisa-bisanya dia tidak membawa jaket apa pun untuk melindungi diri dari dinginnya malam. Apalagi, semua pakaian yang dia kenakan adalah pakaian bekas hingga bahannya sudah tipis pula. Duduk di kursi halte bus, mata lelahnya menatap sekitar. Berharap sebuah bus segera datang dan ia bisa cepat pulang. Bayangan ranjang di kamar sungguh membuatnya tak sabar untuk cepat memeluk bantal. Sayangnya, saat sedang memandangi sekitar, ia bisa melihat lima orang pemuda dengan pakaian serba hitam seperti anak punk mendekati halte tempatnya duduk. Perasaan langsung tidak enak dan mencekam. Maka, ia pun bangkit dari kursi tersebut dan hendak kembali menuju gedung kehakiman saja. Paling tidak, di sana ada security yang bisa membantunya. Suara tawa pemuda liar terdengar di telinga Hanae di mana mereka mulai meneriakkan kata-kata tidak senonoh. Beberapa dari lelaki itu mengatakan ingin menyetubuhinya detik itu juga. ‘Ya, Tuhan! Apakah tidak bisa Engkau berikan satu saja kebaikan padaku di hari ini? Kenapa aku sungguh sial hari ini! Aku tidak boleh sampai tertangkap oleh me—‘ Dan bahkan doanya saja tidak bisa ia selesaikan saking sialnya! Kedua lengan sudah dicengkeram kencang oleh tiga lelaki sementara dua pria lain mulai menggerayangi tubuhnya. Tanpa ragu meremas d**a dan menelisik masuk ke balik rok span selutut yang ia kenakan. “Lepaskan aku! Toloong! Tolooong!” teriak Hanae memberontak, tetapi ia sudah dikepung lima lelaki dan bagaimana mungkin bisa lepas dari cengkeraman itu. Yang terjadi sekarang justru mulutnya dibekap dari belakang dan ia bisa merasa tubuh ditarik menjauh dari gedung kehakiman. Melewati halte tempatnya tadi menunggu bus, air mata Hanae meleleh tak terbendung. Apakah malam ini dia harus kehilangan kesuciannya! Tak ada satu pun lelaki pernah menyentuh tubuh terdalamnya selama ini! Apakah malam ini semua itu akan berakhir? Apakah malam ini akhirnya dia disentuh langsung oleh lima lelaki sekaligus dalam cara yang sangat pilu dan menjijikkan! Berbagai pertanyaan menyedihkan menggema di benak sang wanita. Isaknya tersengal mengira diri sudah pasti akan dirudapaksa setelah ini. Akan tetapi .... Sebuah Bentley hitam mendadak berhenti di pinggir jalan. Seorang lelaki tinggi besar keluar dari dalam sambil menodongkan senjata api pada kelima lelaki yang sedang menggeret Hanae. “Lepaskan karyawan magangku atau kuledakkan kepala kalian semua!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD