Mereka sudah tidak bisa menyembunyikan keberadaan Ahmed lagi. Para warga yang seringkali melewati rumah keluarga Helena pada akhirnya bertanya-tanya tentang sosok yang mengenakan sarung dan berdudukuy itu. Ayah Helena pada akhirnya mendatangi sesepuh desa dan mengatakan tentang Ahmed dan bagaimana ia menemukannya.
Kunjungan ayah Helena ke rumah sesepuh itu membuat halaman rumah sesepuh penuh didatangi warga yang penasaran. Hal itu persis seperti prediksi ayahnya tempo lalu yang mengatakan kalau keberadaan Ahmed akan menjadi tontonan.
Ahmed sendiri sudah cukup bisa berbahasa Indonesia, meskipun terpatah-patah dan sesekali tidak bisa dimengerti sama sekali. Dan hal itu membuat Ahmed tidak terlalu membutuhkan Helena untuk bisa berkomunikasi dengan para warga.
Setelah pertemuan di rumah sesepuh, keesokan harinya rumah Helena mendadak menjadi seperti rumah singgah. Banyak para bapak yang datang untuk sekedar mengobrol dan mencari tahu tentang Ahmed. Banyak para ibu yang datang bersama anak gadis mereka seraya membawa beragam makanan untuk diberikan pada Ahmed. Dalam waktu itu, mereka mengenalkan anak gadis mereka pada Ahmed. Ahmed menjadi incaran para gadis dan wanita lajang di desa mereka.
Helena sendiri mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman sekolahnya mengenai Ahmed. Jelas para gadis seusianya sangat tertarik pada sosok Ahmed yang berbeda dari warga mereka pada umumnya. Dia merasa mulutnya sudah berbuih karena terus menerus mengulangi kalimat yang sama, sehingga setelah ia sampai ke rumahnya dan melihat Ahmed, dia menjadi kesal sendiri pada pria itu. Entah kenapa.
"Ari teteh kunaon?" (Teteh kenapa?) Pertanyaan ibunya di kala sore membuat Helena terenyak dari lamunannya.
"Kunaon nyak?" (Kenapa kenapa?) Helena balik bertanya pada ibunya.
"Dari pulang sekolah cemberut terus. Ada masalah?" Tanya ibunya ingin tahu. Helena hanya menggelengkan kepala.
"Gak kenapa-napa. Emak aja yang aneh, orang teteh biasa kayak gini juga."
"Gak ah, gak biasanya begini. Kilah ibunya. "Teteh kayak anak gadis yang lagi marahan sama pacarnya. Sama siapa? Teteh punya pacar di sekolah? Anak siapa?" Cerocos ibunya yang membuat Helena memutar bola matanya.
"Ari Emak kamana wae lamun ngobrol teh." (Emak ini kalo ngomong suka ngaco) Ucap Helena seraya bangkit dari duduknya. '"Teteh mau ngerjain PR dulu." Lantas meninggalkan ibunya dan mengurung diri di kamar.
Iyakah dirinya seperti anak gadis yang sedang marah pada pacarnya? Tanyanya dalam hati. Tapi siapa? Ia tidak punya pacar, bagaimana bisa dia marah?
Tapi memang dia kesal pada orang-orang, teman-teman gadisnya yang selalu mengganggunya hanya untuk menanyakan tentang Ahmed padanya. Ia merasa kehidupan pribadinya terganggu, itu saja. Wajar kan?
"Bukan..." Ucap Yeni sahabatnya di suatu pagi saat mereka berangkat sekolah. "Kayaknya kamu cemburu deh karena anak-anak di sekolah kita tanya-tanya tentang si Aa."
Ya, diantara teman-teman sebayanya entah itu tetangga ataupun teman sekolah, hanya Yeni yang tidak ingin tahu tentang Ahmed. Mungkin karena Yeni sudah punya pacar alias calon suami jadi dia tidak merasa perlu melirik pria lain sekalipun pria itu lebih tampan atau lebih kaya dari calon suaminya sendiri.
"Cemburu gimana maksudnya?" Tanya Helena tak mengerti.
"Iya cemburu. Gak suka aja gitu kalo si Aa dapet perhatian dari orang lain. Atau malah kamu takut si Aa direbut sama orang lain. Ngaku aja." Godanya dengan senggolan di bahu Helena.
"Apaan sih, enggak juga." Elak Helena yang membuat Yeni tertawa mendengarnya.
"Udah lah, ngaku aja. Aku bisa ngerti kok. Kamu emang gak pernah suka sama cowok, gak pernah pacaran-pacaran kayak yang lain. Jadi sekalinya kamu punya rasa, kamu gak tau itu apa." Lanjut Yeni lagi yang membuat Helena mengernyit.
"Udah ah, gak penting juga bahas cinta-cintaan. Kamu kan tahu kalo aku ini punya cita-cita. Dan cinta-cintaan bukan salah satunya." Ucap Helena dengan ketus.
Yeni menganggukkan kepala. "Iya, aku tahu. Udah hafal di luar kepala malah." Jawabnya terkekeh. "Tapi justru karena itulah aku yakin kamu suka sama si Aa. Karena dia orang asing, dia orang yang kata kamu cerdas, dan dia orang yang bisa nunjukkin kamu tentang dunia lain yang ingin kamu pijak. Jadi wajar kalo kekaguman kamu sama dia itu meningkat."
Helena semakin mengernyitkan dahi. "Udah ah, lama-lama pusing dengerin kamu ngomong." Ucap Helena seraya menjauh yang membuat sahabatnya itu kembali terkekeh.
Meskipun enggan mengakui pernyataan Yeni, setelah kembali ke rumahnya Helena kembali memikirkan pembicaraan mereka. Bisa jadi dirinya memang menyukai Ahmed karena sosok pria itu adalah gambaran masa depan yang diinginkannya. Sosok pria cerdas dari negara asing yang bisa mengajarkannya banyak hal. Tapi benarkah ia memang menyukai Ahmed karena hal itu?
Ahmed sendiri sekarang sudah diajak ayah Helena untuk bekerja di perkebunan. Ia tidak lagi memakai sarung milik ayahnya sebagai bawahan karena ayahnya dan sesepuh desa meminta bantuan para warga khususnya yang memiliki tubuh super besar untuk menyumbanhkan pakaian mereka pada Ahmed. Alhasil, para pria berbobot besar yang memiliki celan super besar berbondong-bondong datang dan menyumbangkan pakaian mereka.
Kaus lengan pendek yang berukuran super besar di tubuh ayahnya cocok dikenakan Ahmed. Dan celana entah ukuran berapa yang bagian kakinya menggantung kemudian dipotong menjadi berukuran di bawah lutut oleh ibunya dan dijahit oleh tetangga dengan bayaran seikhlasnya.
Setiap pagi, Ahmed akan dibonceng oleh paman Helena menuju kebun, sementara ayahnya akan nebeng motor tetangga untuk pergi ke kebun.
Kehadiran Ahmed si orang asing kini tersiar ke seluruh penjuru desa. Bukan hanya warga daerah Helena tapi juga ke beberapa daerah tetangga. Sebagian besar mereka tahu karena obrolan dari sesama karyawan perkebunan. Kekuatan sakti berita dari mulut ke mulut membuat semua orang penasaran dengan kehadiran bule yang masuk kampung. Hingga kabar itu juga tersiar pada putri si pemilik perkebunan.
Ahmed sudah merasa nyaman tinggal di desa. Ia bahkan sudah bisa berbaur dengan orang-orang meskipun menggunakan bahasa yang terpatah-patah. Ahmed akui dia cukup kesulitan untuk memahami bahasa mereka. Ia memang mempelajari bahasa Indonesia lewat kamus Inggris-Indonesia yang ia pinjam dari Helena. Namun kesulitan yang datang setelahnya adalah saat ia harus berkomunikasi dengan warga yang sudah cukup berumur dengan menggunakan bahasa Sunda. Ya, Ahmed kewalahan kala ia yang masih berbahasa Indonesia terpatah harus mulai mempelajari bahasa lain yang merupakan bahasa daerah Helena.
Tentang Helena, Ahmed sendiri bingung. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah ia melakukan kesalahan pada gadis itu. Karena beberapa waktu terakhir ini, Helena terlihat menjaga jarak darinya. Gadis itu tidak pernah lagi duduk bersama dengannya di halaman rumah dan berbincang berdua. Setiap kali Ahmed mendekat, Helena justru menjauh. Kadang gadis itu menyertakan alasan, kadang malah pergi begitu saja tanpa sedikitpun menoleh memandang Ahmed.
Namun sekarang, bukan itu poin utama yang Ahmed pikirkan. Ahmed suka tinggal di tempat Helena dan jiwa bisnisnya berontak seketika. Dia ingin menancapkan kakinya di Indonesia, memulai usaha. Namun jelas ia tidak bisa memulainya jika ia tidak memiliki modal. Ia membutuhkan bantuan Basir sementara ia sendiri tidak bisa menghubungi adiknya itu karena semua barang miliknya hilang. Identitas, paspor, uang. Semuanya diambil oleh rampok yang kemudian membuangnya di pinggir jalan.
Ahmed sudah bertanya-tanya pada warga, dimana dia bisa menemukan telepon umum. Lucunya, sebagian orang-orang itu bahkan tidak tahu apa itu telepon. Allah Allah, apa memang desa tempat tinggal Helena setertinggal ini? Tapi kemudian Ahmed mendapatkan jawaban. Tepat didapatnya dari seorang gadis yang kemudian ia tahu merupakan putri si pemilik lahan dimana Ahmed dibawa bekerja oleh ayah Helena. Nama gadis itu Yasmin. Dia cantik, bertubuh tinggi langsing dan berkulit putih. Senyumnya juga memikat. Dia jelas tipe gadis kota yang glamor. Dan dari tatapannya, Ahmed tahu kalau gadis itu juga menyukainya.
"Orang kampung disini udik, mana tahu mereka apa itu telepon. Mereka masih berkomunikasi menggunakan surat dan perangko. Kamu bayangkan sendiri akan berapa lama komunikasi dengan cara itu." Ucapnya di suatu siang kala ia datang berkunjung ke perkebunan yang entah untuk ke berapa kalinya.
"Terus, dimana di daerah sini yang ada telepon?" Tanya Ahmed ingin tahu.
"Di pabrik Bapak aku ada. Di rumah juga ada kalo kamu mau main ke sana." Tawarnya dengan nada menggoda.
Ahmed mengerutkan dahi. Jelas ia tidak mungkin datang ke pabrik untuk meminjam telepon. Sekalipun ia menggunakan bantuan Yasmin, ia tidak mau orang-orang menganggapnya aneh. Tapi ia juga tidak mungkin datang ke rumah gadis itu sendirian. Meskipun Ahmed bukan pria tipe playboy seperti Basir, tapi ia sudah terbiasa bergaul dengan beragam jenis perempuan. Dia tahu Yasmin tertarik padanya, dan dari bahasa tubuh gadis itu, Ahmed punya pikiran bahwa Yasmin bisa-bisa membuat rencana licik untuk memikatnya. Yang Ahmed sendiri tidak tahu rencana apa. Jadi sekalipun dia memerlukan bantuan Yasmin, dia perlu orang lain untuk dia ajak pergi ke kediaman gadis itu. Dan nama Helena tiba-tiba terbersit di kepalanya.