Part 6

1083 Words
"Kenapa kamu ingin pergi ke luar negeri?" Tanya Ahmed di suatu waktu. Mereka duduk di halaman belakang rumah Helena. Tepat di bawah bangku yang ayahnya letakkan di bawah pohon asem berusia sepuluh tahun yang sudah memunculkan buahnya. "Disini banyak wanita yang memilih untuk menjadi TKW." Ucap Helena apa adanya. "Mereka kebanyakan bekerja di Arab Saudi untuk menjadi asisten rumah tangga dan saat kembali, mereka menjadi orang kaya. Aku juga mau seperti itu." Ucap Helena apa adanya. Ahmed memandang gadis mungil di sampingnya dengan dahi berkerut. Untuk ukuran rata-rata orang Indonesia, Helena tidak mungil sebenarnya. Hanya saja memang jika dibandingkan dengan Ahmed yang memiliki tinggi 182cm, tinggi Helena yang hanya 160cm itu memiliki perbedaan yang cukup jauh. "Kalau memang ingin bekerja di Arab Saudi, kenapa belajar bahasa Inggris?" Tanya Ahmed bingung. "Karena aku tidak mau bekerja sekedar menjadi asisten rumah tangga." Jawab gadis itu dengan tatapan mengarah ke bagian bawah bukit dimana sawah-sawah yang lapang dan hijau berada. "Aku bercita-cita pergi ke luar negeri untuk kuliah. Bekerja sambil kuliah." Ralatnya dengan cepat. "Aku tidak mau hanya menjadi lulusan SMA asal desa dan berakhir sekedar menjadi ibu rumah tangga. Aku mau lebih daripada itu. Kalau hanya sekedar ingin menjadi TKW yang menjadi asisten rumah tangga, disini mereka juga bisa pergi setelah lulus SMP. Tapi aku tidak mau seperti itu. Orang-orang menyebut impianku sebagai obsesi. Dan karena tahu kalau aku akan ditertawakan, selama ini aku memilih untuk bungkam." Ahmed terlihat menganggukkan kepalanya. "Memangnya kamu mau pergi ke Negara mana?" tanyanya ingin tahu. Untuk itu Helena menjawab dengan mengedikkan bahu. "Amerika, mungkin?" ia balik bertanya yang membuat Ahmed tersenyum. "Kenapa? Kau menertawakanku juga? Merasa kalau impianku untuk menjadi sukses itu salah?" tuduh Helena dengan kesal. Ahmed menggelengkan kepala. "Aku tidak menertawakan mimpimu. Aku justru tersenyum karena keraguanmu." Ucapnya apa adanya. "Kalau kamu memang memimpikan sesuatu, jangan masukkan kata 'mungkin' di dalamnya. Kalau kamu memang yakin, maka yakinlah. Istilahnya, kalau kamu mau meninggalkan sesuatu, maka jangan berniat untuk menolehkan kepalamu ke kiri kanan dan belakang. Lurus dan fokus saja pada arah di depanmu." Helena menarik napas panjang dan menunduk. "Aku memang ragu." Jawabnya lirih. "Keinginanku terlalu besar untuk orang kecil seperti kami." Ucapnya lagi. "Aku sudah menabung cukup banyak uang jajanku selama ini, tapi aku masih ragu apa itu akan cukup. Aku menantang dunia dengan tubuh kecilku dan jujur, aku takut. Bagaimana kalau nanti aku tersesat? Bagaimana kalau nanti aku tidak bisa kembali? Bagaimana kalau nanti aku tidak bisa berhubungan dengan keluargaku saat aku rindu?" Ahmed mengulurkan tangannya dan mengusap kepala Helena dengan lembut. "Kamu memang anak kecil berkeinginan besar. Tapi bukan berarti tubuh kecilmu itu tidak bisa menaklukan dunia. Bukan berarti kamu tidak bisa memenuhi semua mimpimu. Setiap orang punya jalan mereka masing-masing dan kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil." Ucap Ahmed dengan senyum meyakinkan. "Jika aku bisa membantumu, aku akan dengan senang hati membantu." Ucap pria itu lagi. Helena terkekeh. Hal itu membuat Ahmed menatapnya bingung. "Kenapa?" Tanya Ahmed ingin tahu. "Bagaimana kamu akan membantuku sementara kamu sendiri sekarang butuh bantuan kami untuk bertahan." Ucapnya dengan polosnya yang membuat Ahmed terkekeh juga mendengarnya. "Ya, kamu benar. Aku sendiri bertahan dengan bantuan keluargamu." Ucapnya dengan senyum sedih. Kini giliran Helena yang mengulurkan tangannya dan menyentuh punggung pria itu. "Apa kamu juga merindukan keluargamu?" tanyanya dengan tatapan penuh pengertian. Ahmed tersenyum. Bayangan kedua adiknya dan juga ayahnya muncul di kepalanya. "Tentu saja." Jawabnya apa adanya. "Aku juga punya keluarga, meskipun tidak lagi memiliki ibu." Lanjutnya jujur. "Kamu piatu?" Tanya Helena yang dijawab anggukkan pria itu. "Seperti apa keluargamu?" tanyanya ingin tahu. Ahmed memandang kejauhan dan membayangkan keluarga yang ia tinggalkan. "Aku punya ayah dan punya dua orang adik laki-laki." Ia mulai bercerita. "Ayahku bernama Berkant Levent. Dia sosok yang baik dan mencintai keluarganya, namun kemudian berubah saat ibuku meninggal dunia." "Innalillahi." Ucap Helena seraya memandang Ahmed dengan sorot kasihan. "Ibuku meninggal setelah melahirkan adik ketigaku, Gohan." Lanjut Ahmed mengabaikan sorot kasihan di wajah cantik Helena. "Adik pertamaku bernama Basir. Usianya selisih tiga tahun denganku. Dia bisa disebut anak yang urakan. Hobinya menaiki motor besar dan balapan di jalan." Ahmed menyunggingkan senyumnya. "Kami bersahabat baik. Jika aku suka bekerja dengan bolpoin, maka dia lebih menyukai pekerjaan fisik. Dia orang yang memiliki banyak keterampilan dan sangat mudah bergaul. Sosoknya juga tampan sehingga dia banyak disukai para wanita." "Iyakah?" Tanya Helena yang dijawab anggukkan Ahmed. "Apa dia lebih tampan daripada kamu?" tanyanya yang membuat Ahmed mengangkat kedua alisnya pada Helena dan membuat gadis itu tersipu. "Menurutmu aku tampan?" tanyanya ingin tahu. Helena menganggukkan kepala malu-malu. Dan Ahmed terkekeh karenanya. "Terima kasih." Ucap Ahmed pada Helena. "Teman-temanku tidak pernah mengatakan aku tampan, mereka lebih sering menyebutku kolot." Akunya dengan kekehan pelan. "Atau membosankan." Lanjutnya lagi. Helena mencibirkan bibir. "Lanjutkan." Perintahnya pada Ahmed. "Adik bungsuku bernama Gohan. Dia juga tak kalah tampannya dari Basir. Usianya masih muda, saat ini dia baru menginjak usia sembilan belas tahun. Dia sosok yang pendiam dan penurut hingga terkadang membuatku dan Basir bertanya-tanya tentang apa yang ada dalam pikirannya. Kami berusaha untuk membuatnya lebih terbuka, tapi sangat sulit. Dia seolah menjaga jarak dari kami dan selalu menutup diri. Saat kami memilih untuk sekolah di sekolah umum, dia malah ingin tinggal di asrama dan jauh dari keluarga." "Apa itu karena mendiang ibu kalian?" Tanya Helena ingin tahu. Ahmed mengedikkan bahu. "Bisa jadi. Setidaknya aku dan Basir memang pernah mendapatkan kasih sayang dari mendiang ibu kami. Sementara dia tidak. Dia bahkan tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah kami." "Ayahmu menyalahkannya atas meninggalnya ibu kalian?" Tanya Helena tak percaya. Ahmed menggelengkan kepala. "Tidak se-spesifik itu. Ayah kami tidak pernah menyalahkan siapapun atas kematian ibu kami. Hanya saja, setelah ibu kami meninggal beliau seperti kehilangan kehidupannya. Dia tidak lagi memiliki waktu untuk ia bagi bersama keluarga. Dia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja dan meminta anaknya untuk belajar dan belajar." "Itu mengerikan." Gumam Helena lirih yang dijawab anggukkan Ahmed. "Dia tidak menikah lagi?" Tanya Helena ingin tahu. Ahmed menggelengkan kepala. "Cintanya sudah mati dan terkubur bersama dengan jasad ibuku." Jawab Ahmed apa adanya. "Itu memang indah." Jawab Helena. "Tapi itu juga jahat, untuk kalian." Ucapnya yang membuat Ahmed memandangnya bingung. "Setidaknya, jika dia tidak bisa memberikan kalian sosok yang bisa memberikan kalian kasih sayang, dia sendiri yang harus memberikan itu pada kalian. Walau bagaimanapun, kalian masih anak-anak saat ibu kalian meninggal, dan hidup tanpa dicintai itu rasanya menyedihkan." Jawabnya dengan ketus yang hanya membuat Ahmed tersenyum sedih. Ya, meskipun kehidupan keluarga mereka berkecukupan, rumah mereka tak sehangat rumah Helena yang hidup dalam keadaan biasa-biasa saja. _______________________ dikit aja ya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD