Ch.10 Supaya Terlihat Lebih Baik

2389 Words
Tempat pertama yang didatangi oleh Xavion adalah toko kacamata. Tak jauh dari kantor kejaksaan tempatnya bekerja. Sering melewatinya bila melintas hendak menuju pusat kota. “Pilih model mana pun yang mau kamu,” ucapnya setelah petugas selesai memeriksa ukuran minus di mata sang gadis cantik. Tak mau senang berlebihan. Bersama Xavion adalah definisi ditinggikan ke langit, lalu dijatuhkan hingga menembus lantai beton, masuk sampai ke kerak bumi. “Kalau yang ini bagaimana? Saya rasa cocok dengan bentuk wajah Nona yang oval,” ucap pramuniaga tersenyum manis bersama lipstik merah terangnya. Hanae melirik banderol harga di gagang kacamata. ‘$1500? Ya, Tuhan! Kenapa mahal sekali hanya frame? Lensa kacamataku yang dirusak wanita temannya Xavion hanya seharga $35!’ Xavion berucap dingin, “Coba saja. Aku suka model itu. Sepertinya bagus di wajahmu. Pakai kacamata yang modern, jangan seperti yang kemarin. Bentuknya seperti mendiang nenekku.” “Memang frame-nya adalah peninggalan ibunya Ma’am Lilac yang mungkin usianya sama seperti nenekmu,” tanggap Hanae menjawab dengan polos. Tak sadar kalau itu adalah sebuah ucapan satir dari bosnya. Melirik tajam pada karyawan magang di sebelahnya, jaksa tampan angkuh itu menyorot kesal. Kepalanya menggeleng serta hidung mengembus jengah. “Cepat pakai dan lihat bagus atau tidak!” hentaknya pelan. Tak ingin membuat bosnya lebih murka seperti di kantor sebelum ini, ia mencobanya dan memandangi diri sendiri di kaca. Perlahan, bibir Hanae tersenyum. “Kamu benar, kacamata ini terlihat bagus di wajahku.” “Dia akan mengambil yang ini,” ucap Tuan Young pada pramuniaga. “Siap, Tuan!” angguk penjual bersemangat. Lumayan, satu kacamata dengan harga yang cukup mahal karena berasal dari merek cukup terkenal pula, Arnette. Hanae melepas dengan cepat, lalu menggeleng. “Ti-tidak, ini terlalu mahal. Aku tidak bisa menerimanya, Xavion. Ini ... uhm, aku takut merusaknya. Apa kamu sudah melihat harganya?” bisik sang gadis kebingungan. Xavion menyeringai, “Berapa harga kacamata yang dibelikan Ezra untukmu?” “Sekitar $250,” jawab Hanae memandang culun dan polos. Makin lebar seringai sang lelaki. “Segera urus semuanya. Ini, bayar dengan ini,” ucap Xavion pada pramuniaga. Tak memedulikan bisikan Hanae yang bingung menolak kacamata mahal. “Sudah kubilang, aku cari yang lebih murah saja!” engah Nona Tan menarik-narik jas bosnya. Mata Xavion melirik lengannya yang terbungkus jas Armani kesukaan. Di mana ada jari Hanae sedang menarik-narik seperti anak kecil. Sebuah gerakan tubuh yang aneh baginya. Biasanya, wanita tidak menarik jas itu. Mereka justru membukanya dengan cepat. Menelanjanginya, lalu melebarkan kaki untuk bercinta. Sadar tangannya sedang menarik-narik jas di lengan Xavion dan itu membuat sang lelaki melirik dingin, Hanae cepat melepas. “Maaf ....” “Jangan bicara apa-apa lagi. Kacatama itu sudah aku beli untukmu. Apa urusannya dengan harga yang mahal? Kamu pikir aku akan miskin mendadak kalau membelinya untukmu, hah?” Dilarang bicara, maka Hanae menggeleng dan terdiam. Iya, iya, sudahlah. Mobilnya saja Bentley. Kacamata seharga $1.500 tentu enteng bagi Xavion. Selain menjadi jaksa -yang mana gaji pegawai negeri di mana-mana selalu kecil- dia sebenarnya memiliki pemasukan tinggi dari perusahaan mendiang ayah yang terus beroperasi hingga sekarang. Selesai membeli kacamata, keduanya kembali masuk ke dalam mobil. Suara berat nan dingin Xavion terdengar, “Sekarang, kita ke butik untuk membelikan tas kerja bagimu.” Mengangguk, Hanae tak mengeluarkan suara. “Kenapa diam saja? Masih menginginkan tas dari Ezra? Aku belikan yang lebih mahal!” desisnya memicingkan mata, sombong. Akan tetapi, kalau Xavion yang sedang menyombongkan diri entah kenapa justru terlihat keren meski wajahnya jadi lebih menyebalkan dari biasa. Hanae tetap terdiam, kali ini menggeleng. “Kamu ini kenapa tidak bicara? Lidahmu hilang separuh? Apa susahnya bersuara?” bentak Xavion. Menelan salivanya satu kali, Hanae kemudian berkata gugup, “Ta-tadi kamu ... tadi kamu bilang aku jangan bicara apa-apa lagi?” Mendadak, kaki Xavion menginjak pedal rem. Selain karena memang di depan adalah lampu merah. Akan tetapi, ia sangat kesal. “Haaa!” pekik Hanae terkejut hingga jantung berdebar kencang saat tubuhnya nyaris terlempar menubruk dashboard. Untung saja memakai sabuk pengaman. Xavion menjadikan matanya satu garis, memandang jengah. “Maksudku tadi itu jangan banyak mengoceh lagi soal kacamata! Bukan lalu kamu diam seribu bahasa begini!” Hanae melongo, “Oh ..., baik ....” Tangan Xavion menyugar rambut tebalnya sendiri dan ia menggeleng keheranan. “Bagaimana bisa orang sebodoh kamu kuliah hukum? Mau jadi apa kamu kalau sudah lulus? Menangani kasus dengan cara seperti ini, kasus belum dimulai saja kamu sudah akan kalah!” Wajah lugu Hanae menunduk. Ucapan Xavion menyurutkan semangatnya untuk bisa menjadi bagian dari gedung kehakiman seperti sekarang. Tak apa, lelaki itu bukan orang pertama yang merendahkannya. Tidak perlu dimasukkan hati, meski susah. “Kita akan beli tas di butik barang mahal. Pernah mendengar merek Gucci?” Yang tadinya menunduk langsung mendongak. Bibirnya melongo sekali lagi. “Sa-saya ... Tuan .... eh, kamu ... kamu a-akan ... kamu akan membelikanku tas Gucci?” “Asal kamu tidak banyak mengoceh, iya, aku akan mebelianmu Gucci. Jelas lebih mahal daripada Kate Spade yang dibelikan Ezra!” kekeh Xavion kembali memperlihatkan wajah angkuhnya. Hanae ingin berteriak kegiranga. Akan tetapi, ia jadi penasaran, “Kenapa sejak tadi kamu membandingkan harga yang Ezra belikan untukku?” “Karena aku bosmu! Dan jika ada orang yang harus terlihat baik padamu, itu adalah aku! Bukan Ezra atau lainnya!” sahut Tuan Young masih dengan senyum smirk dan wajah angkuh menawan. Hanae ingin tertawa, tetapi ia simpan dalam hati. ‘Terlihat baik? Astaga, jadi semua ini hanya sandiwara agar dia terlihat baik seperti Ezra? Baiklah ... tidak apa. Suatu hari nanti jika butuh uang untuk mengurus kelulusan, aku bisa menjual tas darinya,’ kikik sang gadis bergurau dengan dirinya sendiri. *** Saat Hanae sedang memilih tas dibantu oleh pramuniaga, Xavion menerima telepon dari seorang wanita. Ia menjauhi sang gadis, berdiri di dekat pintu keluar saja agar apa yang diucapkan tidak terdengar. “Yes, Mom?” “Aku mendengar dari Jessica kalau kamu memarahinya di kantor? Dia hanya ke sana untuk megajakmu datang ke acara penting yang dihadiri berbagai pejabat tinggi.” Gladys bersuara rendah dan lembut pada putranya. Xavion mengembus kasar, “Kenapa dia selalu mengadukan semua perbuatanku kepadamu, Mom? Dia seperti anak kecil! Dan kenapa Mommy selalu membelanya? Aku yang anakmu, bukan dia, Mom!” Ibu satu orang anak itu tertawa mendengar ocehan Xavion yang baginya tetap seperti ocehan saat lelaki itu masih kecil. “Jessica menyayangimu, cobalah jangan terlalu kasar padanya.” “Dia menampar dan menjambak karyawan magangku di lorong kantor!” tukas Xavion kembali mendengkus kasar. “Dia melakukan itu di depan orang berlalu lalang! Semua tahu dia adalah kenalan baikku!” “Apa kata orang kalau melihat dia berbuat sekasar itu? Aku bisa malu!” tandasnya memperjelas kenapa sampai menghardik dan mengancam Jessica cukup keras kemarin. Helaan panjang diembus Gladys, “Ya, sudahlah. Kamu harus lebih sabar dengan Jessica. Toh, dia yang nanti akan menjadi istrimu.” “Ah, please! Masalah ini lagi! Siapa yang bilang aku mau menikah dengannya? Tidak, Mom! Aku tidak mau menikah dengannya kecuali dia adalah wanita terakhir di dunia!” tolak Xavion terus terang. “Aku sudah mengatakan ini sejak bertahun-tahun lalu! Aku tidak ingin menikah dengan dia atau siapa pun juga! Berhenti menjodohkan kami!” “Jessica akan menjadi istri yang bagus untukmu. Tidak hanya dia berasal dari orang tua yang kaya raya, pengusaha terkenal, tetapi paman serta keluarga lainnya memiliki berbagai peran penting di pemerintahan. Di mana lagi kamu akan menemukan wanita seperti dia?” jelas Gladys, juga mengulang kalimat yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Sang bunda lanjut berkata, “Dia akan menjadi support system terbaikmu menuju gedung kejaksaan tinggi. Dari sana, kamu akan lanjut ke gedung senat. Dan suatu hari nanti, bisa kamu yang menjadi gubernur atau walikota. Tidakkah kamu melihat masa depan yang cerah bersamanya?” Xavion mengurut kening, “Yeah, aku bisa sampai ke kursi gubernur tanpanya jika memang aku mau. Tapi, sampai sekarang, aku masih betah dengan pekerjaanku sebagai jaksa senior.” Suara Gladys berubah parau. “Apa pun itu, Mommy minta kamu tidak lagi membela atau berhubungan terlalu baik dengan gadis miskin karyawan magangmu tersebut. Cukuplah tragedy ayahmu membuat hancur keluarga kita. Orang miskin yang terlalu diberi hati akan membunuh kita di saat ada kesempatan.” Xavion terdiam. Kata-kata ibunya membuat ia kembali pada peristiwa sekitar 20 tahun lalu. Suatu malam di mana ia masuk ke ruang kerja ayahnya pada pukul sembilan. Niatnya adalah menyerahkan pekerjaan rumah supaya bisa diperiksa. Akan tetapi, semakin mendekati meja sang ayah, semakin ia melihat genangan darah. Sebuah kaki tergeletak, sisa badan yang lain tertutupi meja. Dia ... adalah Xavion yang pertama melihat sang ayah tak lagi bernyawa. “Aku harus pergi, Mom! Bye!” Tak mau lebih lama lagi berbicara dengan ibunya dan membuat kenangan mengerikan sang ayah teringat lagi, ia segera mengakhiri sambungan. Dada kembang kempis, terasa panas membara mulai kerongkongan hingga wajah. 20 tahun berlalu dan kenangan tragis tersebut masih jelas terlihat seperti baru saja terjadi dua hari lalu. Ia menatap Hanae dari kejauhan. Memang gadis itu adalah gadis miskin, sama seperti pelayan yang membunuh ayahnya. Akan tetapi, tidak mungkin dia mengalami nasib yang sama seperti ayahnya, bukan? *** Selesai berbelanja, Xavion segera mengantar Hanae pulang ke panti asuhannya. Ia berdiam, memandangi gedung usang yang terasa cukup familiar. “Ada apa, Xavion?” tanya Hanae ikut memandangi tempat tinggalnya. “Kenapa melihat panti asuhan seperti itu?” Mengendikkan bahu, dengan lugas Xavion menjawab, “Aku seperti pernah tahu panti asuhan ini. Aku seperti sering melihatnya, tapi entah di mana. Apa aku dulu pernah mengunjunginya, ya?” Hanae terkikik, “Mana mungkin kamu pernah datang ke tempat panti asuhan seperti ini? Untuk apa?” Menoleh, Xavion melihat wajah polos Hanae sedang tertawa. Ia bisa sekilas melihat gores manis di sana. Berpikir jika saja gaya rambut gadis itu dibuat berbeda, lebih modern, mungkin ada goresan manis yang terukir lebih jelas? Ia mengendikkan bahu, “Aku tidak tahu, aku hanya merasa pernah melihatnya. Bangunan ini tidak asing rasanya bagiku. Tapi, sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Cepat turun dari mobilku.” Mengangguk, lalu Hanae membuka pintu kendaraan Bentley mewah berwarna hitam. “Selamat malam, Xavion. Terima kasih atas perhatianmu padaku.” “Bukan perhatian, aku hanya tidak mau Ezra dianggap bos lebih baik ketimbang aku. Mengerti?” tegas sang jaksa kembali tersenyum smirk dan berwajah angkuh. Hanae mengangguk, mengiyakan saja. Yang penting sudah ada dua tas Gucci di dalam paper bag di genggaman tangannya. “Selamat malam, hati-hati di jalan, ya?” pamitnya melambaikan tangan. “Hmm,” sahut Xavion. Dan begitu Hanae terlihat sudah memasuki pagar besi yang sepertinya akan roboh sebentar lagi, ia segera menekan pedal gas, meluncur jauh dari sana. Sebuah senyum dingin terukir, “Aku akan berbicara pada Ezra agar jangan ikut campur dengan timku setelah ini.” *** Keesokan hari, Hanae datang kerja dengan menggunakan sebuah tas Gucci berwarna hitam-cokelat yang sangat indah, memukau pula. Terlalu memukau karena kemudian disandingkan dengan baju lusuh yang ia kenakan. “Kasihan sekali, kamu memang hanya mampu membeli barang palsu!” ejek Fanty saat melewati meja Hanae dan melihat tas baru mengkilat. “Gucci yang palsu saja terlihat tidak cocok denganmu! Paling cocok memang tasmu yang bolong kemarin!” Yang diejek hanya tersenyum biasa, tidak ingin melawan atau memperpanjang masalah. Peduli apa dituduh tas palsu sementara tadi malam jelas-jelas berbelanja di butik asli bersama Xavion. Akan tetapi, Hanae tak ingin membuat bahan gibah apa pun bagi kantor ini. Dia tidak mau menceritakan pada siapa pun apa yang telah dilakukannya bersama Xavion semalam. Tahu kalau itu hanya akan membuat banyak wanita marah, iri padanya, dan berakhir dengan lebih merundungnya. Fanty mendekat, lalu tiba-tiba menggebrak meja Hanae. Ia berdesis dengan nada kejam. “Dengar, ya, wanita miskin yang menjijikkan!” “Meski kemarin Ezra membelamu, bukan berarti kamu bisa seenaknya di sini! Jangan mentang-mentang merasa memiliki pembela, lalu kamu sok berkuasa!” Hanae tetap diam dan menunduk. Sok berkuasa apanya? Dibentak begini saja dia sudah menciut padahal tidak ada salah apa pun. Fanty terkikik culas, “Ezra memang selalu baik pada siapa pun! Kamu pasti sudah menjual kesedihan padanya, kan? Oh, aku hanyalah gadis miskin yang tidak punya apa-apa! Kasihanilah aku, Ezra!” Lalu, tiba-tiba dagu Hanae dicengkeram dan kepalanya didongakkan paksa. Fanty menatap penuh kebencian. “Kamu membuatku dan Deasy kemarin dipermalukan di depan Ezra. Untuk itu, tunggu saja pembasalan kami berdua!” “Kamu tidak akan aman bekerja di sini sebelum aku dan Deasy membalaskan sakit hati kami berdua karena peristiwa kemarin siang! Tunggu saja! Aku akan membalasnya! Dan wanita miskin, bodoh, t***l, serta jelek sepertimu tidak akan bisa menang atasku!” Ia menghempas wajah Hanae ke belakang sambil melepas cengkeramannya di dagu. Satu kali melirik licik dan mengejek, lalu melenggang pergi. Hanae terengah, menatap punggung Fanty yang terus menjauh menuju meja kerja di ruangan sebelah. Ia segera mengambil tissue untuk menyeka wajah serta telapak tangan yang mengeluarkan keringat dingin. Sesudahnya, masih ia menyeka telapak tangan, ada langkah kaki memasuki ruangan. Sesosok lelaki tinggi dan tampan berjalan sambil membawa satu buah paper bag. Ezra datang, lalu meletakkan paper bag tersebut di atas meja Hanae. Keduanya saling pandang untuk sesaat di mana raut bersalah jelas membayangi wajah sang gadis. “Kalau kamu masih mau tas ini, biar aku yang berbicara dengan Xavion.” Oh, astaga, sepertinya Ezra sudah bisa menduga adalah Xavion yang melarang Hanae menerima pemberian darinya. “Uhm ... aku ... maafkan aku, ya? Sungguh, aku tidak bermaksud menolaknya. Tapi, aku ... jadi, kalau kamu marah, aku ... uhm ...,” gugup Hanae berkata tidak jelas. Dan lagi-lagi, ia menunduk untuk menyembunyikan rasa bersalah. Ezra tertawa kecil, berucap dengan suara mendayu tenang. “Aku tidak marah, sungguh, tenanglah. Aku baik-baik saja. Aku tahu kamu pasti masih menginginkannya. Ini, ambilah, biar aku yang berbicara pada Xavion.” Akan tetapi, mendadak ada suara berat dan tegas menyeru dari belakang Ezra. Rupanya Xavion sudah datang dan memasuki ruangan tanpa disadari. “Hanae sudah punya tas baru. Dia tidak butuh tas darimu. Bawa saja pergi dan kasihkan tas itu entah ke siapa. Coba kasihkan anak buahmu sendiri daripada kamu mengganggu anak buahku!” Menoleh ke belakang, tatap Ezra yang biasanya bersahabat telah berubah menjadi tatap emosi. Apalagi Xavion, tidak ada apa-apa saja wajah dan tatapnya sudah selalu menunjukkan emosi. Bagaimana dengan saat seperti ini? Jelas saja sorot matanya dipenuhi kilat emosi. Hanae menatap bergantian pada dua lelaki tinggi gagah yang saling berhadapan dengan api panas membara di kepala masing-masing. ‘Ya, Tuhan. Apakah Xavion dan Ezra akan berkelahi gara-gara tas?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD