Ch.04 Ada yang Tidak Tega

1802 Words
Hanae meronta sekencang yang ia bisa meski tubuh dicengkeram oleh lima lelaki kampungan yang ingin menodainya. Sudah lelah bekerja 12 jam tanpa makan siang, tanpa makan malam, di penghujung hari justru ia hendak dinodai. Wanita berusia 22 tahun itu masih suci. Hidup di panti asuhan dan memakai berbagai barang bekas dari sumbangan membuat tak ada lelaki ingin mendekatinya. Tidak usah lelaki, wanita saja enggan bersahabat dengannya. Sejak dulu dia hanya berkawan dengan diri sendiri, fokus pada pendidikan beasiswa dan mencoba mengubah nasibnya tanpa bergantung pada siapa pun. Jeritannya sudah dibungkam, jari-jari kotor sudah mulai memasuki balik rok spannya. Ia terus diseret, digeret, dan dijambak paksa menuju pojok jalan yang gelap. Tepat sebelum para lelaki biadab itu menghilang di belokan jalan menuju gang sempit tempat mereka berniat melancarkan aksi mesumnya .... Sebuah Bentley berwarna hitam legam mendekat. Bunyi ban berdecit mencakar aspal terdengar akibat rem yang diinjak sangat dalam. Deru kendaraan mewah terdengar di sisi jalan, bersamaan dengan seorang lelaki turun. Mengenakan longcoat panjang berbahan kulit berwarna hitam legam, tubuh tinggi gagah mengangkat lengan. Sebuah Revolver yang sudah terkokang siap melesakkan peluru ada di genggaman. Lelaki itu berteriak lantang, “Lepaskan karyawan magangku atau kuledakkan kepala kalian!” Lima pemuda berandalan tengik terkejut melihat seorang pria dewasa sedang menghunus senjata api ke arah mereka. Tak mau mengambil resiko, mereka langsung melepaskan Hanae dan lari tunggang-langgang. Begitu dilepaskan, tubuh Hanae yang sudah lemas tak bertenaga sontak tersungkur ke atas jalanan. Ia bersimpuh sambil bernapas memburu. Lelehan air mata berderai seiring isak mulai meluncur keluar dari bibirnya yang masih gemetaran. Wajah lusuh tertunduk, tak berani menatap lelaki yang barusan menyelamatkan nyawanya. “Apa kamu t***l? Kenapa sudah semalam ini masih menunggu bus? Apa kamu tidak tahu kalau daerah ini rawan perampokan dan tindak kejahatan lainnya, hah!” bentak Xavion. Jaksa tampan itu tidak paham kenapa bisa ada seorang wanita yang menurutnya bagai alien, makhluk asing! Hanae seolah tak tahu apa pun mulai dari pekerjaan hingga cara yang aman untuk pulang. “Kamu seharusnya naik taksi saja!” lanjut sang lelaki berkacak pinggang sambil membentak sekali lagi. “Mau apa lama-lama duduk di atas jalan? Bangun! Pulang sana!” Hanae mengangguk, lalu menghapus air matanya meski masih terus mengalir. Sambil sesenggukan, ia menapakkan dua telapak tangan di atas trotoar, mencoba bangkit walau sekujur tubuh sangat lemah. Tenaganya habis untuk melawan para berandalan. Meskipun demikian, ia berusaha berdiri tegak. Dengan kaki gemetaran, tangan berayun lemah mengambil tas bekas yang bolong dan menyampirkan di pundak. Xavion mengamati setiap gerakan karyawan magangnya, “Kamu bergerak seperti orang kelaparan di Ethiopia sana. Bisa lebih cepat, tidak? Sana panggil taksi!” “S-saya ... saya menunggu b-bus ... T-Tuan Xa-Xavion,” geleng Hanae terengah. Sambil memeluk dirinya sendiri, dia berjalan tertatih menuju halte kosong. “f**k!” erang Xavion masih berkacak pinggang dan menggeleng. “Ini sudah mau jam 12 malam! Sudah hampir tidak ada bus yang beroperasi, Bodoh!” Hanae makin kebingungan mendengarnya. Hari pertama bekerja magang adalah hari paling sial dan menyakitkan baginya. Kalau bisa juga sudah sejak tadi dia memanggil taksi. Akan tetapi, ia tidak mempunyai uang yang cukup untuk membayar taksi. Hanya tersisa tidak lebih dari $10 di dompetnya. Xavion melangkah gusar. Ia bisa saja cuek bebek, tetapi kenyataannya saat dari kejauhan melihat Hanae hendak dibawa ke gang sempit tangannya mengarahkan setir ke kiri dan membantu sang gadis. “Heh! Aku sudah menyelamatkanmu dari berandalan punk tadi! Sekarang, kamu mau tetap di sini? Kamu cari mati? Kamu mau mereka kembali dan menyeretmu lagi, hah! The f**k is wrong with you!” Suara Xavion bergema di sekitara halte yang kosong. Udara malam membawa suara jaksa muda tersebut ke udara. Hanae menunduk, lalu menangis terisak. Membayangkan para berandal datang kembali membuat tubuhnya kian gemetar ketakutan. Hanya saja, Xavion habis kesabaran. “Fine! Suka-suka kamu saja! Jangan harap aku mau membantumu lagi kalau mereka kembali! Jangan-jangan kamu memang suka dirudapaksa ramai-ramai?” Saking kesalnya dia sampai menghina Hanae seperti itu. Lelaki yang tidak peka. Akan tetapi, dia juga bukan cenayang. Mana mungkin tahu kalau Hanae tidak ada uang? Langkah tegap berbalik, lalu memasuki Bentley Continental GT berwarna hitam yang mesinnya masih menyala sejak tadi. Saat melintasi Hanae dia menekan pedal gas sehingga terdengar raungan deru mesin. Niatnya memperlihatkan pada wanita itu betapa jengkel dan marah dirinya. Akan tetapi, justru dia melihat Hanae menunduk dan kian menangis sambil memeluk diri sendiri. Satu detik, dua detik ... lima ... sepuluh ...? “f**k! f**k!” Xavion memukul setir kendaraannya dan lagi-lagi menginjak pedal rem dengan sangat dalam. Ban mobil mendecit. Raungan deru mesin kembali terdengar seraya kendaraan roda empat tersebut berjalan mundur. Ada seseorang yang tidak tega rupanya! Berhenti tepat di depan Hanae yang masih menangis sambil memandanginya bingung, ia membuka jendela. “Heh, Anak Magang!” Sejujurnya, dia lupa siapa nama gadis itu. Padahal, tadi pagi sempat mendengar namanya dari mulut Fanty. Maka, cukup dipanggil Anak Magang saja. “Y-ya?” jawab Hanae mengusap air mata. “Masuk!” perintah Xavion sambil menatap tajam. Hanae kian bingung. Sebuah perintah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Saking bingungnya sampai hanya bisa menatap dengan mata bundar yang membengkak karena lelah dan terus menangis. Dan karena wanita itu hanya diam saja, Xavion makin murka. “APA KAMU TULI! AKU BILANG, MASUK!” Hanae melompat dari kursi halte bus dan langsung berlari menuju kendaraan bosnya. Ia terengah, tidak langsung masuk ke dalam mobil karena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengembus kasar dan frustasi, Xavion bertanya, “Kenapa tidak segera masuk? Aku bersumpah akan mencekikmu kalau tidak segera masuk!” Takut dicekik sungguhan, Hanae spontan memasuki mobil. Dengan cepat membuka pintu di sisi kanan mobil, lalu duduk sambil terengah-engah. “Seatbelt!” desis Xavion melirik. Gadis culun tersebut mengangguk dan cepat memakai sabuk pengamannya. Ia sama sekali tidak berani menoleh pada bos tampan. Jadi, pandangnya terus dialihkan pada jendela. “Jawab yang jujur, atau aku akan melemparmu keluar dari mobil!” desis Xavion menyeringai. Hanae menoleh dan dua mata mereka beradu pandang. Bak tersengat kilat, ia langsung menunduk gugup. Kepalanya kemudian mengangguk, setuju untuk menjawab jujur. Pertanyaan pertama dari Xavion, “Kenapa kamu tidak mau naik taksi, padahal sudah tengah malam?” Hanae menjawab sangat lirih dengan suara yang sangat pelan, “Saya tidak punya uang.” Jantung Xavion serasa dihantam palu godam. Ia tertegun membeku, berpikir semiskin apa wanita ini sampai tidak bisa naik taksi? “Siapa tadi namamu?” “Hanae ....” Menghela panjang, jaksa tampan kembali bertanya, “Hanae, berapa umurmu?” “22 tahun.” “Di mana orang tuamu? Kamu magang apa mereka tidak memberimu uang saku selama kuliah?” desisnya sesekali melirik curiga. Hanae terdiam. Bicara soal orang tua .... “Mau kulempar dari mobil? Sudah kubilang, bicara yang jujur!” bentak Xavion. “Saya tidak punya orang tua.” Jawaban itu keluar dari bibir pucatnya. Xavion menoleh dan spontan bertanya, “Selama ini kamu hidup dengan siapa?” “Panti asuhan ....” “The f**k? Panti asuhan? Kuliahmu dibiayai siapa?” Alis Xavion menukik sebelah. “Yayasan kemanusiaan,” jawab Hanae menahan isak. Ia bisa membayangkan bagaimana Xavion akan semakin jijik padanya. Sama seperti teman-teman kuliahnya setelah mengetahui dia gadis dari panti asuhan yang sangat miskin. Tidak ada ejekan dari mulut Tuan Jaksa Senior. Sepertinya Xavion bingung sendiri harus berkata apa. Dia hanya bertanya, “Malam ini aku turunkan kamu di mana?” “Panti Asuhan Blessed Mother Marry di Jalan Harvington,” jawab Hanae terus menunduk dan meremas ujung rok spannya. “Hmm, aku tahu jalan itu. Sekitar 20 menit dari sini.” Bentley kembali bergerak kencang menembus gelapnya kota Los Angeles saat malam hari. Tidak ada yang dibicarakan di antara keduanya. Hanya saja, Xavion kemudian memasuki sebuah restoran cepat saji 24 jam dan mengarah pada lorong drive thru. Mencium bau kentang serta burger dari restoran tersebut perut Hanae langsung kemerucuk. Ia meremas perut berlapis hem putih tulang yang sudah pudar warnanya. Matanya memandangi berbagai menu di neon box dengan wajah bernafsu sekali. Namun, begitu mengingat di dompet hanya tersisa $10 .... Wanita malang kembali menunduk lesu. Berpikir dia hanya akan menjadi penonton setia saat Xavion makan. Dalam hati berkata, ‘Semoga masih ada makanan sisa di pan—“ Mendadak, sebuah kantung kertas cokelat tua berisi dua paket burger dilempar pelan ke atas pahanya. Mata sang gadis langsung menoleh pada Xavion dengan penuh pertanyaan. “Makan! Habiskan semua! Aku takut kamu mati kelaparan! Aku tidak mau ada wanita mati di mobilku!” desis sang jaksa dengan wajah dingin menawan. “Se-semua? Semua ini untuk s-saya?” gagu Hanae tak percaya. “Hmm!” gumam Xavion tak menoleh. Hanya menjawab sambil terus menyetir. Hanae memekik girang seperti anak kecil. “Terima kasih, Tuan!” Dan masih seperti anak kecil, ia mengambil satu buah burger, lalu cepat membuka bungkus dan menggigitnya riang. Xavion melihat itu semua dari ujung matanya. Senyum bahagia sang Anak Magang hanya karena dibelikan dua paket burger, kentang, minum. Betapa penyebab bahagia bisa sangat berbeda bagi masing-masing orang. “Tuan tidak makan?” tanya Hanae dengan mata berbinar. “No,” jawab Xavion singkat, mengalihkan pandang kembali ke jalan raya di depan. Sekitar lima menit kemudian mereka sudah sampai di Jalan Harvington tempat panti asuhan Hanae berada. “Itu, bangunan tingkat dua dengan cat berwarna biru,” tunjuk Hanae pada sebuah gedung yang tak terlalu besar sekitar 10 rumah dari tempat mereka berada. Xavion bertanya lirih, “Sejak umur berapa kamu tinggal di sana?” “Sejak bayi. Orang tua saya meletakkan saya di depan pintu asuhan. Well, paling tidak itulah cerita yang saya dengar,” jawab Hanae mulai bisa tersenyum sedikit karena perutnya sudah terisi makanan. Kendaraan berhenti di depan panti asuhan. Ada papan nama bertuliskan Blessed Mother Marry Orphanage. Tuan Muda Young menoleh saat mendengar suara kantong kertas dirapikan dan wanita itu hendak turun dari mobilnya. Entah kenapa sepertinya kecerobohan memang bagian dari hidup Hanae. Tas lusuhnya justru terjungkal dan semua isinya terjatuh ke lantai mobil. Satu per satu ia ambil dan masukkan kembali. “Jangan sampai ada yang tertinggal!” “Baik, Tuan,” angguk Hanae gugup. Lalu, ia menggenggam tas lusuh dan kantong makanannya erat sambil sekali lagi mengucap, “Terima kasih, Tuan Xavion.” “Berhenti memanggilku Tuan. Tidak ada yang memanggilku Tuan di kantor. Panggil saja Xavion!” tukas sang lelaki. Mengangguk pelan, Hanae tersenyum singkat, lalu turun dari kendaraan mewah. Ia melambai satu kali, lalu berlari kecil menuju pintu panti asuhan. Xavion masih diam di dalam mobil. Ia menunggu apa benar sang gadis tinggal di sini atau hanya menjual kisah sedih dan dirinya tertipu? Ternyata benar! Pintu asuhan dibuka dan seorang wanita tua menyambut kedatangan Hanae. Terlihat keduanya berbincang selama beberapa detik sebelum karyawan magangnya itu masuk ke dalam rumah. Mata tajam Tuan Jaksa memandang lekat. Gedung panti asuhan ini .... “Kenapa aku merasa pernah melihat bangunan ini? Kenapa rasanya tidak asing?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD