Seorang jaksa senior yang masih berusia cukup muda bernama Ezra Wu terengah dalam hati mendengar nama Hanae. Itu bukan nama yang biasa didengar sehari-hari, bukan?
Terlebih, ketika ia mendekat dan menanyakan apa benar nama sang gadis adalah Hanae, ia melihat sesosok wanita yang ternyata ia kenali dari masa lalunya.
‘Ya, Tuhan! Ini benar dia!’ pekik Ezra menahan berjuta gempuran di dalam batinnya.
Jika saja tidak rajin berolah raga dan memperkuat otot kaki, mungkin saat ini dia sudah terkapar lemas di atas lantai akibat melihat siapa yang ada di hadapan.
Namun, seperti ia selalu memperlihatkan ketenangan serta ekspresi dingin di pengadilan agar tidak terbaca oleh lawan, saat ini pun ia melakukan hal yang sama.
Semua jerit terkejut serta dentuman dalam batin tak terlihat oleh siapa pun, bahkan oleh Xavion, sahabatnya sendiri.
Hanae menaikkan pandang perlahan karena merasa dirinya sedang dipandangi lekat. Melihat setelan jas rapi di d**a bidang. Saat pandang kian mendongak, tatap matanya beradu dengan lelaki itu.
Ezra memerhatikan dengan seksama, lalu berkata dalam hati. ‘Dia tidak mengenaliku.’
Ekspresi yang dicari olehnya tidak nampak di wajah Hanae. Sang mahasiswi polos dan culun itu hanya menatapnya takut-takut serta gugup. Bukan tatapan terkejut atau apa pun juga.
‘Setelah 15 tahun berlalu, ya ... dia ... tentu saja dia tidak mengenaliku. Dia masih kecil ketika kami ... ah, ya, ampun! Kenapa kami bertemu lagi seperti ini?’
Ezra jelas merasakan pilu serta keresahan dalam hatinya. Tidak ada yang melihat, tetapi ia sempat menggenggam keras jemarinya sendiri karena menahan emosi bergejolak dalam d**a.
Xavion berucap kencang, “Ayo, bubar kalian semua! Aku ada sidang pagi ini!”
“Fanty! Aku kemarin minta kamu kerjakan berkas Antecedents dari tersangka Maurice Pablo apakah sudah selesai? Kamu sudah lakukan background checking atau belum?”
Fanty tertawa gugup dan salah tingkah. Tubuhnya meliuk dengan gerakan mengerut sambil mencari alasan, “Aku kemarin mengerjakan berkas Guilard. Untuk berkas Maurice Pablo belum selesai.”
Mata Xavion memicing, “Selesaikan berkas Antecedents Maurice Pablo pagi ini juga! Sampai aku selesai sidang dan kamu belum menyelesaikannya, kamu belum meneliti latar belakangnya, maka ....”
Ia melirik pada Hanae. “Maka, kamu yang akan kusuruh memasukkan berkas dari 10 tahun lalu ke komputer sampai jam 11 malam seperti dia kemarin!”
Sontak wajah Fanty berubah pucat. “Aku akan mengerjakannya sekarang!”
Wanita suka merundung itu cepat menarik temannya dan berlari dari depan muka Xavion. Fanty tidak ingin menambah murka jaksa tampan yang juga dikenal temperamental tersebut.
Kini tatap Xavion menghunus pada Hanae. “Mereka menyuruh kamu mengerjakan berkas 10 tahun lalu lagi?”
Hanae mengangguk sambil menundukkan pandang. Tatap Xavion terlalu tajam hingga keberaniannya hilang begitu saja meski tidak bersalah.
“Kembalikan berkas-berkas itu ke ruang penyimpanan berkas. Tidak usah bercerita kepada siapa pun kalau mereka merundungmu. Aku tidak mau orang tahu timku tidak solid. Kamu paham?” desis Xavion.
Hanae kembali mengangguk dalam tundukkan kepala. Suaranya masih berdiam di dalam kerongkongan karena terlalu gugup dan takut untuk berkata apa pun.
Suara berat Xavion kembali terdengar, “Kalau mereka berbuat aneh-aneh lagi, laporkan padaku. Kamu mengerti? Aku tidak mau harus menyelematkanmu dari berandalan punk di jam 12 malam seperti kemarin!”
Hanae mulai membuka suara, “B-baik, Tu-Tuan ... uhm ... Xa-Xavion,x gugupnya teringat kalau lelaki ini tidak ingin dipanggil Tuan.
Xavion hendak berjalan ke ruangannya. Akan tetapi, sesuatu menyita perhatian hingga ia berhenti melangkahkan kaki.
Melihat Ezra masih berdiri di tempat semula memandangi Hanae, pemuda itu menjadi kesal. Ia menarik lengan sahabatnya dan bertanya, “Kenapa kamu jadi seperti patung, hah?”
Dan saat ia mendekat, lalu melihat mata Ezra yang seolah tidak berkedip menatap Hanae, keningnya semakin mengerut. ‘Kenapa dia melihat Hanae seperti sedang melihat hantu, hah?’ batinnya berpikir keheranan.
“EZRA!” bentaknya kencang.
Yang dibentak terkejut sampai pundaknya melompat. “A-apa?” engah Ezra, terbangun dari lamunannya.
“Aku mau sidang! Kamu mau apa kemari pagi-pagi?” geleng Xavion. Ia mulai berjalan menuju ruang kerjanya karena tahu sang sahabat akan segera mengekor.
Ezra memang mengikuti gerakan Xavion, meski sesekali wajahnya menoleh ke belakang dan menatap Hanae teramat sendu.
Masuk ke dalam ruangan khusus milik Xavion, keduanya duduk di kursi berseberangan.
“Ada apa?” tanya Tuan Muda Young setelah mereka merasa nyaman di kursi masing-masing.
“Chaiden nanti sore datang dari Mexico. Bagaimana kalau sepulang kerja kita ke bar yang biasa dan mengobrol di sana? Aku ingin tahu perkembangan kasusnya dari Mexico seperti apa,” ucap Ezra menjawab.
“Hmm, besok jam enam pagi kita sudah harus berkumpul di sini untuk pergi ke camping ground dan mengadakan acara keakraban sialan itu,” tanggap Xavion ragu. “Aku tidak mau ikut bus bersama wanita-wanita itu! Telingaku akan sakit mendengar mereka bergosip!”
Tawa Ezra terdengar renyah. “Kamu bawa mobil sendiri? Aku ikut kamu kalau begitu. Chaiden juga pasti bersama kita.”
Xavion mengangguk, “Karena itu, kita tidak boleh mabuk. Kalau mabuk, kita tidak bisa membawa mobil sendiri. Aku akan membawa Cherokee kesayangan.”
“Hmm, kamu selalu membawa mobil peninggalan mendiang ayahmu,” angguk Ezra.
Xavion tersenyum dingin dan pilu. “Aku baru berusia delapan atau sepuluh tahun saat ayahku dibunuh secara brutal oleh wanita simpanannya. Tak banyak yang kuingat selain kami sering merawat Cherokee itu.”
“Just a drink or two bersama Chaiden, hanya untuk mengobrol santai. Simply beer, no JD or Whiskey,” kekeh Ezra.
Xavion mengangguk, “Yeah, fine, why not? Aku juga ingin tahu apakah Chaiden meniduri wanita Mexico seksi di sana atau tidak!” gelaknya disambut tawa lepas yang sama oleh Ezra.
Di sela tawa itu, Tuan Muda Wu bertanya dengan kesan acuh tak acuh. “Anak magangmu, siapa tadi namanya?”
Bahkan, ia pura-pura lupa pada sebuah nama yang jelas membuatnya seperti disambar petir.
“Hanae? Hanae Tan, itu namanya. Why?”
“Nothing,” geleng Ezra. Lalu, bertanya lagi, “Apa kamu tahu dia dari mana, tinggal di mana?”
“Apa aku terlihat seperti badan sensus penduduk bagimu?” seringai Xavion.
Ia tahu, semalam saja mengantar ke rumah yang lebih tepatnya sebuah panti asuhan dengan tulisan “Blessed Mother Marry Orphanage.”
Hanya saja, Xavion tidak ingin berbagi pengetahuan itu dengan siapa pun. Berpikir bahwa dia tidak punya hak untuk mengungkap apa pun tentang Hanae yang mungkin ditutupi oleh sang gadis.
Ezra tertawa, “Just asking!”
“Why? Aku jarang bahkan hampir tak pernah melihatmu bertanya soal wanita. Sementara Chaiden hampir tak pernah tak bertanya soal wanita,” seloroh Xavion terkekeh penasaran.
Teman baiknya kembali tertawa dan menghindar. “Ya, sudah, lupakan saja aku bertanya.”
“Kamu tadi menatap Hanae seperti menatap hantu. Kenapa sampai begitu?” Xavion masih terus mengulik penasaran.
“Aku hanya mengira dia seseorang yang aku kenal di masa lalu. Tapi, sepertinya aku salah orang,” pungkas Ezra mengakhiri pembicaraan ini.
Dia tak mau mengatakan apa pun lagi mengenai Hanae. Sesuatu tentang Ezra juga sepertinya ada yang ditutupi dari Xavion.
“Hmm, siapa yang mirip dengan gadis culun, lusuh, ceroboh, dan tidak stylish seperti Hanae? Miris sekali nasib wanita itu kalau mirip dengan Hanae!” canda Xavion berucap santai.
Sayangnya, Ezra kali ini tidak bisa ikut tertawa. Dia hanya tersenyum kecut, lalu berdiri. “Okelah, aku pamit. Aku hanya ingin bicara mengenai kepulangan Chaiden. Sampai jumpa nanti sore dan goo luck dengan persidanganmu.”
Xavion mengangguk, “Hmm, see you.”
Ezra melangkah keluar, lalu mencuri pandang pada Hanae yang sedang mengetik di depan layar komputer.
‘Dia sungguh-sungguh Hanae yang aku kenal dulu! Tapi, sayang, aku tidak bisa mengatakan padamu siapa aku sebenarnya.’
***
Menjelang makan siang, Xavion sudah selesai dengan persidangan. Ia mengambil longcoat-nya dan hendak pergi makan siang dengan Jaksa Agung terkait dengan kasus mafia yang sedang ia tangani.
Baru saja mau membuka pintu, ternyata sudah ada yang membukanya dari luar.
‘Aaah, f**k! Sejak kapan dia pulang dari Paris? Sialan!’ jerit Jaksa Senior tersebut memandang dengan kesal tertahan.
Seorang wanita cantik menawan tersenyum di depan pintu. Dia menggunakan gaun formal resmi dengan rok agak tinggi dari batas lutut.
Lipstiknya merah menyala, seperti warna tas serta sepatu yang dia pakai, semua itu jelas perlambang kekayaan. Suaranya pun terdengar merdu ketika bertanya ....
“Xavion Darling, kamu tidak ingin menyambut calon istrimu? Apakah kamu tidak rindu?”