Ch.09 Tragedi Traumatis

2110 Words
Kenapa pula Xavion harus marah-marah hanya perkara kacamata? Hanae menunduk. Seperti biasa, menautkan jemarinya dan meremas kencang setiap bentakan bosnya itu hadir di telinga. Di balik meja, tangannya menahan gemetar. Kenapa jadi begini? Kenapa semua yang dia lakukan selalu salah? Ada batin tak habis berpikir seolah diri hidup hanya untuk disakiti. “Kamu mengerti tidak apa yang kuucapkan!” Teriakan ini nyaris mencapai oktaf tertinggi. Mata yang meneriakkannya pun melotot, seolah ingin menelan hidup-hidup gadis mungil di depannya. Tak menjawab, Hanae hanya mengangguk sambil menahan napas berkali-kali. Mulai ujung kepala hingga ujung kaki terasa lemas karena dibentak dan terus dibentak. Untung dia sedang terduduk, kalau sambil berdiri mungkin sudah pingsan saking lemasnya. “Sana! Pergi saja ikut dengan Ezra! The f**k do you think I am!” ulang sang jaksa mengusir dengan hentak kesal. Pandang yang menatap lantai di depan meja bisa melihat sepatu hitam mengkilat Xavion bergerak menjauh. Lelaki itu memasuki ruang kerja dan meninggalkan Hanae kebingungan seorang diri di luar. Setelah membentak-bentak, mendadak pergi begitu saja. Hanae mengangkat wajah, tolah-toleh resah. Sudah boleh pulang atau dia harus menerima amukan sekali lagi? Terdengar suara kencang bedebum dari dalam ruangan sang JPU. Oke, Hanae tidak berani meninggalkan kursi ia duduk sebelum diperintah untuk pergi. Nilai magangnya bergantung pada apa kata Xavion serta tim secara keseluruhan. ‘Ya, Tuhan. Dia kembali kemari. Aku harus bagaimana?’ jerit sang gadis ketakutan, lalu menunduk dan meremas jari-jarinya semakin erat. Tak melihat apa yang dibawa oleh Xavion, mendadak sesuatu dilempar dengan kasar ke atas meja kerjanya. Sesuatu yang bundar, terbuat dari plastik tebal, dan dilapisi kain khusus berwarna hijau dengan lambang palang merah. “Sudah aku bilang tadi, kompres wajahmu dengan es di lemari pendinginku! Kenapa keras kepala sekali dan menolaknya? Apa telingamu itu tuli, hah?” Bingung, di satu sisi seolah ada perhatian. Sebuah kompres es diberikan pada Hanae, meski sambil dilempar. Di mana ternyata bunyi bedebum tadi adalah bunyi Xavion membanting pintu lemari pendinginnya. Akan tetapi, di sisi lain kalimat serta bahasa tubuh sang lelaki sama sekali tidak menunjukkan perhatian meski sedikit saja. Lebih mirip pada bentuk kemarahan dan kejengkelan akut. Dengan tangan gemetar, Hanae menerima kompres es tersebut. Ingin mengucap terima kasih, tetapi lidah pun sudah lupa cara berbicara saking takutnya dengan Xavion. Tuan Young ini kalau sudah mengamuk, tidak hanya bahasa tubuh yang mengintimidasi. Akan tetapi, suara apalagi tatap matanya bisa membuat nyawa seseorang melayang pergi dari badan. “Ambil tasmu! Kita pergi sekarang!” Makin bingunglah Hanae. Habis dimarahi, diajak pergi. Apa maunya lelaki satu ini? Dan seperti biasa, di saat dia bingung, yang terjadi hanya diam tak bergerak. “For the f*****g love of God!” erang Xavion ingin mencakar wajahnya sendiri karena sangat kesal, jengah tidak tertahankan melihat Hanae tetap menunduk diam. “Apa kamu sudah mati? Aku bilang, cepat ambil tasmu karena kita pergi sekarang!” “Kenapa diam saja!” Hanae kian gemetar karena dibentak lagi, bahkan lebih kencang. Ia mengambil tas kumalnya yang sudah bolong itu dan berdiri. Uh, kakinya teramat lemas. Mulai meragu apakah bisa berjalan setelah ini. “Cepat! Aku tidak punya waktu seharian untuk meladenimu!” desis Xavion, lalu mulai melangkah duluan di depan. “Ikuti aku ke parkiran mobil!” Sekian banyak kata dan paragraf, tak satu kalimat pun kita lihat meluncur dari Hanae. Gadis yatim piatu ini terus terdiam dan menahan bulir bening tidak meluncur turun. Baru tadi siang senang diperlakukan baik oleh Ezra. Kini, sudah harus menelan pil pahit lagi bersama Xavion. Oh, Hanae yang malang. Dia sama sekali tidak tahu apa yang telah takdir persiapkan untuknya. Dia tidak tahu bahwa di depan nanti akan ada banyak siksaan dari Xavion untuknya! Menuju pintu keluar utama, mendadak seorang security menghentikan langkah mereka. Xavion melirik tajam, “Ada apa?” desisnya dingin. “Maaf, Tuan Young. Apakah anak buah Anda ini bernama Nona Hanae Tan?” tanya security sambil membaca tulisan di sebuah paket yang ada di tangannya. Sang jaksa melirik pada gadis di sebelah pundaknya. Gadis yang masih terus tertunduk ketakutan. Helaan panjang diembus kasar, lalu berucap satir. “Apa kamu sekarang juga bisu? Tidakkah kamu mau menjawab pertanyaan Officer Jacob?” Mendengar itu, barulah Hanae mendongakkan kepala. Suaranya jelas menunjukkan betapa ia sedang didera rasa takut, gemetar. “I-iya, s-saya ... sa-saya ... saya H-Hanae ... Hanae T-Tan.” Security mengangguk, “Oke, ini ada paket datang untuk Anda sekitar 20 menit lalu. Silakan dibawa.” “Paket untukku?” bingung Hanae menatap terkejut dengan mata bundarnya. “What? Kamu tidak memesan barang online apa pun?” Xavion melirik kian tajam penuh kecurigaan. “Tidak, aku tidak memesan apa pun,” jawab Hanae tanpa sadar menoleh, membalas tatap tajam tersebut, lalu cepat menunduk karena serasa sedang ditatap setan terkejam. Mendadak, Xavion merebut paket itu dari tangan karyawan magangnya. “Berikan aku pisau!” perintahnya pada security. Detik berikutnya, dia sudah menyayat bungkusan rapi yang melapisi dus berwarna cokelat tua. “Are you f*****g kidding me!” engah Tuan Young melihat isinya. Sebuah tas kerja berwarna cokelat muda. Ada tulisan Kate Spade di bagian depan. Sebuah merek yang cukup berkelas. Aih! Xavion makin murka saat mebaca sebuah kartu kecil bertuliskan, “Jangan pakai lagi tas bolongmu. Nanti ada barang penting yang jatuh. Aku belikan tas baru, silakan dipakai dan semoga berguna. From E.” Hanae reflek memekik terkejut, “Ya, Tuhan! Ezra membelikan aku tas! Dia baik sekali!” Sebuah kalimat yang menusuk telinga Xavion. Mencabik harga diri dan eksistensinya sebagai bos Hanae. Atau mungkin ada sesuatu lain yang tercabik? Sesuatu yang dia tidak tahu apa, tetapi jelas sedang terjadi. Mumpung Hanae tengah mendongakkan wajah dan melihat sumringah pada tas model satchel cantik tersebut, Xavion langsung menghunjam dengan tatap tajam mengintimidasi yang lebih menyeramkan lagi dari sebelumnya. Sorot itu berkata secara tidak langsung, kalau sampai diterima, maka tanggung sendiri akibatnya! “Akan tetapi, aku tidak akan memakainya. Aku lebih baik bertahan dengan tas bolong ini hingga lulus kuliah,” ucap Hanae sangat lesu ketika ditatap sedemikian menakutkan. Mana berani menerima setelah diancam disuruh pindah bos saja. Xavion terkekeh puas, “Kamu dengar, Officer Jacob? Hanae tidak mau memakainya. Dia lebih suka memakai tas bolong! Jadi, kalau ada yang menanyakan paket ini, bilang saja Hanae tidak mau menerimanya. Bukankah begitu, Hanae?” “Iya, benar begitu, Xavion,” angguk sang gadis semakin lesu. Duh, siapa yang tidak lesu kalau harus menolak sebuah tas bermerek Kate Spade brand new model terkini! Selesai dengan masalah paket dari Ezra, kini langkah kaki lelaki itu kembali bergerak cepat keluar dari pintu utama. Hanae berlari kecil mengikuti langkah bosnya menuju sebuah mobil Bentley hitam di parkiran. “Seatbelt!” desis Xavion, lalu menggeleng. “Apa kamu tidak pernah naik mobil dan duduk di depan begini sampai selalu lupa memasang sabuk pengaman, heh?” Hanae menjawab dengan isak tertahan. “Ya, memang aku hampir tidak pernah menaiki mobil dan duduk di depan seperti ini. Tidak ada yang pernah mengajakku ke mana-mana.” “Aku rasa ... semua malu berteman dengan gadis panti asuhan.” Nah, sekarang Xavion merasa tertampar dengan ucapannya sendiri. Kenapa pula dia harus mengatakan kalimat tadi kalau jawabannya memang ternyata Hanae sangat jarang naik mobil dan duduk di depan. Lubang hidung mancungnya mengembuskan napas panjang. Entah kenapa emosi Xavion selalu menggebu, bahkan setelah beberapa tahun menjalani konsultasi psikiater akibat trauma masa kecilnya dulu. It’s like tiap detiknya digunakan untuk melampiaskan emosi negatif terpendam pada siapa pun yang bisa ia manfaatkan untuk melepas beban di jiwa. “Kita mau ke mana?” tanya Hanae melirik sekilas, lalu kembali menunduk. Jawaban Xavion sangat datar, seolah tidak ada kejadian apa-apa sebelumnya. Kalimat diucap dengan nada tenang, tetapi dingin. “Aku akan membelikanmu kacamata.” “Oh, baiklah,” angguk Hanae pasrah. Hanya berpikir harus bilang apa kepada Ezra setelah ini karena bos psikopatnya melarang dia menerima semua yang telah dibelikan. Ia meletakkan tas kucel dan bolongnya di atas pangkuan, lalu mengembus panjang teramat pilu. Bayangan tas satchel Kate Spade berwarna cokelat muda terngiang di pandang. Xavion melirik dan menangkap kekecewaan itu. Harga dirinya kembali tercabik. Kekesalannya meningkat, apakah dia akan mengamuk lagi? Lalu, tiba-tiba dia berkata singkat. “Aku juga akan membelikanmu tas baru.” “Ha?” Mata Hanae terbelalak. “Merek yang lebih bagus daripada Kate Spade!” “Ha?” Kini mulut sang wanita yang terbelalak, melongo. *** Di sebuah rumah mewah, di perumahan elite tengah kota Los Angeles, ada dua orang wanita sedang berbincang. Salah satu darinya adalah Jessica Mendoza yang sudah membuat siang Hanae tadi seperti di neraka. Wanita satu lagi terlihat sudah memiliki kulit yang mengalami proses penuaan. Keriput mulai membayangi kening serta sudut mata, meski jelas ada pengaruh botox untuk memperlambat kerutan itu. “Aunty Gladys, tadi siang Xavion memarahiku.” Jessica mengadu dengan bibir cemberut. Yang bernama Gladys tertawa kecil, “Kenapa putraku memarahimu? Bukankah kamu datang untuk memberitahu undangan penting? Untuk mengajaknya pergi bersama?” Oh, ternyata Jessica sedang berbicara dengan ibunya Xavion. Tentu saja, keluarga mereka sudah bersahabat sejak tiga dekade lalu. Sangat wajar jika Jessica mengadu pada wanita yang melahirkan jaksa temperamen tersebut. “Ada seorang karyawan baru. Aku tidak ingat namanya, tidak perlu ingat juga, tidak penting!” desis Jessica, lalu meneguk anggur merah di dalam gelas. “Dia menubrukku saat aku sedang mengejar Xavion.” “Hak tinggi sepatu Prada-ku sampai patah saat aku terjatuh di depan lorong, Aunty! Wanita itu kurang ajar sekali!” keluh Jessica memicingkan mata, benci. “Dia adalah wanita terbodoh dan terjelek yang pernah kulihat!” Lanjut terus menjelekkan Hanae. “Dari pakaiannya saja sudah bisa terlihat kalau dia juga adalah wanita termiskin yang pernah kulihat! Seolah dia berasal dari mesin waktu 80 tahun lalu! Pakaiannya seperti nenek-nenek di jaman dulu!” Gladys tidak kuat untuk tidak tertawa mendengar ucapan Jessica. “Sepertinya wanita yang menubrukmu benar-benar wanita yang tak pantas ada di dunia ini!” “Itulah! Aku marah karena dia merusak sepatu Prada-ku! Aku minta dia bertanggung jawab dan menggantinya! Tapi, dia tidak mau! Katanya, dia tidak punya uang sampai belasan ribu Dollar untuk membelikanku sepatu baru!” tandas Jessica semakin berapi-api dengan kemarahan. Nyonya Besar Young menggeleng, “Kamu sial sekali bertemu dengan wanita miskin dan jelek seperti itu. Lalu, hubungannya dengan Xavion memarahimu apa?” “Aku menampar wanita itu! Aku juga menjambaknya!” pekik Jessica. “Bagus! Wanita miskin tidak tahu diri memang harus diberi pelajaran! Aku harap kamu cukup keras saat menjambak dan menampar dia!” dukung Gladys. Jessica mengangguk, “Iya, aku sudah cukup keras menampar dan menjambaknya! Tapi, justru karena itulah Xavion memarahiku. Dia bahkan mengancam akan melarangku datang lagi ke kantornya kalau aku terus menyakiti wanita sialan itu!” Kali ini, Gladys sangat tertegun. Ia menatap Jessica sangat serius. “Xavion-ku membela wanita miskin teramat jelek yang memakai baju nenek-nenek? Untuk apa dia melakukan itu! Kamu adalah calon istrinya! Seharusnya dia membelamu!” “Dia tidak pernah mau mengakui aku sebagai calon istrinya, Aunty!” Jessica semakin mengeluh dan bersungut-sungut. “Aku juga tidak tahu kenapa dia membelai wanita miskin, t***l, dan buruk rupa itu! Saking jijiknya aku melihat kacamata besar di muka jeleknya, sampai aku lempar dan remukkan kacamatanya!” Gladys menghela panjang, lalu merengkuh tangan Jessica. “Kamu harus bersabar, ya? Kita semua tahu Xavion tidak pernah sembuh total dari trauma malam itu.” Satu tegukan anggur merah, lalu Nona Mendoza mengangguk. “Ya, peristiwa ketika dia menemukan Paman Billy dalam keadaan bersimbah darah memang sungguh mengerikan.” Wanita yang tak lama lagi menginjak usia kepala enam tersebut mengangguk. “Sejak saat itu emosi Xavion memang tidak pernah stabil. Dia tidak bisa percaya pelayan di rumah ini, pelayan yang juga ikut mengasuh dia saat kecil, tega membunuh ayahnya dengan cara sangat mengerikan.” “Traumanya begitu besar. Hari-hari Xavion tak pernah lagi sama sejak pembunuhan ayahnya. Maafkan dia, ya? Dia cenderung semakin mudah mengamuk ketika sedang menghadapi kasus besar. Kamu tahu dia sedang akan mengadili Maurice Zambrota? Tangan kanan Don Francesco? Seluruh mata Amerika memandang padanya.” Jessica membentuk tanda salib di dadanya, “Semoga Paman Billy beristirahat dengan tenang di rumah Tuhan.” Lalu, ia mengembus panjang, “Ya, aku tahu dia tengah menangani kasus besar. Beban stresnya pasti berat. Kalau aku jadi Xavion juga mungkin tidak akan bisa lepas dari trauma.” Gladys memandang sebuah foto pernikahannya dengan seorang lelaki. Diambil sekitar 40 tahun lalu, saat itu ia masih berusia 20 tahun dan sudah menikah dengan putra senator paling terkenal di Los Angeles, bernama Billy Young, -ayah Xavion. “Aku pun tidak pernah bisa melupakannya, Jessica. Meski pelayan wanita yang membunuh suamiku sudah masuk penjara dan akhirnya mati di dalam penjara, aku tetap tidak bisa melupakan kepedihan pada malam itu.” Seorang wanita -pelayan di rumah itu- terlibat dalam pembunuhan sadis terhadap ayah Xavion. Apakah ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD