Hanae memasuki pintu sebuah rumah panti asuhan. Tangan menggenggam kantong kertas berwarna cokelat.
“Apa itu?” tanya seorang wanita renta melirik jinjingan sang mahasiswi.
“Burger dan kentang, Ma’am Lilac. Aku dibelikan makan malam oleh bosku!” kekeh Hanae memperlihatkan dengan riang.
Wanita tua yang bernama Lilac terdiam sesaat. Seluruh rambutnya sudah memutih, pertanda usia sudah lebih dari setengah abad. Mata lelah itu menatap, “Mobil mewah tadi, itu bosmu mengantar pulang?”
“Iya, dia mengantarku pulang. Ma’am tahu? Dia jagoan! Tadi, di halte bus aku sempat didatangi berandalan! Lalu, dia da—“
“Jangan bermimpi terlalu tinggi, Hanae!” potong Ma’am Lilac. “Mobilnya semewah itu, pasti orang kaya.”
“Lalu?” heran Hanae karena mendadak kalimatnya dipotong.
“Lalu, jangan berharap apa pun padanya. Bekerjalah dengan keras! Jadikan beasiswamu berguna!” tandas Ma’am Lilac. Sorot matanya memperlihatkan harapan tinggi.
Akan tetapi, Hanae masih terlalu polos untuk bisa memahami maksud kepala panti asuhannya. “Ma’am, apa aku ada salah?”
Lilac menghela lirih, lalu memeluk dan mengusap punggung anak asuhnya. “Dunia ini kejam, Hanae. Dan pria kaya adalah yang terkejam. Mereka memangsa gadis cantik sepertimu, lalu meninggalkannya begitu saja.”
“Jangan sampai kamu membuang semua pendidikanmu dengan sia-sia, ya? Kamu harus berhasil jadi sarjana, dan carilah pekerjaan yang bermartabat. Aku mau kamu jadi orang sukses.
Mengucap dengan sangat lirih hingga matanya berkaca-kaca, Lilac membelai pipi Hanae. “Jangan buang waktumu menginginkan lelaki yang hanya akan menghancurkan masa depanmu.”
Hanae tertegun, bingung, lalu terkekeh. “Ma’am, dia hanya tidak tega padaku. Dia hanya membelikan aku burger dan kentang karena aku kelaparan.”
“Bukan berarti aku akan mengejar-ngejar dia. Aku hanya anak panti asuhan dan dia seorang jaksa senior terhormat. Bisa bekerja di bawahnya saja aku sudah senang karena dia begitu terkenal.”
Hanae memeluk kepala panti asuhan yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Seumur hidupnya ada di rumah reyot ini. Lilac adalah satu-satunya figur ibu yang ia kenal.
“Tenanglah, Ma’am. Aku tidak akan mengecewakan. Aku akan selalu ingat perjuangan Ma’am mendapatkan beasiswa untukku sejak aku masih remaja hingga sekarang.
Lilac membalas dengan pelukan yang sama erat. Ia belain rambut panjang Hanae. “Teruslah berpikir seperti ini, ya? Fokus dengan masa depan. Jangan sampai apa pun juga mengalihkan semua yang sudah kita bangun.”
Gadis manis mengangguk. Ia menunjukkan kantong cokelat, “Ma’am mau makan burger bersamaku?”
Tawa sendu Lilac terdengar, lalu menggeleng. “Tidak, itu pasti burger dan kentang yang sangat enak. Kamu jarang sekali makan burger dan kentang. Sudah, habiskan saja.”
“Aku mau tidur. Sampai jumpa besok pagi, Hanae.”
Kemudian, kaki yang sudah kurus dan berbalut kulit keriput melangkah menuju ujung lorong. Di sanalah kamarnya berada.
Lilac memasuki ruang tidurnya, lalu menghela panjang. Ia menatap jendela, pada gelap remang malam.
“Jangan sampai kamu menjadi seperti ibumu, Hanae. Please, nasibmu harus berbeda darinya!”
***
Keesokan pagi, Hanae datang ke kantor 15 menit sebelum jam masuk. Hari ini ada semangat yang lebih daripada kemarin. Baru saja duduk, Fanty sudah mendatanginya.
“Semua berkas yang aku minta sudah dimasukkan ke dalam komputer?” seringai pegawai senior yang suka merundung.
Hanae mengulum bibir karena bingung dan takut. Semalam, dia disuruh berhenti kerja oleh Xavion. Sekarang, dia ditanya oleh seniornya. Apa dia harus mengatakan kalau tahu sedang dikerjai?
“Malah diam! Apa kamu tuli, hah!” bentak Fanty menggebrak meja Hanae.
Gebrakan yang sangat kencang hingga bahu mahasiswa tingkat akhir itu terhentak ke belakang.
“M-maaf, Fanty. Aku ... uhm, tadi malam aku di sini sampai jam sebelas malam. Lalu, jadi ... itu ... berkasnya adalah berkas sepuluh tahun lalu,” gagap Hanae menjawab.
Fanty terkekeh sinis, “Sehingga? Memangnya kenapa kalau berkasnya sudah dari sepuluh tahun yang lalu? Kamu menolak memasukkan datanya ke komputer?”
Suara langkah kaki terdengar. Daisy muncul dengan membawa setumpuk berkas cukup banyak. Ia ambrukkan semua berkas itu di atas meja Hanae.
“Ini adalah berkas baru yang harus kamu masukkan dalam komputer!” desis sahabat Fanty tersebut tidak kalah sengit.
“Dia tidak mau mengerjakan berkas dari sepuluh tahun lalu, Daisy. Dia anak magang yang sudah sok berkuasa di sini!” kekeh Fanty dengan tawa mengintimidasinya.
Daisy menggeleng sambil ikut terkekeh. “Hmm, baru bekerja beberapa hari sudah mau melawan rupanya? Bagaimana kalau kita adukan saja dia ke bagian personalia? Biar keterangan magangnya dijadikan minus!”
Hanae sontak berdiri dan meminta maaf. Ia bahkan sampai mengayun kepalanya, menunduk berkali-kali sambil berkata, “Aku mohon! Jangan buat keterangan magangku minus! Nilai kelulusanku akan dikurangi!”
“Maafkan aku karena tidak mengerjakan tugas dengan baik! Akan aku kerjakan semuanya malam ini!” engahnya menahan panik. Kalau nilai magangnya jelek, beasiswa bisa dicabut. Padahal, kurang satu tahun saja sebelum lulus kuliah.
Fanty dan Daisy tergelak puas melihat Hanae ketakutan. Mereka tidak ada masalah apa pun sebelumnya dengan perempuan magang tersebut. Akan tetapi, jiwa perundung memanggil selalu mencari yang lemah untuk diinjak.
Bisa menginjak orang lain, bisa membuat orang lain takut, bisa membuat orang lain ditertawakan dan malu akan mendatangkan kepuasan tersendiri pada kaum perundung.
“Besok adalah hari Sabtu! Kita ada acara keakraban di luar kota. Camping di tepi danau bersama seisi lantai dua ini!” tukas Fanty mendekat, lalu menjewer telinga Hanae.
“Aduuuh! Sakit!” pekik sang gadis menepis tangan Fanty. Telinganya terasa panas.
“Bagus kalau sakit! Karena itu dengarkan baik-baik! Selesaikan semua berkas malam ini, atau besok pagi kamu tidak kuijunkan ikut acara keakraban!” ancamnya menyeringai, menegaskan di telinga kanan.
“Dan tidak ikut acara kantor akan membuat skor magangmu berkurang banyak! Karena itu kerjakan semua berkasnya!” teriak Daisy di telinga Hanae yang kiri.
Napas Hanae terengah, matanya memerah serta menahan butir air yang ingin terjatuh. Kepalanya mengangguk berkali-kali, pertanda setuju, serta berharap dua senior jahat ini segera meninggalkannya sendiri.
Fanty mengambil satu berkas, lalu melemparnya hingga mengenai muka Hanae, jatuh menimpa d**a, perut, dan terakhir terhempas ke atas lantai.
Tubuh Hanae gemetar ketakutan karena dilempar berkas oley Fanty. Berani bersumpah dia sama sekali tidak tahu kenapa dia sungguh dibenci dan dikasari begini? Apa karena dia anak panti asuhan?
Daisy tergelak, “Ouch! Lihatlah! Anak Perawan kita ketakutan! Dia akan mulai menangis!”
“Haruskah kita panggilkan badut agar dia berhenti menangis? Kasihan sekali!” tanggap Fanty tertawa mengejek.
Hanae menggeleng sangat cepat. “Jangan! Jangan panggilkan badut! Saya bisa pingsan jika ada badut!”
Fanty dan Daisi makin tertawa mendengar ucapan Hanae. Mereka menghina bodoh t***l sementara sang wanita terus tertunduk dan kian ketakutan.
Terdengar suara langkah kaki lain mendekati tempat mereka bertiga berdiri.
“Ada apa ini? Aku mendengar suara teriakan dari luar!”
Seorang lelaki tinggi dan gagah memakai setelan jas biru tua berjalan tenang, tetapi memandang sangat tajam.
Fanty terkejut melihat salah satu jaksa senior sahabat Xavion muncul.
“Eh, Ezra,” engah Fanty langsung mengubah wajah perundungnya menjadi wajah gadis baik-baik.
Daisy pun begitu. Mereka berdua yang tadinya sedang mengintimidasi Hanae sontak mengubah wajah menjadi kalem lemah lembut.
“Tidak ada apa-apa, Ezra. Kami hanya sedang memberitahu mahasiswi magang ini untuk bekerja yang benar!” ungkap Daisy dengan segenap kemunafikan yang ada.
Hanae menunduk, sama sekali tak berani mendongakkan wajah atau berkata apa pun. Meski tahu ada sosok tinggi gagah di seberangnya, ia terlalu takut untuk bahkan sekadar menatap.
Lalu, satu langkah kaki lain terdengar. “Ada apa kalian semua berkumpul di sini, hah? Tidak ada kerjaan atau bagaimana?”
Xavion datang dan langsung menyembur semua yang ada di depan ruang kerjanta. Termasuk sahabatnya sendiri bernama Ezra Wu.
Fanty menyahut dengan senyum manis menggoda, “Aku sedang mengajari dia cara bekerja yang baik! Kemarin dia tidak mengerjakan semua tugas yang kusuruh! Jadi, aku me—“
“Maksudmu tugas memasukkan data dari sepuluh tahun lalu?” potong Xavion menyeringai jengkel.
Fanty terbelalak, “Ka-kamu tahu?”
“Tentu saja aku tahu! Aku melihat Hanae masih bekerja sampai jam 11 malam! Mana mungkin aku tidak bertanya apa yang sedang dia kerjakan!” sahut Xavion memicingkan mata.
Ezra tertegun mendengarnya nama wanita yang keluar dari mulut sahabat terbaiknya. “Ha-Hanae?” ulangnya dengan napas tertahan.
“Iya! Anak magang itu bernama Hanae!” desis Xavion, lalu menunjuk dengan dagunya.
Ezra melangkah mendekat ke meja gadis yang sedari tadi menunduk. Ia berucap lirih, terkesan sangat berhati-hati. “Namamu Hanae?”
Lalu, paras cantik yang sedang ditanya mendongak. “I-iya, aku ... namaku Hanae.”
Ezra membeku saat menatap wajah manis yang sedang terlihat lesu dan pias. Hatinya menjerit sambil berucap ....
‘My God! Dia sungguh adalah Hanae! Ini sungguh adalah dia! Dan ... ya, Tuhan, apakah dia mengenaliku!’
Memangnya Ezra pernah mengenal Hanae sebelum ini?