02 - Lingerie dan Foto Aib

1454 Words
IRIN mengangkat lingerie berwarna marun yang hanya bisa menutupi payudara dan bagian intimnya saja dengan tatapan horor. Dia benar-benar menemukan hadiah seperti ini? Irin mengernyitkan dahi, dia mencari nama yang memberikan kado itu dan ia langsung mengumpat begitu melihat nama teman sekelasnya dulu tertera di sana. "Emang berengsek itu buaya satu!" umpatnya. Irin mencoba membuka hadiah lainnya, sampai tatapannya berhenti di sebuah kotak kado besar berwarna merah yang ia ingat jelas dibawa oleh Jake sebelum mantan aktor itu membuat geger acara pernikahannya. Dia mencoba mencari nama pengirim, tapi dia tidak menemukan apa-apa. Hingga dia menyerah mencari-cari dan lantas membuka isinya. Selembar kain panjang berwarna putih membalut sesuatu di dalamnya. Irin membuka kain itu dan ia menemukan sebuah bingkai berwarna merah yang membingkai foto kelas XI IPS 1 dan XI IPA 1 yang sedang gencatan senjata. Benar, itu kelas Irin dan juga kelas Rein dulu. Kelas mereka sering bertengkar, tentunya bukan ia dan Rein, melainkan anak sekelas mereka yang lain. Terutama laki-laki yang ia sukai saat itu dengan anak di kelas Rein, bahkan kadang Rein ikut-ikutan juga. "Lihatin apa?" Pertanyaan itu membuat Irin tersenyum simpul. "Ini, ada yang ngado foto kita waktu kelas sebelas, pas lagi gencatan senjata." Irin menunjukkan bingkai foto itu pada Rein tanpa merasa berdosa sama sekali. Rein menerimanya dan matanya melotot begitu dia melihat seperti apa sosoknya di foto itu. "Bangsat, siapa yang punya foto ini?" tanyanya emosi. Rein ingat betul, foto itu kabarnya sudah hilang sebelum sempat diberikan bahkan diperlihatkan ke anak-anak kelas sebelas. Katanya, data sekolah dibobol oleh hacker entah dari mana yang membuat sekolah kecurian beberapa data siswa, walau tidak berimbas fatal. Irin mengangkat bahu. "Nggak tahu, itu dari kado yang dibawa Jake kemarin. Lo tahu siapa yang ngirim?" Rein mengernyitkan dahinya. Akram? Apa dulu dia yang udah bobol data sekolah, tapi buat apa? Dan kenapa harus foto itu yang dijadiin kado pernikahan gue sama Irin, anj*ng! Sumpah, dia bahkan baru sadar kalau di foto itu dia menatap Irin sampai mupeng begitu. Ekspresinya benar-benar khas seorang anak remaja yang sedang jatuh cinta pada anak kelas sebelah yang cuma bisa dipendam sampai kiamat. Astaga, mukanya mau ditaruh mana kalau Irin sampai melihat dan menyadari fotonya? "Gue pinjem, ya, fotonya." "Pinjem buat apaan? Dipajang aja, kan, lumayan." Lumayan pala lo! Rein terkejut saat foto itu dirampas dari tangannya dan Irin sibuk mencari tempat yang cocok untuk menaruh foto itu di dinding apartemennya. Mikir, Rein, mikir! Itu kalau ada yang sadar fotonya, lo bisa malu seumur hidup! Rein menoleh ke sembarang arah, lalu dia melihat lingerie merah yang berada salah satu kotak kado yang sudah dibuka. Dia mengambil benda itu dengan menelan ludah berulang kali. Dia menatap istrinya, lalu lingerie itu berulang kali. "Rin, lo nggak mau makai ini di depan gue apa gimana gitu?" "Hah?" Irin menoleh, wajahnya memerah, dan ia langsung menghampiri Rein, menukar lingerie dengan bingkai foto di tangannya, lalu dengan panik dia berlari menuju lemari untuk menyembunyikan pakaian dalam itu di sana. "Lah, malah diumpetin, bukannya dipakek gitu?" Irin mendelik. "Mimpi dulu sana, kalau udah tinggi, ntar gue jatohin biar lo sadar lagi." "Sadis," Rein mengembalikan bingkai itu kembali kotaknya, "tapi gue suka." "Lo kan emang masokis, Rein!" Rein tertawa, apalagi saat melihat Irin memalingkan pandangan dengan pipinya bersemu merah. "Jadi, beneran, nih, nggak mau makai di depan muka gue? Kalau lo mau makai itu, lo boleh mukul atau mau ngapa-ngapain gue, kok. Ikhlas lahir batin gue." Irin memasang ekspresi seperti ingin muntah. "Amit-amit, salah gue apa coba sampai dapat suami kayak lo? Untung cuma dua bulan." Kalimat itu lagi .... "Yakin cuma dua bulan? Bukannya perjanjian kita sama Tuhan, nikahnya buat selamanya, ya?" Irin menatap Rein, Rein menatap Irin. Keduanya saling berpandangan sampai Irin melemparkan kalimat mematikan untuk Rein. "Emang lo mau hidup selamanya sama orang yang nggak lo cintai?" Rein menatap iris mata cokelat itu dengan ekspresi serius. "Bukan nggak, tapi belum. Tugas manusia itu terus berusaha mencapai apa yang ingin dicapainya. Kalau lo mau pernikahan ini untuk selamanya, berarti lo harus belajar buat suka dan cinta sama gue, begitu pula sebaliknya." Irin membuang muka, tidak menjawab apa pun dan memilih membisu. Ia bahkan sampai melupakan keberadaan foto yang ingin dia pajang untuk mengisi dinding apartemen yang penuh kekosongan itu. *** REIN melapisi foto itu dengan kain, sebelum menyembunyikannya di lemari bagian paling bawah, tempat ia biasa menaruh dalaman. Melihat Irin yang tampak jijik saat memandangi boxer-nya semalam, dia berpikiran kalau perempuan itu tidak akan mau repot-repot menggeledah tempat itu hanya demi mencari sebingkai foto. Irin sekarang sedang mandi. Itu mengapa dia bisa menyembunyikan sesuatu tanpa harus khawatir perempuan itu akan tahu. Rein mendesah kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai memejamkan mata setelah kedua tangannya dia jadikan bantal. Apa yang akan mereka lakukan setelah ini? Meneruskan pernikahan, jelas bukan sesuatu yang mudah, terlebih Irin terang-terangan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Rein mendesah kasar. Dua bulan ... apa dia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya sendiri? Benar, melakukan hubungan intim di antara suami istri memanglah wajar. Namun, jauh di dasar hatinya, dia tidak ingin memaksa hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seharusnya memang menjadi miliknya. Terlebih, Irin adalah orang yang sejak dulu menjadi cinta pertamanya. Dia tidak ingin membuat Irin memandangnya buruk setelah mereka berpisah nanti. Rein mendesah lagi. Benar-benar sulit .... Dering ponsel yang terdengar asing membuat Rein bangkit sembari mengernyitkan dahi. Jelas, dia tahu namanya privasi, tapi dia ingin mengetahui siapa yang sedang menghubungi sang istri. Nama laki-laki di layar ponsel Irin membuat Rein mengangkat telepon tanpa berpikir dua kali. "Rin, kenapa lo nikah nggak ada bilang-bilang ke gue? Katanya lo mau nikah sama gue, tapi apa kenyataannya, lo--" "Kenyataannya sederhana. Dia nggak cinta sama lo, itu kenapa dia nggak jadi nikah sama lo." Rein memutus sambungan sebelum tambah dongkol setengah mati. Benar, Irin dulunya punya banyak pacar. Tentu saja, akan ada banyak laki-laki yang mendekati putri konglomerat seperti istrinya. Apalagi Irin memiliki paras yang mendekati sempurna. Siapa yang tidak akan tergoda untuk menjadikannya pendamping hidup untuk selamanya? Bahkan Rein yang bersumpah hanya akan menyimpan perasaannya sampai kiamat pun pernah bermimpi untuk memilikinya. Rein mendengkus. Dia benar-benar jadi milik gue sekarang, tapi gue nggak bisa ngerasa senang. Sama sekali. "Kenapa lo megang ponsel gue?" Rein menoleh, tanpa merasa bersalah dia menyodorkan ponsel itu kembali kepada pemiliknya. "Joan nelepon," katanya. Irin mengernyitkan dahi sambil menerima ponselnya dengan pasti. "Ngapain coba dia nelepon gue lagi, dih?" Irin tampak sibuk menjalankan jemarinya di atas layar. "Lo angkat, nggak?" Rein mengangguk. "Iya." "Dia bilang apa?" "Dia bilang, kenapa lo nikah nggak ada kabar-kabar, katanya lo janji mau nikah sama dia." "Idih, ngaco! Siapa juga yang pernah bikin janji kek begitu." Irin mendesah lega. "Clear blokir nomor mantan." "Segitunya? Nggak kasihan lo sama dia?" Rein mengernyitkan dahi curiga. "Sama suami sendiri aja tega, sama mantan nggak tega. Lo pikir gue udah gila?" Irin mendengkus. "Lagian, gue nggak suka cowok kayak dia." "Emang dia kenapa?" Irin menatap Rein serius. "Kalian setipe, sih, jadi mending nggak gue kasih tahu, nanti lo juga ikutan sakit hati." "Anjir!" Irin tersenyum tipis. "Rein, apartemen Syila katanya di dekat sini, ya?" "Kenapa emangnya?" "Gue mau main, dong. Boleh, ya?" Irin menatap Rein dengan muka memelas yang sangat menggemaskan. Rein mendengkus keras. "Main aja sana." Dia kembali menuju ranjang, lalu kembali rebahan. Tidak ada kerjaan, memang. Dia cuti menikah seminggu, niatnya biar ada acara bulan madu segala macam, tapi buat apa bulan madu kalau kenyataannya cuma jalan-jalan doang bikin keturunannya kagak. "Anterin dong, gue nggak tahu apartemennya yang mana. Ntar gue nyasar atau diculik sama orang gimana? Lo tega banget ngelepasin gue sendirian di tempat begini." Rein sontak bangun dan memelototi istrinya. "Nggak usah ngaco kalau ngomong. Siapa juga yang mau nyulik cewek galak kayak lo?" "Idih, gue kan imut dan cantik, pasti banyak yang mau nyulik gue buat dijadiin istri." Rein memelototinya. "Jangan ngada-ngada, Rin. Yang kayak gitu nggak mungkin kejadian." "Kan, siapa tahu, kan?" Rein mendesah kasar. "Iyain." "Serius, dih, anterin gue. Ntar kalau nyasar gimana?" Rein mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Lo keluar dari apartemen ini, belok kanan, jalan lima langkah, terus ketuk pintu apartemen sebelah, dan tungguin sampai kebuka. Ntar lo dianterin sama dia ke apartemen Syila." Irin sontak melotot. "Susah-susah amat, sih, lo! Apa salahnya langsung bilang di mana tempatnya ke gue?" "Ntar lo nyasar, sama aja." Rein mendengkus. "Udah sana keluar lo, gue mau tidur." Rein kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. "Dasar Kebo Porno!" Rein menarik bantal, lalu menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. "Dasar suami nggak guna, disuruh nganterin istrinya ke apartemen adik sendiri aja, dia malah milih tiduran. Awas aja kalau gue bisa masak ntar, nggak akan gue bagi hasil masakan gue ke lo, biar lo mampus kelaparan!" Rein yang masih bisa mendengar hanya menggumam pelan, "Lagian, apartemen cuma sebelahan begini minta dianterin, buat apa coba?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD