Ch.11 Kamu yang Jatuh Cinta

2351 Words
Xavion memasuki ruangan. Tatap langsung tertuju pada Ezra yang sedang berdiri di depan meja Hanae. Kemudian, ia menyorot lebih tajam pada paper bag. Yakin kalau di dalamnya ada tas Kate Spade yang semalam sudah dihempas kembali ke security. “Apa Officer Jackson tidak mengatakan padamu bahwa Hanae tidak mau menerimanya?” Suara berat, tegas, mengintimidasi menguar di udara. Hanae menahan engah. Wajah Xavion seperti hendak memakan Ezra detik itu juga. Ia ganti memandang pada pria yang kemarin membantunya membereskan berkas berceceran. Membantunya lolos pula dari bully-an Fanty dan Deasy. Merasa bersalah sangat pada Ezra. Ia perhatikan bagaimana sahabat Xavion tersebut tetap tenang meski menghadapi sorot mata serta suara intimidasi dari bosnya. “Lain kali kalau mau memberi sesuatu pada anak buahku, tanya terlebih dahulu!” desis Xavion sambil memberikan seringai sinis. “Hmm,” gumam Ezra, tersenyum datar dan membalas tatap tajam sahabatnya dengan tatap yang juga datar. Ia tidak tampak terintimidasi sama sekali meski sikap Xavion seperti itu. “Mari kita bicara di ruanganmu,” tegasnya, tidak ingin ada keributan di depan publik. Xavion tak menjawab, tetapi kemudian cepat melangkah memasuki ruang kerjanya dan membiarkan pintu terbuka. Pertanda dia setuju untuk membahas lebih lanjut secara pribadi. Kaki Ezra mulai melangkah juga, mengikuti jejak sahabatnya. Akan tetapi, kemudian ada suara berbisik memanggil, membuat ia berhenti berjalan. Menoleh ke kanan, gadis panti asuhan tengah memandanginya sedih. “Uhm, Ezra, sudah, bawa saja tasnya. Aku tidak ... uhm ... aku ... maafkan aku, ya? Tapi, uhm ... sudah, pokoknya kamu bawa saja,” bisik Hanae, menatap dengan sorot bersalah. Gamang dan takut lelaki itu dimakan hidup-hidup oleh bosnya. Ezra tertawa kecil, kemudian mengangguk, “Iya, sudah, tenang saja. Tidak masalah. Kembalilah bekerja, jangan khawatir. Aku akan mengobrol dengan Xavion.” Lalu, Hanae tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia mengangguk, pasrah akan apa yang terjadi di dalam sana nanti. Duduk lesu di kursi, memandangi tas Gucci dari Xavion. Harusnya senang karena dibelikan tas sedemikian bagus dan mahal. Akan tetapi, ternyata hati justru dirundung kekhawatiran tersendiri. *** Menutup pintu ruangan, kemudian Ezra duduk di seberang sahabatnya. Ada sebuah meja kerja memisahkan mereka. Xavion terus mengamati setiap gerakan dengan tatap dingin. “So, apa yang mau kamu bicarakan denganku?” Mulai sang jaksa menyeringai, smirk. Ezra tersenyum, selalu tenang pembawaannya. “Kenapa kamu begitu marah aku memberikan sesuatu pada Hanae?” “Kamu jatuh cinta dengan karyawan magangku?” tukas Xavion langsung pada inti permasalahan yang mengganggu batinnya. Tertawa kecil, Ezra membalas dengan pertanyaan serupa. “Kamu jatuh cinta dengan karyawan magangmu?” “The f**k? Apa-apaan kamu mengembalikan pertanyaan itu padaku!” kesal Xavion mengerutkan kening hingga alis tebalnya menyatu di tengah. Lawan bicara kembali tertawa santai, “Tingkahmu seperti orang cemburu, tidak mau kalah. Aku belikan Kate Spade, kamu belikan Gucci? Kenapa melarang Hanae menerima tas dariku?” “Aku tidak suka ada yang mencampuri urusan timku. Kamu sudah tahu itu sejak lama!” “Aku tidak mencampuri urusan apa pun dengan timmu. Ini murni hanya rasa kasihan pada Hanae. Kenapa kamu begitu marah?” Mata Xavion memicing, “Pokoknya, aku tidak suka kamu membelikan dia ini dan itu! Hanae akan menganggapmu bos terbaik sedunia, sementara aku adalah bos terburuk sedunia! Apa itu memang tujuanmu?” Begitulah Xavion. Sudah bersahabat dengan Ezra sejak mereka masih baru masuk gedung kejaksaan, tetapi jika sedang murka maka siapa pun tak akan menjadi sahabatnya. Tuan Muda Wu menggeleng lirih, “Kalau kamu memang ingin dilihat sebagai bos yang baik, mungkin kamu harus memperlakukan dia dengan lebih baik. Apa kamu tidak lihat bekas tamparan Jessica di ujung bibirnya?” “That girl’s a freakin’ b***h and you know it!” desis Xavion berkata tentang Jessica. “Dia datang kemari mengejarku yang sudah akan makan siang dengan Jaksa Agung. Dia bertabrakan dengan Hanae di depan lorong kamar berkas. Mendadak, sebuah tamparan terdengar. Apa yang harus kulakukan?” “I don’t know, menampar Jessica balik?” tanggap Ezra sambil tersenyum bergurau, tetapi mimik wajahnya serius. Xavion mendengkus, “Are you f*****g crazy? Apa kata orang kalau aku menamparnya? Kamu ingin aku diusir dari gedung ini, hah? Dia menjambak Hanae dan aku sudah menghentikannya, apa Hanae tidak menceritakan ini padamu?” Wajah tampan Ezra mengangguk. “Ya, dia sudah menceritakannya. Tapi, kamu meninggalkan dia untuk membereskan sekian banyak berkas seorang diri. Dia ditertawakan orang-orang yang lewat. Apa kamu tidak merasa kasihan padanya?” “Kamu sendiri kenapa merasa kasihan padanya? Kamu tidak pernah terlihat peduli pada wanita mana pun. Kamu juga tidak terlihat peduli pada petugas kebersihan atau security yang sudah tua merana hidupnya!” desis Xavion tersenyum malas. “Kenapa tiba-tiba sedemikian peduli pada Hanae? Apa ada sesuatu antara kamu dan dia yang tidak aku ketahui?” tuduhnya, menatap lebih dalam lagi. Hati Ezra bergemuruh mendengar pertanyaan itu. Apa ada sesuatu antara dia dan Hanae yang tidak diketahui oleh Xavion? Ya, tentu saja ada. Sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun juga. Sudah dipesan sejak lama, sejak 15 tahun lalu bahwa dia harus menjaga rahasia tersebut. “Aku hanya peduli padanya sebagai sesama manusia, itu saja. Dan apa kamu tahu kalau Fanty serta Deasy terus merundungnya? Kamu tidak mau berbuat apa pun tentang itu?” “Dan apakah kamu lupa bahwa aku tidak suka ada orang yang mencampuri urusan timku?” tanggap Xavion semakin ketus. Pintu ruangan mendadak dibuka dan satu sosok lelaki tinggi gagah masuk ke dalam. “Morning, Girls!” sapanya terkekeh riang. Dia adalah Chaiden Black. Berbeda dengan Xavion serta Ezra yang memiliki ras Asia, wajah Chaiden justru seperti orang Turki atau Eropa pada umumnya. Kulit putih pucat, rambut cokelat ikal dan tebal, serta mata kecokelatan. Satu hal yang sama adalah lelaki itu juga sangat tampan. Ketiganya merupakan simbol kejantanan di gedung kejaksaan. Mereka yang bekerja di gedung keadilan sering mengharap keadila pada alam semesta. Yaitu, membuat mereka jadi kekasih salah satu dari ketiga pria menawan. Sama-sama pula berusia kepala tiga, dan tentunya sama-sama betah melajarng. Akan tetapi, jika Xavion dan Chaiden gemar berganti wanita di atas ranjang, tidak demikian halnya dengan Ezra. Melihat sapaannya tidak ditanggapi dengan baik, pria bertubuh kekar tersebut keheranan. “Ada apa ini? Apakah dua sahabatku bertengkar? Ah, ayolah. Kemarin lusa kita minum bersama di pub dan membahas b****g gadis Mexico seksi yang kuhajar dari belakang! Kenapa sekarang kalian bertengkar?” “Ezra jatuh cinta dengan karyawan magangku, dan berusaha membuatku terlihat seperti bos yang kejam di hadapan Hanae!” sahut Xavion, terkesan mengadu, meski memang iya sedang mengadu. Yang diadukan tertawa kesal, “Aku tidak jatuh cinta pada Hanae. Justru Xavion yang jatuh cinta dengan karyawan magangnya sendiri, dan cemburu padaku karena aku menolong Hanae dari serbuan Jessica, Fanty, serta Deasy.” “Jessica menyerbu anak magangmu?” bingung Chaiden menatap pada Xavion. “Yang di luar dengan baju lusuh dan wajah polos seperti seorang biarawati itu?” Seringai Xavion terlukis jelas, “Yup, namanya Hanae. Dan Ezra jatuh cinta padanya. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada Hanae, Chaiden! Kamu lihat sendiri bagaimana dia, bukan? Mana mungkin aku jatuh cinta pada wanita seperti itu! Dia sama sekali tidak menarik!” sangkalnya menegaskan dengan sangat jelas. “Kamu yang jatuh cinta padanya! Aku hanya melihat dia sebagai seorang adik!” sanggah Ezra. “Dan berhentilah berkata Hanae tidak menarik atau jelek atau apa pun juga! Kenapa kamu harus menghinanya begitu?” “Sejak kapan kamu perhatian pada seorang wanita dan menganggapnya adikmu? Lagipula, gadis itu memang tidak menarik!” Chaiden kini menatap bingung pada Ezra. Xavion terkekeh menang, “Nah, exactly my point! Dia sungguh tidak menarik! Kamu dengar itu, Ezra? Akui saja kalau kamu jatuh cinta dengan Hanae!” Embusan panjang menguar dari bibir Tuan Muda Wu. Ia mengangguk, “Oke, aku jatuh cinta pada Hanae. Jadi, mulai sekarang aku akan mendekatinya, memberikannya hadiah mewah, supaya dia juga jatuh cinta padaku.” “Di saat dia sudah mau jadi kekasihku, maka aku akan melamarnya. Kami akan menikah dan dia akan menjadi istriku. Jadi, sebagai sahabat yang baik, Xavion, tolong jangan halangi aku untuk mendapatkan cinta Hanae.” Sontak wajah Xavion melongo dan ia bisa merasakan ada gejolak panas di dalam d**a. Sejak tadi menuduh sahabatnya jatuh cinta. Setelah diiyakan kenapa mengamuk sendiri? Xavion memang adalah makhluk yang aneh! “The f**k? Siapa bilang kamu boleh mengencani dia, hah! Dia anak buahku! Dia sedang magang untuk bisa lulus kuliah! Kalau kamu mengencani dia, nanti kerjanya tidak beres! Aku akan memberi ulasan yang sangat buruk sehingga dia tidak bisa lulus!” ancam Tuan Muda Young dengan ekspresi teramat serius, Chaiden menghela kasar, lalu menggeleng. “Aku pikir kalian berdua sudah gila! Kalau kalian memperebutkan Kendall Jenner, aku akan merasa wajar. Tapi, gadis di luar itu, siapa tadi namanya? Hanggar? Handal? Aku bahkan tidak mengingat namanya!” “HANAE!” seru Xavion dan Ezra bersamaan. Seruan yang sangat kencang dengan tatap kesal pada Chaiden. “Iya, iya, Hanae! Goddamn, Guys! Apa-apaan! Kenapa kalian sekarang jadi marah padaku! Aku tidak bersalah di sini!” sahut Chaiden makin terbelalak dan menggeleng jengah. Lalu, pria yang usianya sudah 37 tahun dan belum ada tanda-tanda tertarik pada dunia pernikahan tersebut berucap. “Guys, kita sudah bersahabat bertahun-tahun. Aku akan sangat murka pada kalian kalau sampai bertengkar karena berebut wanita!” “So, drop it right now! Aku tidak mau melihat kalian bertengkar lagi! Kita adalah lelaki terhormat, Trio Hot Prosecutor yang digilai banyak wanita! Jangan membuat malu diri kita sendiri dengan bertengkar perkara wanita!” Ezra tertawa kecil, kemudian menggeleng. Ia meletakkan paper bag berisi tas Kate Spade di atas meja Xavion. “Aku tidak ada niatan bertengkar sama seperti aku tidak ada niatan membuatmu terlihat buruk di depan Hanae.” Ia berdiri, merapikan jas hitamnya, lalu berucap tegas. “Tas ini aku belikan untuk Hanae. Aku tidak ada niat memberikannya pada siapa pun juga. Jadi, aku letakkan di sini dan silakan kamu buang kalau memang Hanae tidak boleh memilikinya.” “Satu pesanku, jangan kamu perlakukan dia dengan buruk, Xavion. Aku tidak akan bisa menerimanya, oke? Sudah, aku ada sidang pagi ini. Aku akan bersiap. Bye! Sampai jumpa besok pagi di rumah Xavion. Kita berangkat bersama ke acara camp keakraban, bukan?” Xavion menjawab dengan malas, “Hmm, ya, kita berangkat bersama. f**k, sudah, kasihkan saja tas ini kepada Hanae. Tapi, lain kali kalau mau berbuat sesuatu yang menyangkut dirinya, bicarakan dulu padaku. Mengerti?” Ezra hanya tersenyum dan mengangguk. Solusi yang baginya cukup adil. Yang penting tas itu bisa dimiliki oleh Hanae. “Aku suka ini! Aku suka di mana kita bertiga penuh cinta dan kasih sayang pada satu sama lain! Oh, aku sungguh suka menjadi sahabat kalian berdua! I love you guys so much!” serunya sambil memeluk Ezra dan mencium pipi sang sahabat. Meski tahu Chaiden hanya bergurau, tetap saja Ezra memekik risih, “Apa kamu gila! Cium saja Xavion sana!” kesalnya mengusap pipi yang basah terkena bibir Chaiden. Namun, Xavion segera memberi peringatan ketika Chaiden hendak memeluk dan menciumnya. “Kalau kamu berani menciumku, aku tidak mau satu kendaraan denganmu!" Dan untuk ini, Chaiden tergelak, berhenti melangkah. “Man, aku lebih baik tidak berangkat daripada satu bus dengan karyawan lain dan mendengarkan mereka membicarakan opera sabun!" Memandangi Chaiden dan Ezra yang kemudian bergerak meninggalkan ruang kerjanya, Xavion hanya tersenyum dingin. Wajah angkuhnya berubah datar setelah dua sahabatnya tidak ada. Ucapan Ezra terngiang, “Oke, aku jatuh cinta dengan Hanae.” Dia tidak tahu itu serius atau tidak. Ingin percaya kalau tidak serius. Kemudian bertanya, kalau serius pun kenapa? Kenapa dia begitu tidak suka Hanae didekati sahabatnya sendiri? Masalahnya di mana? Oke, mungkin kemarin karena ada embel-embel tragedi Jessica. Akan tetapi, ke depannya? Apa dia juga akan terus merasa tidak terima? Dan Xavion, dia tidak bisa menjawab apa pun. *** Hari Sabtu pagi, karyawan lantai dua semua berkumpuk di depan gedung kejaksaan. Ada dua buah bus yang disewa untuk membawa mereka menuju kaki gunung, ke sebuah camping ground untuk menjalani acara tahunan berupa malam keakraban. Seharusnya semua naik bus itu, tetapi Xavion, Ezra, serta Chaiden selalu memilih untuk naik kendaraan mereka sendiri, kemudian berangkat sekitar tiga atau empat jam terlambat. Selalu begini dan tak ada yang bisa mencegah atau memberikan sanksi terhadap kebiasaan Trio Jaksa Panas. Hanae duduk sendiri di kursi belakang. Tak ada satu pun yang mau duduk di sampingnya. Tak apa, sejak dulu memang sudah selalu begini. Setiap ada acara sekolah pun dia selalu seorang diri duduk di bus, menatap jendela dan bertanya kapankah nasib akan berubah? Kadang juga bertanya untuk apa dia dilahirkan jika dunia hanya menjadi tempat yang sedemikian kejam padanya. Di bagian depan bus, ada Fanty, Deasy, serta beberapa karyawan wanita lain yang sejak tadi membicarakan Hanae dengan terang-terangan. “Lihatlah tas Gucci palsu yang selalu dia bawa itu! Kasihan sekali karena meski tasnya baru dan tidak bolong lagi, tapi tetap saja tidak membuatnya terlihat lebih menarik!” ejek Fanty berseru keras hingga membuat beberapa orang lain menertawakan Hanae. Gadis itu tidak mau ambil pusing. Dia tetap menatap ke jendela dan membawa angan ke tempat bahagianya sendiri. Biarlah dihina dan diejek, bukankah sudah biasa? Lalu, Deasy ikut mengolok-olok, “Aku kadang bertanya-tanya, apa dia tidak pernah diberi apa pun oleh orang tuanya hingga selalu menggunakan baju neneknya?” Sekali lagi, orang-orang di bis ikut menertawakan ejekan tersebut. Ironi, para petugas keadilan yang sama sekali tidak paham apa itu keadilan. Fanty berbisik pada Deasy dan juga tiga temannya lain, satu komplotan laknat. “Hey, apa kalian mau tahu rencanaku untuk Hanae setibanya kita di camping ground?” Terkikik, empat wanita berwajah culas mengangguk. Anak buah Xavion itu mengeluarkan selembar kertas. “Lihatlah, ini adalah data penghuni kabin untuk kita bermalam di sana. Kabin untuk Hanae ada di nomor 12. Tapi, aku akan mengatakan pada dia untuk beristirahat di kabin nomor 02!” Deasy melirik pada data di tangan sahabatnya. Mata terbelalak, begitu juga ketiga wanita yang lain. “Itu kamar Xavion, Ezra, dan Chaiden!” pekiknya berbisik. Gelak Fanty terdengar tertahan. Ia menjawab dengan bisikan pula, “Pssst! Bisa kalian bayangkan bagaimana reaksi tiga lelaki itu jika melihat Hanae tidur di ranjang mereka?” Kelima karyawan wanita tertawa licik, dan Deasy berbisik, “Xavion akan membantingnya ke atas lantai kalau sampai ranjangnya ditiduri wanita sekumal dan sekotor Hanae!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD