01 - Rencana Cerai Setelah Menikah

1295 Words
REIN melepas kemeja yang membalut tubuhnya dengan santai dan tak merasa canggung sama sekali. Dia bahkan tidak peduli, jika Irin tengah memelototi tubuh bagian atasnya dengan tatapan yang sulit diartikan sejak tadi. "Lo mau mandi dulu, apa gue duluan?" tawarnya seraya memandang perempuan yang hari ini resmi menjadi istrinya itu. "Lo duluan aja. Gue mau lihat-lihat apartemen lo dulu." Irin membuang muka, dia melangkah menelusuri satu-satunya koridor yang ada di apartemen Rein. "Hm, oke." Beberapa menit yang lalu, mereka masih berdebat soal perjanjian pernikahan yang ingin Irin terapkan di pernikahan mereka. Jelas, Rein tidak mau menerimanya. Lalu setelahnya, keduanya berdebat di mana mereka akan tinggal setelah menikah. Pilihan untuk tinggal dengan mertua atau orang tuanya sendiri, jelas bukan pilihan yang baik. Apalagi, Irin terang-terangan ingin mengakhiri pernikahan mereka dua bulan lagi. Rein tidak mungkin membiarkan kedua orang tua mereka tahu tentang masalah itu. Rein mendesah kasar. Dia memasuki kamarnya sendiri dan melepas celananya sebelum ia masuk kamar mandi. Dia benar-benar tidak peduli, walau sekarang ia tidak tinggal sendiri. Benar, mereka sepakat untuk tinggal di apartemen Rein. Niat orang tua Irin yang ingin membelikan rumah kecil untuk mereka harus ia tolak mentah-mentah. Selain karena secuil harga dirinya sebagai laki-laki merasa tersentil, dia juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskan jika pernikahan mereka gagal dua bulan kemudian. Rein menyelesaikan acara mandinya, membelitkan handuk melingkari perut sampai lutut, sebelum keluar dari kamar mandi. Tubuhnya mematung saat melihat Irin berdiri sambil menjumput boxer yang tadi ia lepaskan sebelum masuk ke kamar mandi. Tatapan istrinya itu tampak jijik, seperti melihat sesuatu yang mengerikan ada di hadapannya. Irin menatapnya dan tak lama kemudian boxer itu dilemparkan ke arahnya. Rein menangkap boxer-nya dengan baik. "Sumpah, ya, nggak bisa apa lo naruh boxer kotor lo itu di tempat yang seharusnya?" Rein berjalan menuju keranjang yang berisi pakaian kotor, lalu melemparkan boxer-nya ke dalam. "Gue cape, jangan cerewet, sana mandi." "Gue nungguin barang-barang gue sampai sini, nggak ada baju ganti," jelas Irin yang kini bergerak untuk duduk di atas ranjang. "Oh." Irin memang meminta pelayannya untuk mengemasi pakaian di rumah. Mereka tadi hanya pulang sebentar, mengganti pakaian tanpa sempat mandi, karena Rein telah berpesan padanya, kalau dia tidak mau lama-lama berada di rumahnya. Jadilah mereka hanya melepas pakaian dan berganti dengan pakaian seadanya, lalu pergi ke apartemen Rein secepat mungkin. Dengan kecepatan kilat ini, Irin tahu pasti jika Rein tidak akan meminta haknya di malam pertama mereka. Kelelahan akan resepsi pernikahan, ditambah lelah perjalanan, serta lelah hati membuat keduanya berpikir untuk mandi dan beristirahat secepat mungkin. Rein menoleh ke belakang, matanya melirik Irin yang tak terlihat ingin beranjak dari posisinya sama sekali. Irin menatapnya, matanya melotot begitu melihat handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya melorot. Tidak ... tidak .... Kalau memang melorot, pasti Rein akan panik dan segera menaikkan kembali handuknya. Namun, laki-laki itu tampak santai, berdiri dengan tubuh tinggi tegap dan otot punggung yang terbentuk sempurna. Lalu, jangan lupakan pantatnya yang kini menjadi pemandangan utamanya. Irin mengumpat. Dia segera memalingkan muka dan berlalu dari tempatnya sambil berteriak, "Ingatin gue kalau lo aslinya porno abis, Rein!" Rein menoleh lagi. Dia baru mengenakan boxer baru dari almarinya dan menatap Irin yang menutup pintu kamar dengan kasar. "Porno? Huh!" Rein mendesah kasar. "Kayak lo nggak pernah lihat cowok naked aja, Rin." Lalu bagaikan ditampar habis-habisan, Rein menatap pintu kamarnya dengan tatapan horor. "Jangan bilang kalau dia beneran masih virgin?" Rein tidak mau percaya. Sungguh, kekasih Irin sudah tidak bisa dihitung dengan jari lagi jumlahnya. Dari cowok baik-baik sampai yang paling berengsek pun ada. Semuanya sudah pernah diabsen satu per satu oleh istrinya. Lalu, bagaimana cara perempuan itu melindungi dirinya selama ini? Bagaimana cara ia melakukannya? Mustahil, bukan? *** IRIN tidak tahu harus ngapain saat ia bangun tidur. Biasanya, pelayan keluarga akan menyiapkan semua keperluannya. Dimulai dari pakaian, make up, sarapan, dan di luar rumah, sopir sudah siap mengantar dia pergi ke mana pun jika diminta. Namun, kali ini dia tinggal di apartemen Rein. Tinggal berdua bersama teman masa kecilnya yang sekarang telah menjadi suami sahnya. Irin menggigit bibir. Mengingat hal itu lantas membuat jantungnya bergemuruh. Semalam, dia naik ke atas ranjang laki-laki itu dengan takut-takut. Pasalnya, mereka sudah sah, tapi Irin tidak mau memberikan hak yang seharusnya Rein dapat darinya. Tidak ... dia hanya tidak siap melakukannya dengan Rein. Mereka dulu dekat, sangat dekat sampai keduanya SMA dan mulai mengenal yang namanya cinta pertama. Dan jelas-jelas, cinta pertama Irin bukanlah Rein. Jadi, jelas, pernikahan atas dasar perjodohan ini tanpa cinta. Mereka hanya saling mengenal dulu, sampai keduanya lulus SMA, karena setelah itu mereka kuliah di Universitas berbeda. Keduanya hanya saling ingat dulu pernah berteman akrab, tapi setelahnya, hubungan mereka putus begitu saja. "Lo bisa masak?" Irin menoleh cepat. Dia melihat Rein sedang mengusap rambutnya yang basah dengan handuk mandi warna biru gelap. Lalu menyampirkan handuk basah itu di bahu kanannya yang tegap. Irin tersenyum canggung. "Menurut lo?" "Nggak, sih. Nggak yakin gue kalau lo bisa masak." Rein mengedikkan bahu. "Toh, di sini juga nggak ada alat-alat masak sama sekali, nggak ada bahan makanan juga." Irin sudah melihatnya sendiri semalam. Sewaktu dia membuka pintu kulkas dan hanya menemukan minuman kalengan. Dia juga menemukan beberapa mie dalam kemasan cup yang hanya perlu air panas saja untuk memasaknya. Benar-benar tidak bisa memasak. Dia jelas tahu itu, karena Rein dari dulu memang membenci dapur. "Terus gimana sarapan kita pagi ini?" Rein mengangkat bahunya. "Pesan aja," jawaban santai itu disusul sebuah ponsel yang diserahkan padanya. "Pakai ponsel gue, sandinya kayak yang dulu." Irin mengernyitkan dahi. "Lo yakin ngasih ponsel lo ke gue, nih? Nggak takut cewek lo telepon dan gue yang angkat?" Rein mendelik. "Gue nggak punya pacar." "Beneran jomlo gitu?" tanya Irin dengan nada tidak percaya. "Bertahun-tahun gitu lo masih jomlo?" Rein mendelik. "Cek aja kalau nggak percaya. Banyakan jejeran mantan lo daripada mantan gue." "Iya, tapi banyakan rentengan cewek ONS lo daripada jumlah mantan gue ke mana-mana." Rein hanya tertawa hambar. "Mau gimana lagi? Udah jadi kebiasaan kayak gini, susah diubah, kecuali kalau udah nikah, udah punya lawan main yang sah." Rein mengedipkan sebelah matanya. Irin langsung membuang muka. "Ngarep banget lo bisa tidur sama gue? No! Ntar pas kita cerai, ternyata gue ketularan penyakit kelamin dari lo, bahaya banget, kan?" "Gue aman kali, lo sendiri gimana?" Rein bertanya dengan nada santai. "Iya, pasti amanlah. Gue selalu ingetin lawan main gue buat selalu pakai pengaman." "Iya udah, kita sama-sama aman." Rein mengangkat bahunya santai, dalam hati dia merasa sedikit lega mendengarnya. "Pesan makan, gih! Abis itu kita jalan-jalan bentar." Irin mengernyit. "Mau ke mana emang?" "Ke kelab malam," jawab Rein ngasal. Pagi-pagi begini memangnya kelab sudah buka? "Dih, mendingan gue buka-bukain kado daripada ikut lo ke sana." Rein hanya tertawa terbahak-bahak. "Jangan kaget kalau nemu kado yang aneh-aneh." "Emang isinya apa?" Irin menatapnya tidak paham. Rein menyeringai. "Siapa tahu, ada yang iseng dan ngado boneka sex, karena punya istri galak yang nggak mau ngasih jatah ke suaminya, kan?" Irin mengambil pisau, lalu melemparkannya ke arah Rein yang untungnya menghindar tepat pada waktunya. "Bahaya banget, sih, lo! Baru juga hari pertama, gue udah dilemparin pisau aja. Hari kedua lo bakal ngelemparin gue pakai apa?" "Yang jelas, di hari terakhir gue bakal lemparin surat cerai ke muka lo." Rein mendengkus, ia lantas membuang muka, menghindar dari tatapan Irin yang kini tengah memandangi sosoknya. "Nggak bisa apa, lo mikir-mikir dulu sebelum ngomong cerai di depan suami sendiri?" Irin mengernyitkan dahi. Memangnya kenapa? Toh, dia tahu kalau mereka sama-sama tidak mau menerima pernikahan ini. Mereka sama-sama tidak saling mencintai. Rein mau menikah, hanya karena perjanjian tololnya dengan Syila diketahui keluarga besarnya. Dia dipaksa menikah atau namanya akan dicoret dari daftar warisan keluarga Gunawan yang terkenal kaya raya. Sedangkan Irin menikahi Rein, karena dia telanjur berkata pada orang tuanya yang sedang gencar mencarikan pasangan hidup untuknya. Kata-kata yang menjadi bumerang dan melahirkan pernikahan mereka. "Maaf!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD