5. | An Accident

2213 Words
Kalila memejamkan matanya kuat ketika indra pendengarannya menangkap dengan jelas teriakan Rio. Gadis itu menghirup napas dalam, lalu diembuskannya secara perlahan. Mencoba untuk mengelola rasa gugupnya agar tidak terlalu tampak. "Stay calm, Kalila," gumamnya menenangkan diri. Dirasa sudah agak bisa mengendalikan diri, gadis itu pun keluar dari kamar dengan sekotak permen di genggamannya. Sesampainya di ruang tengah, matanya langsung menangkap senyum Rio yang begitu lebar. Bergelayut manja bocah lelaki itu di atas pangkuan Damar. "Ini Om Damal, Kak Lil! Om baik hati malam tadi itu!" seru Rio bersemangat. "Iyo udah bilang telima kasih looh sama Om Damal!" Kalila hanya tersenyum tipis. Ia mengambil alih Rio dan menggendongnya. "Anak pintar," ucapnya lembut. "Nah, karena itu Rio harus istirahat di kamar ya. Biar lek-" "Nggak mau! Mau main!" Rio berontak dari gendongan. Mau tidak mau Kalila harus menurunkan bocah itu. Setelah diturunkan, Rio pun berlari menuju aula lesehan. Gabung bermain bersama teman-temannya. "Iyo udah sehat kok!" serunya riang yang seketika membuat Kalila mendesah pelan. Dari semua anak, cuma Rio yang paling sulit untuk diatur. Bahkan dalam keadaan sakit sekalipun. "Apa kabar?" Kalila terenyak. Gadis itu menoleh dan mendapati tatapan tajam dari Damar. Tanpa sadar Kalila meneguk air ludahnya sendiri. Entah mengapa, melihat Damar dalam setelan resmi itu membuatnya takut. Aura pria itu sangat berbeda dengan yang kemarin malam ia temui. Mungkin seperti itukah profesionalitas seorang pemimpin perusahaan besar? "B-baik," sahut Kalila pelan, tetapi masih bisa terdengar. Gadis itu duduk diam di sofa. Tangannya sibuk memelintir jari-jari tangannya. Kebiasaan gadis itu ketika sedang dilanda gugup. Damar diam berpeluk tubuh. Matanya tak pernah lepas dari sosok Kalila. Dan hal tersebut tentu tertangkap mata sang sekretaris, yakni Rudi. Telah lama mengabdi dan mendampingi Damar, Rudi bisa mengetahui jelas bahwa sang atasan tengah tertarik pada seorang gadis berkerudung itu. "Berapa lama kerja di sini?" Kalila mendongak. Menatap lawan bicara yang sedari tadi selalu memulai pembicaraan. Sungguh, bukannya Kalila tidak sopan. Gadis itu hanya merasa gugup. Pun, gadis itu tidak pandai memulai pembicaraan. Andai tidak disuruh Ibunda Tari, mungkin Kalila akan berdiam di kamar atau paling tidak menemani anak-anak bermain. "Belum sampai satu tahun," balas Kalila singkat. "Benarkah?" Damar sedikit terkejut. "Tapi anak-anak di sini sudah sangat akrab denganmu," ungkapnya jujur. Kalila mengusap tengkuknya yang tertutupi kain kerudung dengan canggung. "Ya begitulah. Syukurnya anak-anak di sini gampang akrab dengan orang lain." Damar mengangguk kecil. Ketika ia ingin mengatakan sesuatu, sebuah jeritan membuat sesuatu itu tertelan. Secara bersamaan, Damar dan Kalila menoleh ke sumber suara. Tampaklah dua anak kecil laki-laki dan perempuan saling berebut mainan. Ah, entah mainan atau tidak, yang pasti sesuatu yang direbutkan itu menarik minat mereka untuk dimainkan. "Ya Allah," gumam Kalila bergegas menghampiri sumber keributan itu. "Lia, Jojo, jangan rebutan!" tegur Kalila mencoba melerai. Namun, Lia dan Jojo sulit sekali dipisahkan. Mereka masih memperebutkan sebuah benda kecil berwarna hitam. Setelah diteliti, barulah Kalila sadar bahwa yang direbutkan itu adalah isian spidol alias tinta. Bahkan tanpa ada tutup di sana. "Ya ampun, kok bisa ada tinta!" Kalila berusaha merebut benda itu. Takut isinya tumpah ruah jika terus ditarik oleh kedua bocah. "Sayang, udah jangan rebutan ya. Ntar isinya tumpah, gimana hayo?" Dan ucapan gadis itu tidak digubris sama sekali oleh Lia dan Jojo. Kedua bocah itu terus saja saling ribut dan saling lempar ocehan. "Lia yang liat duluan ih!" Lia menarik kuat benda kecil itu dari genggaman Jojo. "Kamu cuma liat! Kalo aku yang dapetin duluan tau!" Jojo tak mau kalah. Memang perangai bocah itu yang tidak mau kalah. Tak heran Jojo sering terlibat perkelahian dengan anak lain, tidak hanya dengan Lia saja. Kalila mengusap keningnya yang terasa pusing. Jojo dan Lia memang layaknya Tom and Jerry. Hobinya selalu berkelahi. Tidak pernah akur. Sementara itu, Damar yang tak lagi memakai jas, mulai mendekati pusat keributan itu. Niatnya ingin membantu Kalila untuk melerai bocah yang saling rebut mainan itu. Namun, sesuatu menimpanya secara tiba-tiba, tanpa bisa diprediksi sama sekali. "Astaghfirullah!" seru Kalila sangat terkejut. Matanya menatap horor kemeja Damar yang tertumpah tinta. Dan sialnya, itu atas dasar kesalahannya sendiri. Pada awalnya, botol tinta yang direbutkan Lia dan Jojo itu sudah berhasil Kalila rebut. Namun, entah karena terlalu heboh, Kalia berbalik dengan cepat tanpa menyadari ada Damar di belakangnya. Sehingga, yang terjadi adalah botol tinta tanpa tutup itu berhasil tumpah ke kemeja Damar. Di sela keterkejutan Kalila dan para anak di sana, ada sosok yang justru tampak senang. Yaitu Damar. Seringaian tercetak sempurna. Mata pria itu menurun ke kemejanya yang menghitam sebab tinta yang tumpah ruah. Kemudian, matanya beralih ke seorang gadis yang masih memasang ekspresi shock tak tertahankan. Damar rasanya ingin tertawa sepuas-puasnya. Namun, ia harus menjaga wibawanya dan bersikap layaknya seorang CEO muda ternama yang disegani dan ditakuti. "M-maaf, saya nggak sengaja!" Setelah lama mematung, Kalila si gadis berkerudung coklat tua itu berseru panik. Bergegas ia mengambil tisu dan mengusapkannya ke kemeja Damar. Tentu, hal tersebut mencipta kesia-siaan semata. Tinta sudah menyerap dalam ke kemeja Damar. Bahkan terasa tembus menyentuh kulit bagian perutnya. "Sekali lagi maafkan saya. Ya Allah, serius, saya nggak sengaja!" Tak sadar telah melakukan suatu kesia-siaan, Kalila terus-menerus mengusap kemeja Damar dengan tisu. Tak berapa lama, Damar menghentikan kegiatan gadis itu dengan mencengkram kuat pergelangan tangannya. Lantas Kalila mendongak dan tertegun ketika matanya berhadapan dekat dengan wajah tegas nan rupawan milik Damar. "Hentikan. Sia-sia," bisik Damar. Dilepaskannya cengkeraman itu dan beralih ia mendekati sesosok pria. "Rudi, belikan aku kemeja baru. Yang sama persis," ucapnya pada Rudi—sang bawahan—yang tentulah terdengar jelas oleh Kalila. Gadis itu menunduk dalam, merasa sangat bersalah. Damar melepas satu per satu kancing kemejanya. Setelahnya ia serahkan kemeja itu dan dibawa pergi oleh Rudi. Tak merasa risih dengan keadaannya yang shirtless, Damar pun melangkah mendekati Kalila yang menunduk. Baru akan mengucapkan sepatah dua patah kata untuk gadis itu, tiba-tiba terdengar seruan dari anak-anak yayasan. "Ih, Om Damar kok nggak pake baju sih?" "Nggak kedinginan apa, Om? Lagi hujan loh." "Gila! Badan Om Damar bagus banget! Berotot!" "Pasti rajin olahraga, iyakan, Om?" Kalila mendelik mendengar ucapan anak-anak. Gadis itu mengangkat kepala beberapa detik dan menunduk cepat kemudian. Tak bisa dimungkiri, jantungnya berdetak gila-gilaan di dalam sana. Inginnya pergi dari hadapan Damar, tetapi rasanya tidak etis. Mengingat bahwa ialah sosok di balik Damar yang rela shirtless itu. "Dingin," ucap Damar dengan pembawaan santai. Memberi sinyal kode untuk Kalila. "B-biar saya ambilkan selimut dulu ya, P-pak." Kalila bergegas mengambil selimut dan diiringi oleh anak-anak yang tak henti melayangkan pertanyaan pada gadis itu. Tak ayal membuat Damar menyemburkan kekehan. Berusaha untuk tidak tertawa lepas. "Cute," gumam Damar sembari melangkah ke ruang tengah dan kembali duduk santai di sofa. Tak berapa lama, Kalila pun datang membawa selimut tebal. Tampaknya gadis itu masih tak berani menatap Damar. Bukan hanya karena kejadian tinta yang tumpah, tetapi juga karena keadaan Damar yang shirtless. "Ma-maaf, cuma ada selimut ini. Silakan dipakai sambil nunggu kemeja baru-" "Selimutkan," potong Damar cepat. Lantas membuat Kalila secara refleks mendongak. Wajahnya seketika memerah dan kembali ia menuduk dalam. "Ma-maksud Bapak?" Damar mendengus menahan tawa. Ia raih selimut dari genggaman Kalila lalu ia selimutkan ke seluruh tubuhnya. "Lupakan," gumamnya dalam. Pria itu lalu melihat ke sekitar yayasan. Menyapu bersih keadaan yayasan yang akan ia beri sedikit suntikkan dana. Damar mengusap ujung dagunya. Kemudian, ia pun menatap Kalila terang-terangan. "Kalila, tolong jelaskan pekerjaanmu di yayasan ini," ucapnya. Seketika itu membuat Kalila tersedak. "G-gimana, Pak? Saya?" Kalila menunjuk dirinya sendiri. "Saya nggak akan ngulang kalimat yang sama." Kalila menelan salivanya susah payah. Dengan bingung dan bercampur gugup, gadis itu pun mulai menjelaskan posisinya di yayasan. Merupakan seorang pengajar anak-anak yang sebisa mungkin menjadi penyuntik semangat dan ilmu untuk masa depan yang lebih cerah. Rata-rata, para anak di yayasan ini adalah anak yang "terbuang". Sedari kecil tidak memiliki orang tua dan tak pernah merasakan bagaimana didikan orang tua. Itu sebabnya, selain menjadi pengajar, sebisa mungkin Kalila menempatkan dirinya sebagai orang tua angkat untuk anak-anak. Damar mengulas senyum tipis setelah mendengar penjelasan singkat dari Kalila. Saking tipisnya senyum itu, Kalila bahkan tidak menyadari bahwa pria itu tersenyum. Di matanya, Damar merupakan sesosok yang aneh dan tak tertebak. Jujur, ia merasa terintimidasi sejak kehadiran sosok itu di yayasan. Entah kenapa. Auranya beda aja gitu. "Hm, pengajar sekaligus orang tua angkat. Menarik," gumam Damar yang mencipta raut bingung dari Kalila. "Saya akan berikan dana sesuai keinginan yayasan. Berapa pun jumlahnya, akan saya sanggupi," ucapnya kemudian. Seketika itu mencipta raut berbinar dari Kalila. "Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Seperti yang mungkin sudah disepakati, kami memerlukan dana 100 juta," ucap Kalila penuh semangat. "100 juta?" Damar mengerutkan dahinya heran. Pasalnya, ia tidak terlalu tahu-menahu terkait nominal dana yang akan disumbangkan. Bersamaan dengan itu, Rudi pun datang membawa kemeja yang Damar pesankan. "Bahkan kemeja ini pun harganya lebih dari itu," ucapnya sembari mengeluarkan kemeja putih itu dari dalam kotak. Dipasangnya kemudian kemeja itu dengan santai dan tak merasa risih sama sekali. Sementara itu, Kalila diam tertegun. Batinnya selalu mendengungkan kalimat yang sama berkali-kali. Kemeja harganya lebih dari itu? Kemeja yang harganya lebih dari— "Astaga!" Kalila histeris sembari membekap mulutnya tidak menyangka. Matanya mendelik, menatap Damar yang kini sudah memakai kemeja dengan sempurna. "Ja-ja-jadi kemeja tadi itu harganya ra-ratusan juta!?" ucapnya tergugu-gugu. Damar menyeringai. Pria itu lantas berdiri dan mendekat selangkah di hadapan Kalila. Jarak mereka terpaut beberapa jengkal saja. Membuat Kalila menciut dan hanya bisa menunduk. Matanya bertubrukan dengan sepatu pantofel mengkilat milik Damar. Seketika bulu kuduknya merinding membayangkan betapa fantastisnya harga sepatu itu. Bertambah merinding lagi ketika membayangkan total harga outfit yang ada di badan Damar saat ini. "200 juta," ucap Damar tiba-tiba. "Harga kemeja yang kamu tumpahkan tinta itu." Kalila hanya bisa menelan ludahnya susah payah. "Jadi, bilang maaf aja nggak cukup, Nona," bisik Damar dengan suaranya yang dalam. "Rasanya saya mau batalin sumbang dana ke yayasan ini," timpalnya tersenyum miring. "Astaghfirullah. Jangan, Pak. Serius, saya nggak sengaja," ucap Kalila memelas. "Ini pure kecerobohan saya. Nggak ada hubungannya sama yayasan. Please, jangan batalin." Mata Kalila sudah mulai berkaca-kaca. Tentu, gadis itu merasa sangat bersalah. Atas kecerobohannya membuat yayasan batal diberi sumbangan dana oleh korporasi. Prambudi Corp merupakan satu-satunya harapan. Kalau Prambudi Corp batal memberi dana, sudah dipastikan tak ada lagi para dermawan yang mau menyuntikkan dana demi keberlangsungan yayasan. Kalila jadi teringat atas perjuangan Ibunda Tari dalam mempertahankan yayasan yang sudah lama terbangun. Teringat pula akan kebaikan sosok itu padanya. Seketika itu membuat bulir air mata mulai meluruh membasahi pipi. Sementara itu, Damar menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah milik Kalila. Sedikit terkejut ia mendapati Kalila yang mulai menangis. Namun, sebisa mungkin ia mempertahankan ekspresi angkuhnya. "Kesalahan nggak bisa dibayar secara gratis, Nona," ucapnya dengan jemawa. "Harus ada yang dipertaruhkan di sini." Kalila tertegun. Gadis itu seperti tidak melihat sosok Damar yang ia temui ketika malam kemarin. Sosok yang ini jauh lebih angkuh dan berkuasa. Tiba-tiba, tebersit pikiran konyol bahwa Damar memiliki kepribadian ganda. Namun, dengan cepat gadis itu tepis ketika menyadari sesuatu. Menyadari bahwa orang bisa saja berubah jika menyangkut tentang harta. Tragedi ini sudah jelas terkait dengan hal itu. Bayangkan, kemeja seharga 200 juta tertumpah tinta sebegitu banyaknya. Dengan cara apa Kalila harus mengganti kerugian itu coba? Kalila mulai mengusap dengan kasar kedua pipinya yang membasah. Matanya mulai bertubrukan dengan mata sehitam jelaga milik Damar. Mata yang begitu tajam dan menusuk. Akan tetapi, rasanya begitu kosong. Entah cuma perasaan Kalila saja atau ada hal yang lain. "Jadilah istriku. Itu bayarannya." Damar menyungging senyum. Pria itu kemudian beralih menatap Rudi. "Tolong, siapkan dana 500 juta untuk yayasan. Siapkan juga pesta pernikahanku dengan Kalila untuk pekan depan." "Baik, Pak." "A-APA?!" Menikah? Menikah sebagai bayarannya? Oh, sungguh, tidak pernah sama sekali Kalila terpikir tentang hal ini. "K-kenapa? Kenapa harus menikah?" tanya Kalila dengan pancaran mata tidak percaya. Damar menaikkan sebelah alisnya. "Kamu bisa bayar kerugian seharga 200 juta tidak?" Kalila membungkam. Ingin menjawab iya, tetapi rasanya itu terlalu dipaksa. Entah menghabiskan waktu berapa puluh tahun ia bisa mengumpulkan uang sebegitu banyaknya. Terlebih ia hanya bisa mengandalkan pekerjaan sebagai seorang pengajar di yayasan. Gajinya tidak seberapa, tentunya. Damar mengulas senyum manis. Beda lagi kalau menurut pandangan Kalila. Senyum itu bukan manis, tetapi lebih ke bengis. Tiba-tiba saja Damar berjalan mendekat. Kepalanya menunduk dan ia dekatkan tepat di sisi telinga Kalila. "Kamu milikku," bisiknya pelan. Ia jauhkan wajahnya lalu ia alihkan pandangannya pada Rudi. Sorot matanya seolah bertanya tentang apa yang ia minta pada sang bawahan. Paham, Rudi pun membuka suara. "Pendanaan untuk yayasan sudah beres. Untuk pernikahan pekan depan akan saya serahkan kepada wedding organizer." Damar mengangguk puas. Pria itu meraih jas yang tersampir di pegangan sofa, lalu ia kenakan kemudian. "Aku harus pergi," ucap Damar entah kepada siapa. Namun, Kalila paham bahwa ucapan itu terarah pada dirinya. Gadis itu menatap Damar dengan sorot yang terkesan pasrah. "Nanti malam kamu kujemput buat ketemu keluargaku. Berdandanlah seperti apa adanya kamu," ucap Damar dalam nada yang lembut. Bahkan sorot dan air wajah pria itu terlihat begitu hangat. Kalila menyadari perubahan drastis itu. Damar pun langsung pergi keluar yayasan. Sementara Rudi masih bertahan. Pria itu mendekati Kalila lalu berujar, "sampaikan terima kasih pada Bu Tari. Kami mohon pamit untuk pergi." Setelah itu, Rudi pun melangkah menyusul sang atasan. Kalila? Gadis itu hanya bisa terduduk lemas di sofa. Menikah? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD