"NANTI malam gue nginep sini, ya?"
Semua mata sontak memandangi Irin yang kini memasang ekspresi memohon pada Syila, sang pemilik apartemen. Jujur saja, lebih baik dia tinggal dengan Syila daripada tinggal bersama Rein.
Tentu saja, semua itu karena sifat Rein yang suka lepas pakaian seenaknya, dan dia bahkan tidak punya urat malu sama sekali untuk menunjukkan p****t di depan mukanya. Benar, sih, dia tidak memamerkan benda kebanggaannya, tapi tetap saja ... itu semua tidak baik untuk jantung dan otaknya.
"Errr ...."
Syila melirik Jake yang memberi gelengan tegas. Dia pun menghela napasnya kasar. Dia sudah mendengar soal Rein yang ternyata lebih gila dari Jake dan dia benar-benar kasihan pada Irin setelah mendengar ceritanya.
"Nginep aja, kalau lo mau lihat mereka berdua ngadon." Rein menunjuk Jake tepat di depan mukanya.
"Emang iya?" tanya Irin dengan muka polos yang ingin sekali Rein tabok, dia sepertinya lupa siapa Jake yang terkenal b******n di mana-mana.
Syila menggaruk-garuk pipinya, bingung mau bilang apa. Dibilang 'ngadon' juga tidak benar, tapi dibilang pacaran biasa juga sepertinya bukan itu.
"Lihat aja muka mereka. Lo pulang dari sini mereka langsung masuk kamar terus kunci pintu, keluarnya besok pagi dengan muka lemes. Emang lo mau tidur di mana? Di kamar Syila dan jadi penonton acara live show mereka gitu?"
Walaupun tahu Rein sedang mencoba menyelamatkan waktu bermesraannya dengan Syila, tapi tetap geli juga membayangkan dia sedang memesrai kekasihnya, tapi dilihat oleh orang lain di ruangan yang sama.
"Dih, gue nggak nyangka lo berdua pacarannya kayak gitu. Pantas aja kemarin sampai jadi mayat hidup waktu putus."
Syila hanya memamerkan cengiran tidak berdosa. Jake hanya diam saja di tempat duduknya.
"Yakin, masih mau nginep?" tanya Rein memastikan.
"Nggak, deh. Lebih parah mereka ketimbang kebiasaan jelek lo."
Rein memutar bola matanya malas. Setelah numpang makan, Rein menyeret istrinya pulang. Sejak tadi dia sudah malas di sana. Berhadapan dengan pasangan penuh cinta yang membuatnya iri setengah mati, karena nasib cintanya sangat tragis sekali.
Andaikan ... Irin juga menyukainya.
"Dulu, kenapa lo bisa naksir sama Akram sampai kayak gitu?" tanyanya secara tiba-tiba.
Rein menatap wajah istrinya. Senyuman dan keceriaannya lenyap begitu saja, menjadi senyuman pedih dengan mata sayu.
"Alasannya panjang, gue rasa lo nggak akan mau dengerin cerita gue."
Rein menarik bahu Irin agar menghadap mukanya. "Apa ada yang lo sembunyiin dari gue selama ini?"
Irin mengangguk. "Ada, tentu ada. Cuma dia, teman-temannya, dan orang tua gue yang tahu apa alasannya." Irin membuang muka. "Dia pernah nyelametin gue waktu SMA, itu alasan sederhana kenapa gue bisa suka sama dia."
Dan Rein mulai berpikir, apa yang sebenarnya terjadi dengan Irin dan Akram di masa lalu? Kenapa tidak ada yang memberitahunya soal masalah waktu itu?
Apakah saat itu ... dia memang bukan lagi teman yang penting untuk Irin sampai dia sama sekali tidak diberi tahu?
***
"Gue mau ikut Syila ke restoran Tante Nayla, mau latihan masak." Rein hanya mengangguk. "Lo sendiri gimana? Mau tiduran lagi?"
Rein meliriknya sinis. Apakah Irin tidak lihat dia sedang memakai setelan lengkap untuk bekerja? "Mau kerja."
"Katanya libur seminggu?" Irin mengernyitkan dahinya tak mengerti.
"Daripada gue di sini nggak ngapa-ngapain, mendingan gue berangkat kerja, kan?"
"Iya, sih. Lo biasanya pulang jam berapa?" Irin menatap lurus kedua mata suaminya, Rein hanya membalasnya sekilas.
"Biasanya jam enam sore, kalau nggak ada lembur. Kalau lembur, bisa pulang tengah malam."
Irin mendengkus. "Kerja apaan, tuh, sampai tengah malam amat?"
"Biasanya ada yang ulang tahun dan ngerayainnya di kelab sama anak-anak satu divisi. Tenang aja, gue bakal nyelinap pulang kalau emang ada pesta nggak jelas begitu."
"Beneran, ya? Nanti cepetan pulang, temenin gue belanja."
Rein hanya mengangguk, tanpa tersenyum. Ternyata hanya ingin ditemani belanja. Padahal, dia pikir, Irin akan merasa kesepian di sini tanpa dirinya.
Rein menghela napas kasar. Dia pun berangkat ke kantor dan mulai bekerja. Rein memang tidak menduduki tempat yang penting seperti direktur utama, kepala divisi, atau apa pun itu.
Dia hanya pegawai biasa, walau perusahaan itu milik keluarganya. Dia tidak masalah dengan jabatan, karena pengalaman lebih penting dari semua hal yang ia perlukan. Toh, ada Evan yang bisa diandalkan dan ada ayahnya yang masih sigap mengurus segala hal.
Lantas, untuk apa dia terburu-buru untuk mendapatkan jabatan penting, kalau dia bisa menikmati posisinya sekarang yang masih bisa digunakan untuk main-main. Toh, dia belum punya anak ... ya, walau sudah menikah, dia ragu bisa langsung memiliki anak dengan syarat yang diajukan istrinya itu.
"Rein!"
Rein menoleh malas, satu-satunya hal yang tidak ia sukai di divisinya sekarang adalah wanita itu, Freya Anindya, teman satu SMA-nya yang selalu mengejarnya sejak lama.
"Kenapa?"
"Lo katanya cuti seminggu?"
Rein mengangguk. "Gue nikah."
"Nikah?" Wanita itu tampak syok menatapnya. "Bercandaan lo nggak lucu, dih!"
"Gue lupa ngundang lo, ah, enggak, gue emang sengaja nggak ngundang siapa-siapa, tapi gue beneran udah nikah."
"Sama siapa? Lo nikah sama siapa? Perasaan lo nggak pernah punya pacar selama ini?" katanya dengan nada percaya diri bahwa Rein hanya bercanda atas kata-katanya tadi.
"Irina Afariska, anak IPS I, temen masa kecil gue." Rein berlalu, dia sengaja membuat patah hati perempuan itu. Daripada dia terus-menerus dikejar, lebih baik dia memaksa perempuan itu mundur sekarang, kan?
***
"RIN!"
"Kenapa?" Irin membalas tatapannya.
"Lo yakin mau beli ini semua?"
Rein menatap horor peralatan memasak yang dipilih Irin dan siap dibawa pulang ke apartemennya.
Dia tidak masalah membeli semua itu, tentunya jika barang-barang itu memang berguna untuk mereka, kenapa tidak?
Masalahnya, baik dia maupun Irin jelas-jelas tidak ada yang bisa memasak. Lalu untuk apa membeli semua peralatan dapur ini? Mau dibuat koleksi atau buat penghias dapurnya yang kosong melompong gitu?
Jangan bercanda dengannya ....
"Yakinlah! Nanti beli telur, sayur, dan rempah-rempah juga, ya."
"Lo mau masak?" Rein mengernyitkan dahi, menatap istrinya curiga. "Emang bisa?"
Irin mengatupkan bibirnya. "Mau bilang bisa, sih, kayaknya kecepatan. Gue baru belajar soalnya. Nggak boleh emangnya?"
Rein tidak berkomentar. Dia membiarkan istrinya mengambil apa saja yang Irin perlukan dan berharap keduanya lekas pulang dari sana. Rein mulai merasa tidak nyaman akan pandangan ibu-ibu yang tengah melirik mereka tanpa suara.
"Rein!"
"Hm?"
"Lo mau makan apa nanti?"
Pertanyaan itu sukses membuat Rein mematung. Dia tidak terlalu pemilih, apa saja, asal bisa dimakan dan membuat perutnya kenyang, itu sudah lebih dari cukup untuknya.
"Apa aja, asal bisa dimakan," komentarnya.
Irin terlihat mengangguk, mereka membawa troli yang sudah penuh itu ke meja kasir, saat matanya melihat seorang pria dengan setelan kemeja rapi dan berjas sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.
Rein merasakan firasat buruk kali ini.
"Irin!"
Irin menoleh, matanya membelalak melihat pria terakhir yang berkencan dengannya datang dan langsung memeluknya erat. Irin memandangi Rein yang sedang melotot sembari menghunjamkan tatapan mematikan ke arahnya.
"Sumpah, akhirnya gue bisa ketemu lo lagi!" Pelukannya semakin erat bahkan terasa seperti sedang berusaha meremukkan tulang-tulang di tubuh kecilnya.
Irin mencoba melepaskan diri, tapi pria itu semakin mengeratkan pelukannya, sampai Rein menarik paksa pria itu agar menjauh dari istrinya.
"Sori, Bung, dia bini gue. Lo boleh bahagia karena kalian bisa ketemu lagi, tapi bukan berarti lo boleh peluk-peluk dia seenak jidat lo sampai mau ngeremukin badannya kayak gitu. Nggak sopan dan nggak punya etika."
Irin langsung berlari ke belakang tubuh Rein, bersembunyi seandainya Joan menariknya lagi, lalu memeluknya kembali sampai dia nyaris mati. Kenangan terakhirnya dengan mantan pacar satu itu sudah jelek. Dia tidak mau menambah memori buruk lagi tentang Joan yang bisa menambah trauma hidupnya.
"Lo suaminya?" Pertanyaan itu membuat Rein menatap pria itu dengan ekspresi menantang.
"Iya, gue suaminya."
Joan mendengkus keras. "Gue nggak habis pikir, kenapa Irin mau sama lo? Dilihat dari mana-mana juga gue lebih baik dari lo yang ...," Pria itu menatap Rein dengan ekspresi meremehkan, "jelek, miskin, nggak punya etika."
"Lo nggak pernah ngaca, ya? Muka kayak kaleng remuk gitu ngatain gue jelek? Dan lagi, sejak kapan gue miskin dan nggak punya etika? Lo kali, yang miskin dan nggak punya etika."
Rein mendengkus. Tentu saja, kalau keluarga dia miskin, mana berani keluarganya melamar keluarga Irin yang konglomerat itu.
"Halah, dijodohin doang bangga!"
"Kenapa enggak bangga coba? Gue bisa nikah sama dia," Rein menunjuk Irin dengan dagunya, "nah lo, pacaran doang diputus kemudian."
Irin menarik kaus yang Rein gunakan, meminta perhatian suaminya. Saat Rein menatapnya, dia berbisik, "Ayo pulang!"
"Bentar." Rein kembali menatap pria asing yang tiba-tiba mengganggu acara belanja istrinya dengan senyuman miring. "Satu lagi, gue lebih lama kenal Irin daripada lo. Waktu kita masih sama-sama bayi, bahkan saking seringnya kita bareng-bareng dari kecil, gue nggak pernah sekalipun mikir kalau Irin bakal pergi ninggalin gue demi cowok lain. Apalagi cowoknya sejelek lo."
Rein menyeret Irin segera ke kasir, meninggalkan pria yang masih ternganga di tempat mereka berdiri tadi.
"Siapa?" tanya Rein begitu mereka selesai mengantre.
"Joan."
"Yang nelepon kemarin itu?" Rein menyipitkan matanya.
Irin mengangguk, desahan kasar ia keluarkan dari mulut. "Moga aja nggak pernah ketemu dia lagi!"
Rein hanya melirik istrinya dari samping. Ada yang disembunyikan darinya. Jelas, Rein bisa melihatnya dengan jelas. Namun, dia tidak berani bertanya.
Lebih baik menunggu Irin terbuka padanya, daripada dia harus memaksa dan berakhir Irin menjauhinya, kan?
***
Rein memandang horor telur dadar di depannya. Warnanya yang menghitam sebagian besar nyaris membuatnya lupa kalau yang ada di depannya adalah makanan, bukannya p****t panci yang pernah dia gosongkan.
Rein menelan ludahnya susah payah. Dia menatap Irin yang memandanginya dengan menggigit bibir bawah.
"Pasti nggak enak, ya?" katanya dengan suara lemah.
Rein segera memakan telur itu daripada melihat Irin menangis di depan wajahnya, tapi mulutnya berhenti bergerak begitu telurnya masuk ke dalam mulut dan mulai mencecap rasa.
Dia menatap Irin dengan mata melotot.
Sudah tidak ada rasa telur sama sekali, rasanya pahit dan rasa asinnya sedikit tidak normal. Dia menatap Irin yang tengah menunggu pendapatnya dan Rein hanya bisa menggeleng, sebelum lari ke wastafel dan memuntahkan telur dadar yang ada di mulutnya.
"Mendingan pesan aja, Rin. Gue nggak siap sakit perut abis makan masakan lo."
Rein menoleh ke belakang, Irin sedang memajukan bibirnya, merajuk. Perempuan itu mencicipi telur dadar yang ia buat dengan hati-hati dan apa yang Rein katakan memang benar, lebih baik mereka memesan makanan daripada sakit perut kemudian.
Rein mendekat, dia mengusap kepala istrinya dengan perlahan. "Belajar dulu yang rajin." Irin langsung membuang muka. "Apa buka tutorial masak telur dadar di You**** aja?"
"Emang boleh?"
Rein mengangguk. "Tapi sekarang pesan makan dulu, abis itu lo boleh eksperimen lagi."
Irin cemberut. "Ntar nggak ada yang makan dong!"
"Gue yang makan nanti, janji, deh. Asal rasanya normal, gue makan abis semuanya."
"Serius, ya?" tanya Irin dengan tatapan penuh harap.
Rein hanya mengangguk seraya berdoa, semoga besok dia masih baik-baik saja!