Suasana di ruangan itu terasa mencekik. Tristan tampak bingung. Matanya bergantian menatap Natasha yang tampak amat merasa bersalah, Bela yang pucat dan gemetar, lalu Davka yang tatapannya penuh kebencian.
“Ada apa ini?” tanya Tristan waspada, seakan menyadari bahwa ia baru saja masuk ke dalam pusaran badai.
Davka melangkah maju dengan tatapan berkilat tajam, rahangnya mengeras. "Bagus sekali. Jadi ini rencana kalian?"
Bela menoleh cepat. “Bukan begitu, Davka!”
Namun, Davka sudah kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, ia mendorong Tristan dengan kasar hingga membentur tembok.
“Jawab aku, b******k! Sejak kapan kalian main belakang, hah!?” Davka meraung penuh amarah.
Tristan mendengus, menepis tangan Davka dari kerah bajunya. "Gue bahkan nggak tahu apa yang terjadi. Jangan main kekerasan dong, coba jelasin dulu," ucapnya santai.
Natasha mencoba melerai. "Pak Davka, harap tenang—"
"Diam kamu! Kamu juga bersekongkol dengan mereka kan? Membuat cerita seolah-olah ini kesalahan medis padahal mereka selingkuh di belakangku!" Davka melotot pada Natasha.
“Pak, saya juga berharap tidak ada kesalahan seperti ini.” Natasha masih berusaha menengahi.
Bela berdiri, mendekati Davka yang dikuasai emosi. Ia mencoba menarik lengan sang suami. “Tolong dengarkan aku dulu.”
Namun, Davka menepis tangannya kasar. "Kamu menjijikkan! Aku mempertahankan pernikahan ini meskipun keluargaku menekanku karena kamu nggak juga hamil, tapi kamu? Kamu malah tidur dengan dia, Bela? Ini balas budimu untukku yang menyelamatkan reputasi keluargamu?"
Tristan mengepalkan tangan, mulai kehilangan kesabaran. "Jaga mulut lo. Gue nggak pernah sekalipun tidur sama dia setelah kita putus."
Davka tertawa sinis. "Terus gue harus percaya? Faktanya, anak dalam kandungan Bela ternyata anak lo, b******n!"
Tristan membeku seketika. "Apa?"
“Ya, anak yang Bela kandung itu anak lo. Selamat! Lo berhasil menghancurkan pernikahan gue! Puas kalian!?” Suara Davka terdengar tajam dan mengejek.
Bela mengusap wajahnya frustasi. “Dokter udah bilang ini kesalahan rumah sakit, Davka. Aku nggak pernah selingkuh, kenapa kamu nggak bisa percaya sih?”
Davka mendekat, berbicara dengan suara rendah yang mengancam. “Kalau kamu benar-benar nggak selingkuh, jelaskan semuanya di hadapan keluargaku, Bel. Keluargaku pasti juga nggak akan sudi mengakui anak yang kamu kandung sebagai penerus.”
Tanpa menunggu respons dari Bela, Davka berbalik. Sebelum ia mencapai pintu, ia menoleh pada Natasha dengan ekspresi penuh kebencian. “Bersiaplah, aku akan menuntut rumah sakit ini sampai habis!”
Lantas ia pergi dengan langkah yang dihentakkan, membanting pintu sekuat tenaga.
Bela terduduk kembali di kursi, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Tuhan, kenapa jadi begini?”
Sementara itu Tristan hanya melirik Bela sekilas, sebelum memfokuskan perhatiannya pada Natasha. “Dok, jadi yang di telepon itu benar?”
Natasha memang sudah menyampaikan pada Tristan secara singkat mengenai perkara ini lewat telepon tadi.
Dokter kandungan itu menghela nafas pasrah dan mengangguk. “Iya, Pak. Kami mohon maaf karena sudah menyebabkan kekacauan ini.”
Tristan menutup mulutnya dengan tangan, mematung selama beberapa detik. Sebelum kepalanya perlahan menoleh, menatap Bela yang masih tertunduk tergugu. “Ya Tuhan,” lirihnya sambil mengusap wajahnya yang mendadak frustasi.
Masalahnya, Tristan sudah bertunangan dan akan menikah sebulan lagi. Ia melakukan pemeriksaan kesuburan itu untuk membuktikan bahwa dirinya sehat karena tujuan dari pernikahannya nanti hanyalah untuk melahirkan seorang penerus.
Dan sekarang, tanpa sengaja ia telah menanam benih penerus di rahim mantannya sekaligus istri orang. Bagaimana ia akan mengatasi masalah ini?
***
“Kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang jam segini?” Bela berdiri menyambut Davka yang baru pulang menjelang tengah malam.
Suasana ruang tamu terasa tegang. Lampu gantung yang temaram tidak bisa menyembunyikan dinginnya atmosfer di antara pasangan itu.
Bela menatap wajah Davka lekat, mencari jejak-jejak alkohol jika pria itu pergi mabuk-mabukan. Tapi tidak, yang ada hanya sorot dingin tanpa ekspresi.
“Besok.” Davka tak menjawab pertanyaan Bela. Ia kini berdiri di hadapan sang istri dengan tatapan tajam. “Kamu akan bicara di depan keluargaku. Jelaskan semuanya. Katakan bahwa kamu telah mengkhianati pernikahan kita.”
Bela mengepalkan tangan. Matanya memerah, menahan amarah dan kesedihan yang terus bergolak dalam dirinya. “Aku nggak selingkuh, Davka,” ucapnya tegas. “Berapa kali aku harus bilang supaya kamu percaya?”
Davka mendengus sinis. “Terus kamu mau gimana? Menyembunyikan fakta ini sampai keluargaku tahu sendiri?”
Bela terdiam, hatinya terasa diremas kuat. Sakit sekali. Sejak fakta soal kehamilannya terungkap, ia telah kehilangan segalanya—kepercayaan, harga diri, bahkan rumah yang dulu terasa hangat kini terasa seperti penjara yang dingin dan sepi.
“Tolong percaya padaku, Dav,” bujuk Bela lebih lembut kali ini. “Aku nggak selingkuh. Itu kesalahan di rumah sakit. Aku nggak pernah menyentuh pria lain selain kamu selama kita menikah.”
Davka menatap Bela dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada luka, ada amarah, dan ada kecewa yang mendalam.
“Aku nggak bisa hidup dengan perempuan yang mengandung anak laki-laki lain,” kata Davka pelan, tapi penuh penekanan.
Darah Bela membeku.
Tubuh Davka menjulang di hadapan Bela. “Kalau kamu mau mempertahankan pernikahan kita ... gugurkan kandungan itu,” lanjutnya dingin, tanpa emosi.
Jantung Bela mencelos. Ia menatap Davka tak percaya, berharap ada keraguan di mata sang suami, berharap permintaan tak masuk akal itu hanya karena emosi sesaat. Tapi tidak, mata pria itu penuh keyakinan.
“Kamu sudah gila, Dav?” Suara Bela nyaris berbisik.
Davka tidak menjawab. Ia hanya menatap Bela tanpa ekspresi, seolah kata-katanya adalah solusi paling logis yang harus diterima.
Bela mundur selangkah, tangannya refleks melindungi perutnya. "Ini anakku. Aku nggak akan membunuhnya hanya karena kamu nggak bisa menerima kenyataan."
Davka mendengus. “Itu bukan anakku, Bela.” Ia melangkah mendekat, memojokkan tubuh sang istri. “Pilihanmu hanya dua, kita bercerai dengan kamu mengakui kalau kamu selingkuh dengan mantanmu atau gugurkan kandungan itu.”
Seperti buah simalakama, kedua pilihan itu sama pahitnya. Jika bercerai, Bela akan mencoreng nama baiknya dan nama baik kedua orang tuanya. Jika tidak ….
Bela menggeleng kuat-kuat. Ia takkan pernah membunuh anak di kandungannya. Tapi ia juga tak bisa bercerai dengan mempertaruhkan nama baiknya dan keluarganya.
“Apa yang harus kulakukan?” gumam Bela bingung dalam hati.
***
Malam semakin larut. Lantai dua butik La Belle Attire masih menyala, hanya ada suara goresan pensil dan seorang wanita yang sibuk menggambar sketsa.
Bela duduk di mejanya, mengabaikan waktu. Hanya ini satu-satunya tempat di mana ia bisa bernafas lebih lega, di mana ia bisa melupakan kegundahan yang menggerogoti hatinya.
Ya, Bela belum memutuskan apapun. Ia justru kabur dengan menyibukkan diri bekerja di butik yang ia dirikan dengan usahanya sendiri.
Wanita bertubuh ramping dengan rambut sepunggung itu berdiri, merapikan sketsa gaun yang baru selesai ia kerjakan. Sejak pertengkaran mereka di ruang tamu malam itu, Davka mendiamkannya. Tidak ada teriakan, tidak ada perdebatan, hanya keheningan yang menyakitkan. Karena itu, ia lebih senang menghabiskan waktu di butik daripada di rumah.
Bela mengusap perutnya yang masih datar. Kehadiran anak ini jelas bukan kesalahannya. Tapi kenapa rasanya seperti ia sedang dihukum?
Suara bel pintu butik berbunyi, memecah lamunan Bela.
Wanita itu menghela nafas, mengira itu hanya staf yang lupa sesuatu. Tapi begitu ia menoleh ke arah pintu, detak jantungnya terasa berhenti sejenak.
Tristan berdiri di ambang pintu.
Matanya tajam, raut wajahnya serius. Bukan lagi pria dari masa lalunya yang hanya sesekali mampir di ingatannya, tapi seseorang yang kini memiliki hubungan tak terputus dengannya sebagai ayah dari anak yang ia kandung.
Bela menegang waspada. “Kenapa kamu ada di sini?”
Tristan melangkah masuk perlahan, seolah takut Bela akan lari jika ia bergerak terlalu cepat. “Kita perlu bicara, Bela.”
Bela menggeleng tegas. “Jangan membuatku makin pusing,Tris.”
Tapi Tristan tetap melangkah mendekat, tatapannya terkunci pada wajah cantik Bela yang malam ini tampak lebih pucat dan tirus. “Aku tahu semuanya sudah berantakan. Aku tahu kamu marah, bingung, dan mungkin … merasa sendirian.”
Bela terdiam.
Tristan berjalan semakin mendekat, tatapannya turun ke perut Bela. “Itu anakku, Bel.”
Bela kembali menegang. “Apa maumu, Tris? Jangan suruh aku untuk meng—”
“Aku akan bertanggung jawab.”
Bela membelalak. “Apa?”
“Aku akan bertanggung jawab atas anak itu, Bela.”
“Bertanggung jawab?” Bela menatap Tristan bingung. “Apa maksudmu? Kamu mau membiayai anak ini setelah lahir? Atau kamu justru akan mengambil anak ini dariku? Enggak, Tris. Apapun yang kamu tawarkan, aku nggak akan pernah menyerahkan anak ini.”
Tristan mengusap wajahnya, frustrasi. “Kamu bodoh atau pura-pura bodoh sih? Aku mau menemanimu melewati kehamilanmu, Bela. Dengan kata lain, ceraikan Davka dan menikahlah denganku.”
Bela tertawa sinis. “Kamu pikir itu menyelesaikan masalah?”
“Kenapa, Bel? Kamu takut kalau kamu bercerai dari Davka, orang tua Davka akan mencabut suplai finansial ke perusahaan keluargamu?”
Bela tak menjawab, karena memang begitu adanya. Ia terikat balas budi pada keluarga Davka, itulah alasan pernikahan mereka sebenarnya.
Tristan sudah tiba di hadapan Bela, keduanya hanya terpisah sebuah meja. “Aku akan membantumu bercerai dari Davka tanpa harus kehilangan suplai finansial, jadi kamu dan keluargamu tidak dirugikan. Tapi aku punya syarat.”
Bela menelan ludah. “Apa syaratmu?”