4. | When CEO Fallin in Love

2166 Words
Suasana pagi memang tampaknya mendung. Sepertinya hujan akan turun tak lama lagi. Namun, semurung apa pun pagi ini, tak akan mampu mengubah suasana hati pria itu. Ialah Damar yang tampak berbunga-bunga pagi ini. Senyum mengembang sedari tadi. Tak ayal mengundang rasa penasaran para penghuni rumah.  "Bang Damar kenapa tuh, Bang?" tanya Dara kepada Adnan yang sibuk sarapan roti. Mata Adnan melirik Damar sekilas, kemudian kembali fokus menatap sarapannya. "Nggak tau," sahutnya mengangkat bahu cuek. Ketika Damar bergabung duduk untuk sarapan, Dara tiba-tiba berceletuk. "Bahagia banget. Kenapa si, Bang? Habis mimpi indah ya?" "Enggak. Ini bahkan jauh lebih indah dari mimpi," ucap Damar yang lantas membuat semua pasang mata menatapnya dalam berbagai emosi. Adam dan Darisa yang sama-sama melotot, Dara yang memasang ekspresi menyelidik, sementara Adnan, pemuda itu memasang ekspresi malasnya. "Jangan bilang lo habis main sama cewek, Bang. Malam tadi aja datang jam satu pagi." Adnan berujar santai.  "Sembarangan kalo ngomong! Nggak lah!" seru Damar tidak terima. Biar bagaimanapun, ia tidak sebejat itu sebagai seorang pria. "Abang lagi jatuh cinta ya?" Gotcha! Dara memang selalu berhasil menebak suasana hati abangnya saat ini. Damar hanya bisa menyungging senyum tipis. Pria itu meraih selembar roti lalu ia olesi secara perlahan dengan selai cokelat. Dara tiba-tiba duduk di sampingnya dan menarik-narik ujung kemeja Damar yang sengaja tidak dimasukkan ke celana. "Ih, sama siapa, Bang? Sama siapaaa? Ceritain dong! Trus kapan dikenalin ke kita?" Adam dan Darisa saling pandang. Kemudian secara bersamaan memusatkan pandangan kepada si sulung mereka.  "Seriusan, Nak?" tanya Darisa tampak semringah. Tiba-tiba, terbayang di benak ia yang menimang beberapa cucu lucu nan imut. Seketika membuat wanita itu menjerit tertahan. "Aaa, Bunda nggak sabar deh buat gendong cucu!" serunya yang seketika membuat ketiga lelaki di ruangan itu terkaget-kaget. Terlebih Damar yang sampai tersedak air liurnya sendiri. Lain hal dengan Dara yang malah terkikik geli. "Hayoloh Bunda ngebet banget pengen gendong cucu!" Dara berseru mengompori. "Bang Damar harus cepet-cepet nikah pokoknya!" Gadis itu berbalas senyum kepada sang ibunda. Ah, mereka bekerja sama sepertinya. Bekerja sama menyudutkan Damar tentunya. "Jangan terlalu berharap," balas Damar dingin. "Tapi tunggu aja," sambungnya yang lantas mencipta seruan heboh dari Dara dan Darisa. Ya, kedua sosok itu memang tak ada bedanya. Nggak anak, nggak orang tua, sama aja hebohnya. "Sebenarnya Ayah nggak terlalu maksa kamu buat nikah secepatnya." Ayah yang sedari tadi membungkam tiba-tiba bersuara. "Ayah awalnya cuman mau ngetes. Kamu itu normal atau enggak. Soalnya selama ini kamu itu nggak pernah terdengar dekat sama perempuan. Nggak sedikit kamu jadi bahan pembicaraan orang. Tapi, pas denger ginian Ayah jadi yakin kalo kamu normal, Damar." Pria itu tersenyum tipis. Namun, beda lagi dengan Damar yang memasang ekspresi masam. Jadi, selama ini ia dicurigai tidak normal oleh sang ayah. Kurang jahat apa lagi? "Selama ini aku nggak pernah ambil pusing sama omongan itu. Toh, itu nggak bener. Tapi, lama kelamaan aku kesel juga. Apalagi sewaktu aku gantiin Ayah makan malam sama kolega. Pengen banget kututup mulut mereka satu-satu." Damar mulai curhat. Membuat Adnan memutar bola matanya dengan malas dan berlalu pergi. Ya emang adik laknat si Adnan itu. Lain hal dengan Dara yang tampak menyimak dengan serius.  "Mereka bilang apa?" tanya Darisa penasaran. Damar mendengus. "Pria tampan yang sudah berumur matang, tapi kedapatan masih sendiri itu patut dipertanyakan kewarasannya," ucapnya jengkel. "Memangnya, di dunia ini perkara punya pasangan atau enggak menjadi topik paling utama apa? f**k it!" "Sstt, nggak boleh ngomong kasar!" tegur Darisa. "BTW, itu pertanda loh." Wanita itu menggantung ucapannya. Matanya menatap dalam mata tajam empunya Damar. "Pertanda kalo kamu harus cepet-cepet nikah, trus punya anak deh!" "Bunda kayaknya terobsesi banget pengen punya cucu," celetuk Dara yang mengundang dengusan geli oleh sang ayah.  "Kenapa nggak Bunda aja sih yang bikin?"  Dan ucapan dari Damar itu sukses mencipta suasana canggung. Tampak Dara menyibukkan diri dengan dunianya sendiri. Sementara Darisa dan Adam membungkam dengan wajah merah masing-masing. "Kenapa?" tanya Damar heran. Darisa awalnya ingin menyahut, tetapi tiba-tiba saja terdengar suara Adnan dari ruang tengah. "Adnan nggak terima dunia akhirat kalo Bunda isi lagi!" Mendengar itu, membuat Adam mendengus dan Darisa meringis pelan. Pasalnya, ketika sedang mengandung Dara, Adnan banyak berkorban waktu itu. Entah karena apa sasaran ngidam Darisa selalu tertuju kepada Adnan. Entah minta bocah itu buat gunduli rambut, minta berdandan seperti perempuan, dan hal ajaib lainnya. Selama kurang dari sembilan bulan, Adnan merasa hidupnya sengsara. Maka dari itu, kehamilan sang ibunda menjadi momok mengerikan bagi pemuda itu. Takut kena sasaran ngidam lagi. "Padahal sih belum tentu kena sasaran ngidam lagi," ucap Dara pelan. Gadis itu tentu sudah tahu cerita di balik sang ibunda yang mengandung dirinya. "Diam lo, Bocah!" sahut Adnan marah. Membuat Dara langsung bergidik ngeri. Pendengaran abangnya yang satu itu memang sangatlah tajam. Jadi, harus mikir matang-matang kalau mau membicarakan sosok itu.  "Hari ini kamu ada jadwal studi banding ke luar negeri, 'kan?" Adam membuka suara, mengalihkan pembicaraan. "Seharusnya iya. Tapi kupindah ke hari lain. Soalnya pagi ini mau kunjungan ke yayasan anak," balas Damar. "Yayasan yang mau kamu sumbangin dana itu?" Yang dibalas anggukan santai oleh Damar. "Apa timbal baliknya ke perusahaan? Adakah perusahaan mendapatkan keuntungan?" "Nothing," sahut Damar santai. "Tapi, ada hal yang jauh lebih penting dari keuntungan itu."  Dan Damar kemudian mengulas senyum misteriusnya. *** "Anak-anak, kita bersih-bersih yaa!" seru salah seorang pengajar di yayasan. "Trus siap-siap buat makai pakaian rapi, oke?" Tiba-tiba, salah seorang bocah lelaki berceletuk. "Emangnya ada acara apa?" "Loh, kalian lupa? Hari ini kita kedatangan tamu istimewa loh. Jangan lupa bersikap baik dan yang sopan yaa." Di sisi lain, Kalila tampak sibuk mengurusi Rio. Ternyata bocah itu masih sama cerewetnya seperti kemarin. Namun, yang disyukuri di sini adalah cerewet Rio tidak separah kemarin. Membuat Kalila sedikit kiranya bisa bernapas lega. "Mau pelmen bulan lagi," ucap Rio semangat.  "Nanti aja ya. Kamu udah makan berapa bungkus tadi? Ntar sakit gigi loh." "Enggak mau tau! Mau pelmen!" Kalila memijit tulang hidungnya pelan. Gadis itu pun terpaksa mengambil sebungkus permen bulan dalam kotak. Dibukanya bungkus itu, lalu disuapkannya ke mulut Rio. Tiba-tiba saja Kalila langsung teringat dengan hal apa saja yang terjadi di malam hari kemarin. Tentang pertemuannya dengan sang CEO Prambudi Corp. Korporasi yang akan memberi sumbangsih dana ke yayasan. Sungguh, tidak disangkanya bahwa orang asing yang menolongnya waktu itu adalah pimpinan Prambudi Corp. Andai ia tahu, mungkin ia akan bersikap jauh lebih sopan kepada pria itu.  Jujur, Kalila berharap besar bahwa bukan sosok itulah yang kunjungan ke yayasan. Karena Kalila rasanya terlalu malu untuk bertemu sosok itu lagi. Bagaimana mungkin ia sampai tidak mengenali pemimpin korporasi yang akan memberikan dana ke yayasan? Dan bahkan dengan santainya kemarin ia memanggil pria itu dengan sapaan 'mas'. Oh, tidak. Sebisa mungkin Kalila harus menjaga sikap jika sosok pria itulah yang datang mengunjungi yayasan. "Kak Lil. Om baik malam tadi itu mana? Nanti bakal ketemu Iyo lagi nggak?" Rio berujar. Membuyarkan lamunan Kalila. "Ah, apa? Kayaknya enggak," sahut Kalila sekenanya. "Yah, padahal Iyo mau bilang telima kasih." Rio memanyunkan bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Membuat Kalila mendesah dan segera membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. "Udah Kak Lil wakilin kok malam tadi. Rio nggak usah sedih." Rio menggalungkan kedua tangannya di leher Kalila dengan erat. "Tetap aja Iyo sedih," lirihnya. "Ntal kalo Kak Lil ketemu sama Om itu lagi, bilangin kalo Iyo mau ketemu sama dia ya?" Kalila hanya mengangguk kecil. Kalau pun ternyata yang datang ke yayasan adalah pria yang sama dengan yang malam tadi, dapat dipastikan Kalila tak bisa mengungkapkan hal demikian. Jangankan bicara, berhadapan langsung pun mungkin Kalila tak akan sanggup. "Rio udah jauh lebih mendingan nggak badannya?" Kalila mengalihkan pembicaraan. Tangannya menyugar pelan helaian rambut kriting Rio. Meski masih terasa hangat badannya, Kalila yakin bahwa Rio semakin membaik keadaan fisiknya. "Iya. Udah baik. Soalnya makan pelmen bulan." Rio kemudian menegakkan kepala agar bisa melihat wajah Kalila. Tiba-tiba kedua tangan mungil bocah itu menangkup kedua pipi Kalila. Membuat gadis itu sedikit kiranya kebingungan. Baru saja akan layangkan pertanyaan, Rio tiba-tiba berbisik. "Ntal kalo Iyo sakit, obatnya tu bukan obat, tapi pelmen, hihi." Serta-merta membuat Kalila tertawa kecil. Dengan gemas dicubitnya pipi Rio dan dihadiahinya kecupan sayang di kening Rio. "Ada-ada aja kamu. Ya tetep minum obat lah." Di sisi lain dalam waktu yang sama, tampak Damar tengah duduk santai di kursi penumpang. Tangannya sibuk menggulir layar iPad penuh keseriusan. Mengecek perkembangan saham perusahaan atau pun hal terkait lainnya. Kemudian, dirasa cukup, pria itu singkirkan benda itu lalu beralih menyibukkan diri menatap ke luar jendela mobil. Sekarang, pria itu beserta Rudi dalam perjalanan menuju yayasan. Meski cuaca sedang hujan bergerimis, tak akan bisa menunda niatnya untuk kunjungan ke yayasan. Damar ingin sekali bisa bertemu untuk yang ke sekian kalinya kepada sosok yang telah berhasil merebut hatinya. Entah bagaimana reaksi gadis itu ketika bertemu dengannya nanti. Yang pasti akan sangat menyenangkan untuk dinikmati. Dapat dikatakan, mungkin, Damar candu dengan tingkah gadis itu. Segala hal menyangkut gadis itu tak akan pernah Damar tinggalkan dan menjadi hal yang akan selalu ia ingat. Jadi, seperti itulah ketika seorang CEO seperti Damar jatuh cinta. Sosok yang dicinta tak akan pernah hilang di benaknya. Dan, akan diusahakannya secepat mungkin agar sosok yang dicinta segera menjadi miliknya. Tak akan ia biarkan orang lain lebih dulu merebut sesuatu yang sudah ia klaim menjadi miliknya. Kalau pun ada, maka akan dipastikan ia rebut sampai menjadi miliknya. Ketika seorang CEO jatuh cinta, apa pun akan dilakukannya demi sosok yang dicinta. Ketahuilah, Damar merupakan seorang pria yang sangat protektif terhadap hal yang sudah menjadi miliknya. Catat itu untuk ke depan. "Kita sudah sampai, Pak," ucap Rudi membuyarkan pikiran Damar. Damar yang hanya memakai kemeja putih itu pun mengangguk kecil. Pria itu lalu meraih jas kebesarannya lalu ia kenakan. Tak lupa dasi hitam miliknya dirapikannya. Setelah itu, segera Damar keluar dari mobil dengan payung yang senantiasa melindunginya dari rintik hujan. Dari jauh, ia bisa melihat kumpulan anak-anak yang berdiri di pintu yayasan. Tersenyum lebar mereka dan tak sedikit ada yang melambai padanya. Membuat Damar tersenyum dan balas melambai singkat. Sembari melangkah, Damar menajamkan pandangannya untuk mencari sosok yang ia nantikan. Namun, eksistensi gadis itu tidak ia temukan. Membuatnya sedikit agaknya kecewa. "Selamat datang di yayasan kami, Pak." Wanita dalam balutan kerudung hitam itu tersenyum ramah, menyambut kehadiran Damar. Wanita yang merupakan Ibunda Tari itu pun mulai menuntun Damar untuk memasuki yayasan lebih dalam. Dipersilakan duduk di salah satu sofa kemudian. "Langsung siapkan berkasnya?" bisik Rudi kepada Damar yang masih mencari keberadaan Kalila. Membuat pria itu agaknya terlihat tidak fokus. "Ya, lakukan saja semaumu," sahut Damar sekenanya. Rudi menggeleng tak habis pikir dan langsung mengeluarkan beberapa berkas. Pria itu mulai berbincang dengan Ibunda Tari. Membicarakan perkara penting terkait sumbangsih perusahaan kepada yayasan. Damar yang masih dalam mode mencari, tiba-tiba dikejutkan dengan tusukkan kecil di bahunya. Ketika ia menoleh, matanya langsung berhadapan dengan raut polos beberapa bocah kisaran umur lima sampai enam tahun. "Ada apa?" tanya Damar heran. "Om namanya siapa?" tanya salah seorang bocah perempuan. "Damar," sahut Damar singkat. "Om ganteng," celetuk bocah perempuan lainnya dengan malu-malu. Kemudian diiringi celetukan salah seorang bocah lelaki. "Om juga keren!" Damar hanya bisa mengusap salah satu kepala bocah itu. Kemudian, ia pun berbisik kecil, "mana Kak Lil?"  "Om Damar kenal Kak Lil?"  Damar mengangguk kecil. "Dia ada, 'kan?" tanyanya. Matanya menatap satu per satu bocah-bocah itu. Dengan serempak mereka mengangguk kecil. "Mau kami panggilin?" tawar bocah lelaki yang bisa dikatakan jauh lebih tua di antara yang lain. Damar pun menimbang-nimbang. Dagunya ia usap perlahan. Tak lama, pria itu pun menggeleng kecil. "Nggak usah. Tapi kalo ketemu, jangan bilang kalo Om cari dia ya? Anggap aja nggak ada apa-apa. Oke?" Serempak bocah-bocah itu mengangguk kecil. Kemudian, Ibunda Tari berucap. Meminta para bocah itu untuk berhenti menggerumbungi Damar. Dengan sedih, mereka pun berlalu pergi. Bermain lesehan di aula yayasan yang terdapat berbagai macam mainan di sana. Sayup-sayup, terdengar tangis bayi dari arah selatan. "Ah, anak saya sepertinya bangun," ucap Ibunda Tari merasa tidak enak. Syukurnya, hal-hal penting seperti registrasi telah wanita itu selesaikan dengan sekretaris Damar. "Saya mohon izin undur diri dulu. Nanti salah satu pengajar yayasan akan ke sini buat wakilin saya sementara. Mohon maaf." Damar menaikkan sebelah alisnya. Matanya mengikuti arah kepergian Ibunda Tari. Tak berapa lama kemudian, di arah yang sama, muncullah sosok yang ia nanti-nantikan sedari tadi. Membuat senyumnya tercetak miring. Kalila yang menggendong Rio merasakan bahwa jantungnya berdetak gila-gilaan di dalam sana. Dari matanya, ia dapat melihat Damar yang tampak sangat berbeda dengan terakhir yang ia temui. Damar jauh lebih menawan dalam setelan resminya dan ya, sedikit agaknya menakutkan.  "P-permisi. Perkenalkan nama sa-" "Kak Lil! Mau pelmen bulan!" Rio berseru tiba-tiba memotong ucapan Kalila. Gadis itu meringis dan tersenyum canggung kepada Damar dan Rudi. Didudukkannya Rio di salah satu sofa lalu berbisik pelan, "tunggu di sini sebentar ya. Biar Kak Lil ambilin permennya dulu." Setelah diberi persetujuan, Kalila pun bergegas mengambil sekotak permen yang Rio inginkan. Sementara itu, Damar mulai beranjak dari duduknya dan berjongkok di hadapan Rio. "Ingat Om nggak?"  Rio memiringkan kepalanya. Bingung. Sampai kemudian, Damar pun berbisik. Entah apa yang dibisikkan, tiba-tiba saja Rio berseru nyaring. "Kak Lil! Ada Om yang malam tadi! Yeeee!" Bersambung .... 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD