Seorang wanita cantik berdiri di depan pintu dengan pose seperti peragawati nan anggun menghadang langkah Xavion. Padahal, lelaki itu sudah ada janji makan siang dengan jaksa agung untuk membicarakan kasus mafia yang sedang ia tangani.
“Kenapa terburu-buru sekali, Darling? Janji makan siang dengan siapa?” senyum wanita itu mengandung unsur kecurigaan yang tidak pada tempatnya.
Tuan Muda Young hanya tersenyum angkuh dan mendengkus, “Berhenti memanggilku Darling. Semua akan mengira kita berpacaran, yang mana kita tidak sedang melakukannya!”
Acuh akan keberadaan sang wanita cantik dan seksi, langkah gagahnya kembali terayun ke depan. Akan tetapi, makhluk berbibir merah terang tidak mau minggir.
“Move, Jessica!” bentak Xavion tidak terlalu keras.
“Ayolah, mau sampai kapan kamu mengacuhkan aku seperti ini? Kedua ibu kita sudah setuju untuk menjadikan kita suami istri. Mereka sedang membicarakan pertunangan kita, Xavion.”
Perempuan kelas atas bernama Jessica Mendoza adalah teman sejak Xavion masih di sekolah menengah pertama alias junior highschoool. Kedua keluarga mereka berhubungan sangat akrab seperti saudara sendiri.
Ibu Jessica sejak dulu terobsesi ingin menjodohkan putri mereka dengan Xavion semenjak 20 tahun lalu hingga sekarang.
Dan meski jaksa tampan itu tidak memperlihatkan tanda-tanda apa pun yang menjurus pada cinta ke teman masa kecilnya, tetapi Jessica nampak pantang menyerah.
Engah sang lelaki kian terdengar kesal, “Look, Jess, aku ada acara makan siang dengan jaksa agung untuk membahas kasus mafia yang sedang kutangani. Ini bukan kasus sembarangan dan perkembangan karirku tergantung padanya.”
“Aku sudah terlambat lima menit karena kamu menghalangi jalan, mengerti? Aku tidak ingin mengasarimu, but please hentikan pemikiranmu yang mengira kita akan menikah sungguhan!” kesal Xavion, lalu menarik lengan berkulit lembut ke arahnya.
Dua tubuh mereka bertubrukan, Jessica terkejut sekaligus menahan debar karena kini bibir mereka jadi berdekatan hingga bisa merasakan embus hangat dari hidung mancung lelaki itu.
Satu seringai dari Xavion terlontar, “Hanya karena aku pernah tidur denganmu dua kali, lalu kamu berpikir kita akan menikah. Pertama, aku mabuk. Kedua, kamu yang mabuk. Jadi, tidak pernah ada cinta di antara kita, paham?”
Ia melepas cengkeramannya di lengan Jessica, lalu mendorong perlahan. “Aku mau pergi makan siang! Jangan ikuti aku! Kalau sampai kamu mengganggu urusanku dengan jaksa agung, sampai manusia dibangkitkan dari kuburnya sekalipun aku tak akan memaafkanmu!” desis Xavion bernada ketus.
Tubuh dibalut jas mewah dan mahal keluar dari pintu ruangan. Aroma parfumnya yang mengandung unsur mistis misterius menguar jelas di penciuman Jessica, membuatnya memejamkan mata selama beberapa detik untuk menikmati keharuman yang membangkitkan birahi kaum hawa tersebut.
Saat matanya kembali terbuka, Xavion sudah beberapa meter di depan. Sudah dibilang, Jessica ini pantang menyerah!
Seperti moto pemadam kebakaran, yaitu pantang pulang sebelum padam, maka moto Jessica adalah pantang pulang sebelum bertunangan.
Ada sedikit gila-gilanya memang. Akan tetapi, siapa yang bisa menyalahkannya? Dua kali tidur dan menikmati gairah bercinta dengan Xavion, wanita mana yang bisa tahan untuk tidak mengulang dan bermimpi untuk menjadikan lelaki itu milik mereka!
“Xavion! Tunggu! Aku datang untuk membawa undangan dari Senator Banner! Xavion!” seru Jessica sambil berlari tertatih mengejar lelaki yang berlagak tuli tidak mendengarnya.
Sambil melambai-lambaikan undangan di tangan, Jessica kembali berseru. Matanya hanya fokus pada Xavion, tidak pada yang lain. “Aku bawa undangan dari Senator Banner! Dia mengadakan acara makan malam di rumahnya untuk menyambut kemenangan gubernur di pemilihan kemarin!”
“Xavion! Apa kamu tidak mau datang denganku? Seluruh pejabat tinggi kehakiman dan pemerintahan selevel menteri akan datang!”
Mendengar ini, langkah kaki Xavion terhenti sesaat. Ia menoleh ke belakang dan menatap lekat pada Jessica yang sedang melambai-lambaikan undangan.
Melihat Xavion berhenti melangkah, girang sekali hati Jessica. Dia berlari semakin cepat, melewati sebuah lorong kamar arsip, tak melihat ke kanan atau ke kiri, lalu ....
“ADUUUH!”
Suara dua wanita mengerang bersamaan terdengar. Satu keluar dari lorong kamar arsip dengan tidak melihat jalan karena tumpukan berkas tinggi di depan wajahnya. Satu lagi berlari tak lihat kanan kiri juga saking fokusnya dengan sosok lekaki tampan.
Akhirnya mereka bertubrukan!
Xavion mengerutkan kening saat melihat sesosok gadis berkacamata dengan pakaian lusuh terduduk di atas lantai sambil meringis memijit kaki.
‘f**k! Dia lagi! Kenapa dia selalu membuat masalah!’ jeritnya dalam hati, menggeleng tak percaya dengan apa yang dia pandangi sekarang.
Pun dengan Jessica yang tidak percaya ia baru saja bertubrukan dengan seorang gadis yang terlihat miskin, culun, bodoh pula dengan kacamata besarnya itu.
Satu hal lain yang membuatnya sangat tidak percaya adalah, “KAMU MEMBUAT STILETO PRADA-KU PATAH!”
Jeritan Nona Mendoza melengking pada oktaf tertinggi hingga membuat orang-orang di sekitar menoleh terkejut.
Hanae terbelalak melihat sepatu merah mewah tersebut rusak. Bertanya dalam hati benarkah dia yang bersalah? Dia sendiri tidak tahu kenapa mereka bisa bertubrukan.
“DASAR, KAMU PEREMPUAN BODOH! t***l! TIDAK PUNYA MATA, TIDAK PUNYA OTAK! SEPATU INI HARGANYA BELASAN RIBU DOLLAR!” maki Jessica mendelik sambil berkacak pinggang.
“Ma-maaf, saya ... sa-saya ... saya tidak tahu,” bingung Hanae. Sudah mana berkas yang dia bawa kini berserakan tidak karuan di atas lantai, sekarang ada seorang wanita memarahinya habis-habisan dan memaki tidak karuan.
Satu kata lagi yang paling menakutkan bagi Hanae adalah belasan ribu dollar. Ia pandangi sepatu bermerek Prada di bagian bawah dengan pasrah.
“Kamu harus menggantinya!” teriak Jessica seperti orang kesetanan.
Xavion mengusap wajah, lalu menggeleng, dan melihat jam di tangan. Batinnya merasa tidak tega melihat Hanae dimaki-maki begitu. Kalau dia yang memaki bodoh dan t***l, tidak mengapa.
Akan tetapi, kenapa kalau orang lain yang memaki rasanya dia sendiri ikut sakit hati?
Hanya saja, detik terus berlalu dan janji temu dengan jaksa agung menunggu untuk segera direalisasikan. ‘Aku tidak punya waktu untuk mengurusi ini!’
Memutuskan untuk tidak peduli, ia kembali membalikkan tubuh dan melangkah secepat mungkin agar pergi dari situasi Hanae VS Jessica sebelum ia semakin tergoda untuk mengurusinya.
Terdengar sayup suara Hanae dari tempatnya sedang berjalan sekarang.
“S-saya, saya tidak mampu menggantinya, Nona. Sa-saya ... maaf, ti-tidak ... saya tidak punya uang.”
Xavion memijit kening sambil menghela lirih, sangat berat. Teringat panti asuhan tempat karyawan magangnya itu tinggal, tentu saja dia tidak punya uang untuk mengganti sepatu Prada milik Jessica.
Mendadak, langkah Xavion terhenti dan tubuhnya reflek berbalik ke belakang.
Gerakan yang terjadi karena ia mendengar suara pukulan kencang.
Dan di sana, Hanae tertunduk sambil memegangi pipinya yang memerah.
‘s**t! Jessica menamparnya?’ pekik Xavion dan ia berlari menuju pertikaian yang tidak seimbang tersebut. ‘Crazy b***h!’ makinya dalam hati pada sang mantan teman tidur.
Sampai di antara berkas pengadilan yang berserakan, mata Xavion terbelalak ketika melihat pipi Hanae benar-benar merah bekas tangan Jessica.
“Apa kamu sudah gila, hah! Kenapa kamu menamparnya!” teriak Xavion melotot pada Jessica dengan napas menderu panas.
“Dia merusak Prada-ku! Dia tidak mau menggantinya! Sebuah tamparan adalah harga yang masih terlalu murah untuknya!” jawab Jessica, justru kini menjambak rambut Hanae.
“Sakiit! Sakiiit!” pekik Nona Tan memegangi kepalanya yang sedang dijambak.
Xavion kembali berteriak, “Jangan mentang-mentang pamanmu adalah pejabat penting di menteri kehakiman, lalu kamu merasa bebas berbuat semaumu di sini! Lepaskan dia sekarang juga!”
“Kenapa kamu begitu peduli dengannya! Apa urusannya denganmu kalau aku mau mencekiknya sekalipun, hah!” balas Jessica sama berteriaknya.
“Dia karyawan magangku!” Xavion menjawab dengan suara menggelegar, lalu ia cengkeram dan tarik tangan Jessica hingga jambakan lepas dari kepala Hanae. “Jangan sakiti dia lagi!” bentaknya lantang.
Mendengar isak tangis kesakitan gadis panti asuhan di depan kakinya, Xavion makin ingin melempar Jessica keluar dari jendela lantai dua.
“Pergi sekarang juga dari sini sebelum aku benar-benar marah padamu dan kamu tidak akan pernah bisa bertemu denganku lagi!” desisnya mengancam serius.
Jessica terengah hebat, lalu menatap penuh kebencian pada Hanae yang sedang merintih kesakitan di atas lantai. Dendamnya belum tuntas.
Mendadak, ia sahut kacamata gadis culun itu dan membantingnya ke atas lantai hingga lensa sebelah kanan retak nyaris pecah.
Tertawa culas, Jessica berkata, “Kamu merusak sepatu mahalku, maka aku merusak mata sialanmu itu! Impas! Dan kalau bukan karena Xavion melarangku, kamu sudah kuseret sepanjang lorong, Gadis t***l!”
Lalu, wanita itu melenggang begitu saja seakan tidak terjadi apa pun, seakan dia tidak baru saja merusak kacamata seorang anak panti asuhan yang tentu tidak punya uang untuk membeli yang baru.
“f**k, kenapa kamu selalu menubruk dan menjatuhkan segala sesuatunya? Tidak bisakah sekali saja kamu berjalan dengan tenang tanpa membuat gaduh?” kesal Xavion.
Hanae terengah, lalu menghapus air mata yang menurun tak bisa ia cegah. Dengan tangan gemetar ia mengambil satu per satu berkas berceceran. Pertanyaan bosnya tidak dijawab, apa pula yang mau dijawab?
Xavion melihat pipi Hanae yang memiliki bekas tangan Jessica, basah terkena air mata. “Ambilah es batu di lemari pendingin di ruanganku. Gunakan untuk mengompres pipimu.”
Belum ada jawaban dari Hanae, ponsel Xavion berbunyi. Ia melihat layarnya dan berdesis jengah, “f**k!”
“Ya, halo? Ya, ya, aku sudah dalam perjalanan menuju restoran tempat pertemuan kita. Aku akan ke sana sebentar lagi. Lima menit, oke?” erang Xavion sambil menggaruk kepalanya yang sedang dilanda kebingungan.
Ia memasukkan ponsel kembali ke dalam saku jas, lalu bertanya serba salah. “Kamu bisa membereskannya sendiri?”
Hanae mengangguk, lalu mengusap matanya yang basah dengan air mata.
“Aku harus pergi. Jaksa agung menungguku. Aku tidak bisa membantumu. Apa kamu bisa melihat dengan kacamata yang rusak?”
Tak menjawab dengan kata-kata, Hanae merasa bibirnya terkunci akibat rasa sakit di pipi, kepala, serta hati. Sungguh sakit apa yang telah Jessica lakukan kepadanya. Di mana ia tak memiliki kekuatan apa pun untuk membalas, sama sekali tak memiliki daya meski hanya setitik.
Ia mengangguk, kacamata itu adalah kacamata minus, untuk melihat jarak jauh. Sudah memakainya sejak masuk kuliah. Kata Ma’am Lilac akibat dia suka membaca novel saat lampu kamar sudah dimatikan.
“Setelah pertemuan, akan kubelikan kacamata baru untukmu. Berhentilah menangis! Dan berhentilah menubruk orang berjalan, mengerti?” engah Xavion mendengkus jengah.
Ia tak berkata apa-apa lagi, dengan terpaksa meninggalkan Hanae untuk membereskan berkas-berkas itu sendiri karena harus menghadiri pertemuan penting demi kesuksesan kasus yang sedang ditangani.
Detak sepatunya menjauh dengan cepat, sama seperti detak jantung Hanae yang masih terus berdenyut kencang akibat peristiwa barusan.
Masih sisa sekitar tiga berkas lagi yang harus ia rapikan akibat kertas di dalamnya berceceran ke mana-mana. Sudah sekitar lima menit ia bersimpuh di lantai seorang diri. Sekian banyak orang berlalu lalang, tak satu pun mau membantunya.
Kebanyakan justru berbisik dan menertawakannya yang nampak begitu bodoh memunguti kertas-kertas berserakkan di atas lantai.
Manusia yang berada di gedung kehakiman seharusnya adalah orang-orang yang paling memiliki hati nurani, bukan?
Lalu, kenapa justru melihat Hanae seperti ini mereka semua diam dan cuek?
Well, tidak semua karena ....
“Hanae? Ada apa? Kenapa kamu terlihat berantakan?”
Mendongakkan kepala, terlihat wajah tampan sedang menunjukkan kekhawatiran. “Saya tidak sengaja menjatuhkan berkas ini.”
Namun, sang lelaki tentu melihat bekas tamparan Jessica di pipi karyawan magang tersebut. “Siapa yang memukul pipimu?”
Hanae menggeleng, “Tidak ada yang memukul pipi saya, Tuan Ezra. Saya tadi terbentur dinding.”
Napas Ezra mulau memburu dengan amarah, “Xavion memukulmu?”
Hanae cepat menggeleng, “Tidak! Xavion tidak memukul saya!”
Lalu, Ezra melihat kacamata sang gadis yang retak tak bisa lagi dipakai. Detik berikutnya ia ikut bersimpuh di atas lantai dan membantu mengambil semua kertas dengan cepat.
“Tuan tidak perlu melakukannya, saya bisa membereskan semua sendiri,” ucap Hanae merasa sungkan harus merepotkan lelaki satu ini, bukan bosnya pula.
Ezra menggeleng kian lirih. “Sudah, cepat bereskan ini dan akan kubawa kamu ke optik untuk membeli kacamata baru.”
Sang wanita cepat menolak, “Jangan, tidak usah dibelikan kacamata baru, Tuan. Saya tidak ingin merepotkan dan menjadi beban bagi Tuan Ezra.”
“Sejak kapan aku pernah merasa bahwa kamu merepotkan dan menjadi beban?” jawab Ezra dengan suara parau menahan getar pilu.
Hanae tertegun, pertanyaannya ...?
Kalau kalimat Ezra seperti itu, bukankah seolah mereka sudah saling mengenal lama dan ia berkali-kali dibantu oleh sang lelaki tanpa dirasa menjadi beban atau pun merepotkan?