“Bos, saya melihat Nona Alya masuk ke butik Nona Bela.”
Tristan mengernyit mendengar laporan salah satu bawahannya. “Alya? Ngapain dia ke sana?”
“Kurang tahu, Bos. Nona Alya sudah masuk ke dalam sejak setengah jam lalu, tapi sampai sekarang belum juga keluar dari sana.”
Alya adalah adik kandung Tristan. Ia mengenal Bela sejak Bela masih berpacaran dengan Tristan dulu. Mereka cukup dekat memang, namun sejak Tristan dan Bela putus, Alya hampir tidak pernah bertemu Bela lagi. Kecuali tahun lalu, saat tanpa sengaja Bela menggunakan jasa wedding organizer milik Alya untuk pernikahannya dengan Davka.
Dan rencana Tristan untuk membujuk Bela agar mau memberikan hak asuh anak padanya adalah sederhana, ia mengirim orang untuk memata-matai keseharian Bela dan mencari celah kelemahannya, lalu menggunakan itu untuk mengancam Bela. Karena sepertinya Bela sama sekali tidak goyah dengan ancaman yang melibatkan Davka atau ayahnya.
Namun, Tristan justru mendapatkan hal tidak terduga di hari pertama memata-matai Bela.
“Saya harus gimana, Bos?”
Suara di ujung telepon membuyarkan lamunan Tristan. “Terus perhatikan aja dan laporkan kalau kamu menemukan informasi lain.”
“Baik, Bos.”
Sambungan telepon terputus. Tristan meletakkan ponselnya ke atas meja, namun pikirannya masih menetap dalam obrolannya dengan anak buahnya.
Ketukan di pintu mengembalikan Tristan ke kenyataan. Ia mendesah pelan dan memperbaiki ekspresinya agar kembali profesional.
“Masuk!” serunya, tanpa bertanya siapa yang mengetuk.
Dan begitu pintu dibuka, seorang wanita berwajah manis dengan rambut sebahu muncul dari balik pintu. Wanita itu tersenyum cerah, mengacungkan sebuah tas bekal.
“Aku bawain makan siang buat kamu!” serunya riang. Itu Dhea—tunangan Tristan yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya.
Tristan menahan diri untuk tidak mendengus sebal. Ia sedang tidak mood untuk meladeni Dhea. Tapi karena rencananya untuk membujuk Bela belum membuahkan hasil, maka untuk sementara ia harus sabar menghadapi anak dari kolega papanya itu.
“Aku nggak laper,” sahut Tristan datar.
Dhea langsung manyun. “Kamu selalu bilang gitu, Mas. Aku ajak makan di luar, bilangnya nggak laper. Aku bawain bekal, juga bilangnya nggak laper. Nggak ada alasan lain yang lebih masuk akal?”
“Memang nggak laper.” Tristan kembali mengalihkan perhatiannya ke layar komputer, melanjutkan pekerjaan.
Namun Dhea bukanlah gadis yang mudah menyerah. Ia sudah menyeret kursi dan duduk di sebelah Tristan, membuka kotak bekal makan siangnya.
“Aku udah capek-capek bikinin ini buat kamu, jadi harus dimakan,” katanya menuntut.
“Kamu? Masak?” Tristan menaikkan sebelah alisnya, skeptis.
Dhea berdehem pelan. “Yah, maksudku … dibantuin Bibi.”
“Tapi sembilan puluh persen pasti Bibi yang ngerjain,” imbuh Tristan, sedikit menyindir.
“Ya udah sih, Mas. Yang penting kan aku udah capek-capek bawain bekal ke sini, hargai dikit dong.” Dhea semakin sewot, tapi tangannya tetap menyendok makanan di dalam kotak bekal. “Ayo buka mulut, ah …,” katanya seperti menyuapi balita.
Tristan menghela nafas pelan, matanya tetap menatap layar komputer. “Aku nggak laper, Dhea. Berapa kali harus aku bilang?”
“Tapi ini udah jam makan siang, Mas. Makan dulu dikit, tanganku pegel nih.” Dhea mulai menyodorkan sendok lebih deket ke bibir Tristan.
Pria itu langsung melempar tatapan tajam pada Dhea. “Kamu minta dihargai, tapi kamu nggak bisa menghargai orang lain. Aku lagi kerja, Dhea. Dan aku nggak suka diganggu waktu lagi kerja.”
Kalimat tajam dan dingin yang terlontar dari bibir Tristan sukses membuat Dhea terkejut, segera menarik tangannya yang terulur.
“Tapi kan … niatku baik, Mas,” cicit Dhea dengan wajah memelas.
“Tapi caramu salah.” Tristan menyahut tajam, tak ada kelembutan sama sekali dalam caranya memperlakukan Dhea.
Tiba-tiba, Dhea berdiri dengan gerakan kasar. Ia menutup kotak bekal dan melemparkannya ke tempat sampah.
“Nggak usah makan sekalian!” cetusnya kesal sambil melangkah lebar menuju pintu.
Brak!
Dhea tentu tidak lupa membanting pintu sebelum keluar dari kantor Tristan. Sementara pria itu hanya bisa mengerutkan kening melihat kelakukan Dhea.
“Ini nih kenapa gue nggak pengen nikah. Perempuan tuh ribet,” gumamnya lelah. Namun perhatiannya segera teralihkan oleh telepon dari anak buahnya yang mengawasi Bela.
Seketika saja, dan entah mengapa, kekesalannya pada Dhea terlupakan. Ia mengangkat telepon dengan cepat.
“Gimana?”
“Bos, Nona Alya sudah keluar dari butik. Tapi ….” Suara di ujung telepon terdengar ragu.
“Tapi apa?” tanya Tristan tak sabar.
“Ini ada laki-laki yang masuk ke butiknya Nona Bela. Terus kalau saya lihat dari posisi saya yang cuma bisa lihat mereka dari jendela lantai dua, kayaknya mereka lagi bertengkar. Soalnya Nona Bela sempat ditampar sam—”
“Aku ke sana,” sergah Tristan cepat, tanpa pikir panjang, tanpa ragu sama sekali. Ia berdiri, menyambar kunci mobil dan berjalan cepat ke luar ruangan. “Kamu tetap di sana, awasi terus sampe aku datang.”
“Baik, Bos.”
***
“Sudah Ayah bilang, jangan bercerai dari Davka!” Prabu—ayah Bela itu berseru penuh amarah. “Kenapa kamu nggak pernah dengerin Ayah, Bela?!”
Bela memegangi pipinya yang panas usai ditampar ayahnya sendiri. Sejak dulu, Bela tahu bahwa ayahnya cukup tempramental. Tapi itu sesekali saja, hanya ketika sesuatu berjalan tidak sesuai keinginan Prabu. Seperti ketika bisnisnya bangkrut atau saat Bela harus mendekam di balik jeruji besi.
“Tapi Davka nggak mau sama anak ini, Yah. Dia bahkan nyuruh aku buat gugurin kandunganku. Buat apa aku bertahan di pernikahan yang seperti itu?” Bela masih berusaha melunakkan suaranya. Ia selalu percaya, api tidak bisa dipadamkan dengan api. Maka ia harus menjadi air saat menghadapi kobaran api amarah ayahnya.
Prabu mendengus kasar. “Kalau kamu memang mau bercerai dari Davka, minta pertanggung jawaban dari mantamu itu!”
Bela menggeleng tegas. “Aku udah bilang berkali-kali sama Ayah, aku juga nggak mau terikat sama dia, Yah. Dia sudah pernah mengkhianatiku sebelumnya, bukan nggak mungkin dia bakal ngelakuin itu lagi.”
“Kamu—” Prabu kehabisan kesabaran. Ia merangsek maju, mencengkram kedua pergelangan tangan Bela erat-erat. “Kamu terlalu naif! Hidup ini kejam, Bela! Kamu harusnya belajar dari Ayah! Kalau ada kesempatan jalan pintas untuk bisa hidup kaya, ambil!”
Bela kembali menggeleng, sambil meringis menahan sakit di pergelangan tangannya. “Ayah nggak mikirin aku? Ayah pikir aku bakal bahagia sama Tristan—laki-laki yang pernah mengkhianatiku? Gimana kalau dia kayak Davka, selingkuh sana-sini? Aku nggak akan bahagia sama laki-laki seperti itu, sekaya apapun dia.”
“Persetan! Kamu akan bahagia kalau kamu punya banyak uang, Bela!” Prabu mendesis marah, masih mencengkram tangan Bela erat-erat. “Sekarang, karena kamu sudah mengajukan gugatan cerai, cepat minta pertanggung jawaban ke Tristan!”
“Aku memang akan bertanggung jawab.”
Sebuah suara bariton menginterupsi ketegangan antara ayah dan anak itu. Keduanya menoleh ke arah sumber suara.
Di sana, Tristan berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah penuh percaya diri. Seolah ia yang memiliki tempat ini.
Prabu langsung melepaskan tangan Bela, mundur selangkah, dan tersenyum pada Tristan. Ia tertawa pelan, menyambut Tristan. “Wah, wah, wah, coba lihat siapa yang datang? Sudah lama kita nggak ketemu ya, Nak?”
Senyum di bibir Tristan tampak semakin lebar, tapi itu palsu—dan Bela tahu itu. “Apa kabar, Ayah?”
Prabu tampak terkejut, lalu tertawa canggung. “Ayah? Kamu memanggilku ‘ayah’?”
Tristan tertawa pelan. “Maaf kalau aku lancang. Tapi sebaiknya aku memang harus membiasakan diri kan?”
Prabu tahu persis maksud dari kalimat Tristan. Itu mengindikasikan bahwa Tristan mungkin akan segera menjadi suami Bela.
Tawa renyah Prabu lepas begitu saja. Ia merangkul pundak Tristan, menepuk bahunya pelan. “Betul sekali, Nak. Betul sekali. Kamu akan bertanggung jawab atas anak yang dikandung Bela kan? Memang laki-laki harus begitu.”
Jantung Bela merosot melihat interaksi Prabu dan Tristan. Ia merasa dirinya kembali dijual pada pria demi ketamakan ayahnya akan harta.