“Apa maksudmu berhenti bekerja, hah?” Xavion menatap kesal pada pelayan yang sudah bekerja padanya selama 10 tahun terakhir. “Apa kamu sudah bicara pada ibuku mengenai ini?”
Seorang wanita berdarah Mexico mengangguk. “Saya sudah berbicara pada Nyonya Gladys kemarin, dan beliau mengerti keputusan saya ini memang harus diambil. Ibu saya sakit di desa, dan dia tidak bisa lagi bangun dari ranjang. Seseorang harus ada di sana untuk menjaganya.”
“f**k!” desis Xavion menggeleng, mengusap bagian bawah wajahnya bersama napas terengah. “Apa kamu tahu susahnya mencari pelayan yang bisa dipercaya sekarang ini, Maria? Aku bisa saja mencari pelayan baru, tapi bagaimana kalau dia ternyata pencuri! Atau, bagaimana kalau dia ternyata kiriman musuh untuk memata-mataiku!”
“Kamu sudah bekerja pada keluargaku sejak aku masih kuliah1 ibuku menaruhmu di sini untuk menjadi pelayanku karena kami mempercayaimu, goddamn it!” protesnya masih berharap sang pelayan tidak akan berhenti bekerja dan pulang kampung.
Wanita paruh baya bernama Maria hanya bisa menghela panjang dan berat. “Maafkan saya, Tuan Xavion. Saya juga kalau tidak terpaksa, tidak akan berhenti bekerja. Saya selalu suka bekerja di sini bersama Tuan.”
“Aku hanya bisa percaya denganmu! Aku bisa bebas membawa siapa pun pulang ke rumahku tanpa harus takut kamu akan membocorkan ini dan itu kepada siapa saja, termasuk ibuku sendiri! Aku tidak mau kamu berhenti!” hentak sang jaksa masih memaksa, pelayan itu tidak boleh berhenti!
Namun, Maria kembali menggeleng. “Maafkan saya, Tuan Xavion. Sungguh, saya meminta maaf. Tapi, saya akan pergi dari sini nanti malam. Saudara saya akan datang untuk menjemput.”
“Aaah, f**k!”
Di saat itu, terdengar langkah kaki memasuki ruang tengah. “Ada apa? Kenapa kamu berteriak?”
Ezra datang bersama Chaiden. Keduanya menatap Xavion dengan mimik khawatir.
“Maria mau berhenti bekerja! s**t! Di mana aku bisa mencari pelayan seperti dia!” geleng Xavion, lalu duduk di kursi dengan lesu. “Coba kamu rayu dia agar tidak berhenti bekerja, Ezra!”
Ezra tertawa kecil mendengar permintaan sahabatnya. “Maria sungguh mau berhenti? Kenapa? Sudah bosan, ya, diomeli terus oleh Xavion?”
Pelayan berambut keriting menggeleng, ikut tertawa lirih. “Tuan Xavion adalah majikan yang sangat baik. Saya suka bekerja untuknya, tapi saya harus pulang. Ibu saya sakit keras dan tidak ada yang menjaganya.”
“Hmm, sepertinya dia memang tidak ada pilihan,Xavion. Minta saja Aunty Gladys mengirim pelayan lain dari rumahmu kemari,” usul Chadien menyebut nama ibu sahabatnya.
Ya, karena mereka sudah bersahabat cukup lama, maka nama-nama anggota keluarga satu sama lain juga sudah saling tahu. Apalagi, keluarga Chaiden memiliki hubungan yang erat dengan keluarga Xavion bahkan sejak mereka masih sama-sama kecil.
Tidak seperti Ezra yang baru saja dikenal oleh keduanya sejak masuk menjadi jaksa, Xavion dan Chaiden sudah memiliki sejarah pertemanan mereka sendiri sekitar 20 tahun ke belakang.
“Entahlah, aku tidak bisa berpikir. Siapa yang akan membersihkan rumahku, menyiapkan sarapan pagi, dan menjaga semua rahasia wanita mana saja yang masuk ke rumah ini kalau bukan Maria? s**t, aku pusing sekali!” desis Xavion tidak merasa usul pelayan lain meski dari ibunya adalah usul yang bagus.
Ezra menyahut, “Sudah, masalah Maria berhenti bisa dipikir sambil perjalanan menuju camping ground. Rombongan sudah berangkat dari sekitar dua jam lalu. Kita harus segera berangkat.”
“f**k, aku selalu benci camping ground. Tidak ada yang menarik dari duduk di api unggun berkeliling, bernyanyi bersama, dan mengatakan pada seluruh karyawan betapa kita saling menyayangi satu sama lain secara munafik!” gelak Chaiden sembari menggigit apel yang terletak di atas meja.
Apel yang disediakan Maria untuk Xavion. Apel yang membuat sang jaksa temperamental berpikir siapa lagi akan menyiapkan buah segar untuknya? Ini sungguh kesialan tersendiri baginya.
Akan tetapi, mau tidak mau mereka harus berangkat. Ia berdiri sambil mengembus panjang. “Ya, sudahlah, kalau memang kamu mau berhenti. Aku akan memberimu uang jasa yang cukup untuk kamu hidup selama satu tahun. Akan aku kirim ke rekening bank-mu setelah ini.”
Maria mengangguk dan tersenyum haru, “Saya sangat berterima kasih, Tuan Xavion. Maaf, karena saya harus meninggalkan Anda seperti ini. Semoga Tuan segera menemukan istri yang bisa merawat dengan baik seperti saya merawat Tuan selama ini.”
Ucapan itu sontak membuat Ezra serta Chaiden tertawa geli. Keduanya sanksi doa Maria akan terkabul, mengingat Xavion gemar mengencani wanita yang berbeda tiap bulannya.
“Ya, Xavion mendapat istri sama saja seperti berharap hakim tertidur saat persidangan!” kekeh Chaiden menggeleng. “Atau sama saja seperti mengharap matahari terbit dari Utara dan tenggelam di Timur!”
Ada saja yang dibawa pulang ke rumah ini untuk bercinta satu malam dan kembali menjadi asing di kemudian hari. Entah kenapa meski sudah tahu Xavion begini, tetapi Jessica tetap saja mengejar seakan tidak ada lelaki lain.
Apakah cinta memang sebuta itu bagi Jessica?
Xavion tersenyum dingin mendengar ucapan Maria. Ia menggeleng, lalu tertawa kecil pada kedua sahabatnya. “Terus saja tertawa dan akan kutinggal kalian di sini. Berangkat saja sendiri ke camping ground sana!”
Ketiganya kemudian melangkah keluar dari rumah. Sebuah mobil Cherokee edisi lawas dikeluarkan Xavion dari dalam garasi. Sebuah mobil yang sangat ia sayangi melebihi benda apa pun di dunia.
Bersama mobil itu ada kenangan terindah bersama ayahnya sebelum tergantikan dengan memori kelam di mana ia melihat sang ayah meninggal bersama tubuh mengeluarkan darah dari berbagai tempat setelah mengalami 27 tusukan.
Ezra duduk di depan, mendampingi Xavion. “Ayo, kita selalu terlambat dan panitia selalu memandang murka ketika kita datang.”
“Hmmm ...,” angguk Tuan Muda Young tersenyum dingin.
Maka, berangkatlah mereka menuju perkemahan. Menuju sesuatu yang akan mengubah hidup Xavion untuk selamanya.
***
Di lokasi camping ground bernama Yellow Valley rombongan kejaksaan sudah sampai dan semua turun dari atas bus. Fanty yang didapuk oleh panitia sebagai pembagi kamar mulai menjalankan rencana busuknya dengan penuh semangat.
“Jorge, Matt, dan Clark, kalian ada di kamar 07!” seru Fanty, lalu memberi kunci pada salah satu teman lelakinya.
“Aku, Deasy, dan Margie akan berada di kamar nomor 09!”
Hanae berdiri seorang diri sambil memanggul tas ransel di punggung serta tas Gucci dari Xavion yang ia peluk di depan dadanya. Menunggu kamar nomor berapa yang akan dia dapatkan dan dengan siapa yang menjadi teman sekamar.
“Hanae Liason Tan! Kamu ada di kamar nomor 02!” senyum Fanty, lalu memberikan kunci kamar pada sang junior. Senyum penuh kelicikan tiada tara.
Deasy dan yang bernama Margie menahan tawa di belakang Fanty. Keduanya sungguh ingin terbahak saat Hanae dengan polosnya melangkah maju dan menerima kunci tersebut.
“Aku sekamar dengan siapa?” tanya gadis panti asuhan itu dengan polos.
Fanty memajukan wajah, mendekatkan bibir ke telinga Hanae, lalu berbisik, “Sayangnya, tidak ada yang mau satu kamar dengan gadis kotor bau ketiak nenek-nekek sepertimu! Setiap kamu lewat, aroma kematian usia tua tercium dari tubuhmu dan itu membuat kita semua merinding!”
Menarik napas panjang, sungguh sakit hati Hanae mendengarnya. Tak ada yang mau satu kamar dengannya? Apakah dia benar-benar dianggap seperti penyakit menular yang harus dijauhi?
“Cepat ambil kunci ini dan segera masuk ke kamarmu. Tiga jam dari sekarang kita akan mengadakan persiapan api unggun. Semua harus berkumpul di pinggir hutan, mengerti? Kalau kamu tidak muncul, akan kugagalkan review magangmu, b***h!”
Ih, siapa di sini sebenarnya yang bersikap seperti b***h? Fanty seperti maling teriak maling!
Hanae mengangguk, mengambil kunci bertuliskan nomor 02 dengan pilu dan berusaha setengah mati agar air mata tidak turun membasahi pipi. Langkahnya gontai menuju kabin dengan nomor 02.
Saat berjalan, ia bisa mendengar suara Deasy berteriak. “Hati-hati di kamar seorang diri! Siapa tahu ada hantu yang tertarik padamu! Karena memang hanya orang mati saja yang bisa tertarik padamu! Hahaha!”
Tak ada yan melihat, Hanae menunduk dengan satu bulir bening menetes dari ujung pelupuk. Masih tak mengerti kenapa terus di-bully seperti ini? Ia cepat menghapus air mata dan menoleh ke kanan serta ke kiri. Suara batinnya mencari sesuatu.
‘Di mana Ezra? Apa dia tidak ikut acara ini? Aku juga tidak melihat Xavion. Apa mereka tidak ikut?’
***
Sampai di kabin 02, ia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Kening mengernyit kenapa ada tiga ranjang yang terlihat siap dipakai lengkap dengan selimut dan handuk bersih dilipat di atasnya.
‘Harusnya aku sendiri di kamar ini, bukan? Kenapa ada tiga ranjang yang siap dipakai? Apa Fanty tidak salah menempatkanku di sini?’
Ia duduk di ranjang paling pinggir dekat pintu. Napas lirih terembus kasar. Menatap sekitar kabin, dinding terbuat dari kayu, serta ada lampu gantung yang nampak sederhana di tengah atap.
'Semoga kali ini tidak ada yang mengerjaiku seperti saat SMA dulu. Mereka membawaku ke tengah hutan, lalu meninggalkanku di sana untuk tersesat,’ kenang Hanae bersama mata yang mulai berkaca-kaca.
Entah penderitaan apa yang sudah ia alami sejak kecil. Menjadi gadis berotak encer hingga selalu mendapat nilai tertinggi di kelas dan memperoleh beasiswa ternyata bisa membuat banyak murid menjadi iri. Di mana rasa iri tersebut membuatnya terus menerus dirundung masalah.
Ia merebahkan diri, mencoba untuk berpikir positif dan bertahan karena semua ini memang diperlukan. Ia harus mengikuti berbagai acara di gedung kejaksaan untuk mendapat review sempurna pada penilaian magang.
Rasa lelah baik fisik maupun batin mulai menyerang hingga perlahan matanya tertutup. Membayangkan hal-hal indah seperti dirinya yang menjadi jaksa senior paling keren di Los Angeles, ia mulai terlelap tak lama setelahnya.
***
Suara angin yang mendorong ranting pohon hingga mengenai kaca jendela membuatnya terbangun. Terkejut karena hari sudah mulai gelap, ia segera melirik jam tangan. ‘Oh, syukurlah! Masih dua jam lagi sebelum persiapan api unggun!’ ucapnya lega sambil menggosok mata yang mengantuk.
Merasa gerah dengan keringat di bis, ia memutuskan untuk menyegarkan diri sebelum mengikuti acara api unggun. Kaki berkulit seputih s**u dan mulus itu turun dari atas ranjang. Ia berjalan menuju tas ransel berwarna merah bulukan di atas meja.
Mengambil sebuah handuk, pakaian dalam, serta pakaian ganti, langkahnya kini bergerak menuju kamar mandi.
“Eh, kenapa pintunya rusak begini?” engah Hanae saat pintu kamar mandi yang berbahan kayu dan terlihat lapuk sedemikian sulit untuk ditutup.
Tidak usah dikunci, menutup sempurna saja susah. Ada celah sekitar 10 sentimeter antara pinggir pintu dengan pinggir kusen.
“Hmm, untung aku di kamar ini sendirian. Coba ada teman lain sungguh aku akan malu karena pasti mereka bisa melihatku mandi dengan jelas.”
“Ada apa dengan pintu ini? Astaga! Aku akan mengatakannya pada pihak pengelola!” gerutu Hanae akhirnya pasrah dan membiarkan pintu itu terbuka selama dia mandi setelah ini.
Melepas pakaian lusuhnya, termasuk pakaian dalam yang juga entah sudah berapa tahun dipakai, raga molek sang wanita mulai polos tanpa balutan kain apa pun.
Ia menggantung segitiga tipis berwarna putih yang bagian karet atasnya sudah molor, bahkan ada bolong berdiameter setengah sentimeter di bagian b****g.
Jangan tanya bagaimana dengan bra yang dia pakai. Pada bagian kaitan yang harusnya ada tiga kaitan di sisi kanan dan kiri, kini hanya terlihat ada satu kaitan di kanan dengan dua kaitan di kiri.
Astaga! Sedemikian parah nasib Hanae hingga pakaian dalam pun ia tidak bisa memiliki yang layak. Menyedihkan, kenapa orang lain justru tega merundung wanita yang benar-benar miskin seperti dirinya?
Mulai menyalakan shower, air hangat meluncur turun. Ia sudah menggelung rambut panjangnya ke atas, tidak ada rencana untuk keramas senja ini. Air mulai membasahi leher dan terus turun hingga mengenai d**a -yang ternyata- montok padat berisi, tetapi selalu tidak terlihat akibat tertutupi baju kebesaran yang ia pakai setiap hari.
Matanya terpejam sambil tersenyum sendu. Air hangat menyentuh kulit adalah apa yang ia paling sukai. Seakan dengan jatuhnya buliran ke atas lantai kamar mandi, terbasuh juga rasa sedih yang menggelantung di dinding jiwa.
***
Sementara Hanae sedang mengambil barang-barang untuk masuk ke kamar mandi, Trio Jaksa Panas sudah sampai di Yellow Valley. Xavion turun dan membawa tubuh gagahnya ke sebuah kabin bertuliskan 02. Ia memegang kunci yang diserahkan oleh Fanty beberapa menit lalu.
“Kamu masuk saja dulu ke kabin. Aku mau membantu panitia. Panggangannya ada yang rusak,” ujar Ezra mengambil jalur yang berbeda.
Sedangkan Chaiden, “Aku melihat ada ranger seksi saat kita datang. Sepertinya dia pemandu hutan. Mungkin dia yang akan menjadi guide kita saat memasuki hutan besok.”
Xavion melirik malas, “Sehingga?”
“Sehingga aku akan mencarinya. Aku akan memandu dia ke puncak kenikmatan sebelum dia memandu kita memasuki hutan. Aku akan menelusuri tubuhnya sebelum dia mengajak kita menelu—“
“Oke! Oke! Spare me the detail! Aku tidak mau dengar bagaimana kamu bercinta dengan seorang penjaga hutan yang seksi! Gosh!” potong Xavion menggeleng dan mengerutkan keningnya.
Chaiden tergelak, “Kamu harus keluar dari selera wanita sosialitamu, Xavion! Kamu tidak tahu bahwa wanita perkasa seperti seorang ranger seksi yang tadi sudah saling mengedipkan mata padaku, biasanya adalah sangat jago di ranjang!”
“Aku lebih suka wanita sosialita, terima kasih! Mereka cantik, harum, seksi, terpelajar, dan mereka juga hebat di ranjang. Ranger seksimu mungkin saja bau beruang!” desis Tuan Young disambut gelak tawa lagi oleh Chaiden.
Keduanya pun mengambil jalur yang berbeda. Xavion menuju kamar 02, Chaiden menuju ranger seksi yang mungkin saja bau beruang.
Sampai di depan kamar 02, Xavion memasukkan kunci. ‘The f**k? Kenapa pintunya sudah terbuka?’ bingung sang jaksa.
Dengan sangat perlahan ia dorong pintu tersebut hingga terlihatlah ranjang paling pinggir dekat pintu bekas ditiduri seseorang. Ia juga melihat ada tas ransel merah belel di atas ranjang dengan beberapa baju di sampingnya.
Yang tidak dia lihat adalah tas Gucci Hanae karena tertutup oleh beberapa baju yang dikeluarkan dari tas ransel sebelum mulai melangkah ke kamar mandi.
‘s**t? Ada yang mandi di kamar mandiku? The hell? Apa Fanty salah memberikan kunci kamar? Apa yang terjadi!’ heran Xavion memandangi pintu kamar mandi yang nampak bercelah sekitar 10 sentimeter.
Tak ada pikiran lain kecuali mencari tahu siapa yang lebih dulu menempati kamarnya. Maka ia berdiri di depan ranjang dan mata menatap ke dalam kamar mandi melalui celah pintu yang terbuka cukup lebar.
Dan di situlah saat ia melihat seorang wanita tanpa busana ... basah ...!