"SERIUS, nih, masa iya gue harus minta bantuan tetangga cuma buat ke apartemen Syila?"
Irin sudah siap mengetuk pintu, tapi ia merasa ragu. Dia pun berhenti, tubuhnya menyender dinding, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi tersangkanya langsung.
Satu detik ... dua detik ... hingga detik kesepuluh, dia masih berteman dengan sepi tanpa menemui sambutan yang berarti. Irin kembali menghubungi nomor yang sama dan akhirnya, dia mendapatkan balasan dari seberang.
"Halo!" sapaan dari seberang telepon membuat Irin mengernyit. Suara laki-laki, padahal dia menghubungi nomor Syila dan Syila itu perempuan.
"Lo siapa? Nomor ini harusnya punya temen gue, kenapa bisa ada di lo nomornya?" tanyanya beruntun.
Irin sangat yakin, Syila tidak akan membuang nomor kesayangannya itu sampai kapan pun. Kecuali ponselnya dicuri atau hilang di tengah jalan dan ditemukan orang asing.
Sosok di seberang sana mendengkus keras. "Emang nomor Syila masih gue bawa. Lo siapa? Dan ada perlu apa sama dia?"
"Gue Irin, gue mau ketemu Syila di apartemennya, tapi gue nggak tahu di mana alamatnya."
"Rein nggak ngasih tahu emangnya?"
Irin sontak saja mengernyitkan dahinya semakin curiga. Kenapa laki-laki ini tahu soal Rein? Apa dia salah satu kenalan dekat Syila?
"Enggak, dia lebih milih ngorok. Lo siapanya Syila, sih? Bisa nganterin gue ke tempatnya, kan? Gue takut, nih!"
Irin bisa mendengar helaan napas kasar dari seberang. "Tungguin lima menit, gue lagi di jalan."
Sambungan terputus. Irin menghela napas lega. Dia hanya tinggal menunggu dan orang itu—kenalan Syila dan Rein—akan mengantarnya sampai tujuan. Namun, begitu dia melihat sosoknya dari kejauhan, mata perempuan itu langsung melotot tajam.
"Jake?"
"Hm."
"Lo yang gue telepon tadi?" tanyanya, tidak percaya.
"Nggak sadar emang?" Irin menggeleng. "Rein mana?"
"Di kamarnya, emang dasar kebo itu orang, nggak ada kerjaan bukannya jalan-jalan, malah rebahan mulu. Nggak guna emang."
Jake mengangguk, dia terlihat memasukkan password di sebelah pintu apartemen yang hampir ia ketuk tadi.
"Apartemen Syila emangnya di mana sih, Jake? Jauh, ya? Sampai gue minta si Rein nganterin aja ditolak gitu aja."
Pintu apartemen itu terbuka, Irin menatap Jake tidak mengerti. Apakah apartemen ini milik Jake dan Rein sengaja menyuruh Irin meminta bantuan playboy itu untuk sampai ke tempat Syila begitu?
"Masuk sana, biar gue hajar suami lo."
Irin mengernyitkan dahinya tidak paham. "Maksudnya?"
Syila tiba-tiba keluar dari kamar dan menghampiri pintu masuk apartemen yang sedang terbuka. Sosok perempuan yang sedang dicari-cari yang sontak saja membuat mulut Irin menganga.
"Lho, Rin? Lo ngapain di sini?"
"Jadi ... lo tetanggaan sama abang lo gitu?" tanyanya yang syok bukan main.
Syila menatap Jake tidak mengerti. "Dia kenapa?"
"Dikerjain suaminya pasti, apalagi. Aku ke sebelah bentar." Jake memasukkan sandi apartemen Rein dan menghilang di balik pintu.
Irin menatap Syila, lalu tubuhnya ambruk memeluk adik iparnya. "Si Rein jahat banget masa? Apa susahnya bilang kalau lo tinggal di sebelah. Gue disuruh aneh-aneh sama dia cuma buat bisa ketemu sama lo doang."
Syila jadi prihatin. Dia pun membawa Irin masuk, setelah memastikan pintunya terkunci. Dia ingin mendengar semua yang terjadi. Apalagi, ini baru semalam sejak Rein dan Irin resmi menjadi suami istri.
***
"Kayaknya nikah baru kemarin, kenapa nggak ada jejak-jejak kamar pengantin di sini, ya?"
Rein mendengkus. "Lo ngapain di sini?"
"Lihat keadaan lo yang tepar begitu. Kalah ronde dari istri apa gimana, si Irin aja biasa aja gitu jalannya."
Rein langsung bangun. "Kalah ronde pala lo, satu ronde aja nggak dapat gue."
"Oh!" Jake sontak tertawa puas. "Pantes lemes, nggak dijatah ternyata, kasihan!"
"Berengsek! Keluar sana lo! Ngapain, sih, lo di sini? Gangguin orang tidur aja." Rein menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Hal yang paling tidak ia inginkan adalah bertemu dengan temannya satu ini. Selain dia yang akan habis karena diledeki, juga karena pasti, topik itu diangkat ke udara oleh laki-laki itu.
"Lo nggak mau jujur aja sama dia, kalau lo sebenarnya udah cinta mati sama dia dari lama?"
Rein mendengkus. Jujur, itu berarti merendahkan harga dirinya sampai paling dasar. Iya, kalau Irin percaya bahwa dia selama ini sudah cinta mati padanya, kalau tidak? Yang ada hanya akan membuat Rein lebih terlihat menyedihkan.
Status teman dari kecil yang terbiasa mandi dan tidur bareng seperti keduanya sudah saling mengenal luar dalam. Jika Irin selama ini tidak sadar kalau Rein cinta padanya, berarti tahap ketidakpekaan perempuan itu lebih mengerikan daripada laki-laki seperti dirinya.
Dan kalaupun dia bilang cinta, mungkin Irin hanya akan menganggapnya lelucon saja. Terutama setelah peristiwa waktu itu.
Rein menghela napasnya kasar.
"Akram ngado apa?"
Rein melirik Jake sinis. "Lo mau nodong gue pakai pisau sekalipun, nggak akan gue kasih tahu."
Jake mendengkus. "Jadi, dia beneran gebetan Irin yang lo maksud itu?"
Rein mengangguk. "Entah apa yang bakal terjadi kalau Irin tahu Akram ada di sini."
Jake mengangkat bahu. "Gue nggak bilang dia ada di sini, kan? Dia cuma nitip, kalau dari gerak-geriknya dia udah kayak buronan gitu, gue sangsi dia bisa netap di satu tempat yang sama dalam beberapa waktu."
"Maksud lo?"
"Pekerjaan dia, kayaknya bukan pekerjaan main-main."
Rein mendengkus. "Mungkin aja dia jadi polisi, dari dulu dia sering nemu mayat setiap hari."
Jake menatap Rein dengan mata melotot tajam. "Bercandaan lo nggak lucu sama sekali."
"Tanyain aja sama Syila kalau lo nggak percaya. Dia emang punya kutukan buat nemuin mayat di mana-mana. Lebih parahnya, dia sering dituduh sebagai pelakunya."
"Kenyataannya nggak, kan?" Rein menggeleng. "Gue penasaran kerjaan dia apa, tapi gue nggak bisa nanya lagi sama dia."
"Lah? Bukannya lo dititipin kado sama dia? Gimana ceritanya coba?"
"Dititipin, sih, iya, tapi dia nelepon nomor Syila pakai nomor pribadi. Jadi gue nggak bisa ngelacak posisi dia di mana."
Rein menghela napas kasar. "Yah, kalau dia, sih, gue juga ragu lo bisa lacak keberadaannya walaupun pakai orang-orang suruhan lo."
Rein mendengkus keras, mengingat keberadaan foto memalukannya yang hilang begitu saja ditelan bumi, lalu tiba-tiba kembali menjadi kado pernikahannya, sepertinya Akram memiliki kemampuan yang lebih mengerikan dari sepupunya Evan.
"Kenapa?"
"Kayaknya dia lebih mengerikan dari sepupu gue."
Jake mengernyitkan dahi. "Evan maksud lo?" Rein mengangguk. "Apa jangan-jangan video p***o itu Evan yang nyebarin?"
"Buat apa coba dia nyebarin video kayak gitu? Nggak ada motifnya juga kalau itu soal lo sama Syila." Rein mendengkus. "Udahlah, lo balik aja ke apartemen adik gue, gue mau tidur lagi."
"Yakin lo biarin gue sama Irin ada di tempat yang sama? Apa mending gue panggil si Dio aja gimana, ya? Biar lengkap formasinya."
Rein langsung duduk tegak. "Berengsek lo!" umpatnya sebelum bergerak menuju kamar mandi untuk cuci muka sebelum pergi.