Sabtu akhirnya dihabiskan oleh Florence di rumah menemani Adam yang kembali rewel. Obat yang diresepkan oleh Robert sepertinya sudah mulai tidak mempan menangani gejala penyakit Adam. Jika beberapa hari sebelumnya Adam sempat bisa menghabiskan makanan, hari ini bocah itu kembali memuntahkan apapun yang di makannya dan merengek sepanjang hari.
Minggu keadaan Adam masih juga tidak ada perubahan. Setelah tidak bisa tertidur pulas sejak kemarin dan mungkin lemas setelah terlalu sering muntah, akhirnya pukul 8 malam Adam sudah terlelap diatas ranjang.
Florence yang juga kelelahan, berdiri dalam kegelapan menatap wajah Adam yang tertidur dengan wajah berkeringat seolah menahan sakit, sambil memutuskan untuk melupakan peringatan Robert. Ia tidak bisa membiarkan anaknya tersiksa lebih lama lagi.
Aku perlu menemui Alexander Oberon, putusnya.
Dengan langkah pasti, Florence berjalan ke arah lemari pakaiannya dan meraih jaketnya. Sambil sedikit meringis menahan rasa nyeri yang masih terasa di pinggulnya dari bekas tusukan jarum biopsi, Florence mengenakan jaket sepinggang itu, menutupi gaun tidurnya begitu saja.
Setengah jam setelah berpamitan pada Penny yang terlihat khawatir melihatnya pergi malam-malam, Florence kembali berdiri di depan rumah berpagar besi tinggi itu. Udara terasa sedikit lebih berangin malam itu, membuat Florence merapatkan jaket di tubuhnya.
Tangannya kembali terjulur meraih tombol di speaker yang ada di sisi pagar. Beberapa kali ia memencetnya, tapi tidak terdengar jawaban apapun dari dalam. Berbeda dengan beberapa hari yang lalu ketika setidaknya ia mendapatkan jawaban walaupun hanya berupa penolakan.
Florence melangkah mundur dan mendongak ke arah rumah bertingkat itu. Salah satu jendelanya terlihat terbuka, karena ia bisa melihat korden kamar itu yang melambai keluar tertiup angin.
Apakah tidak ada orang di rumah? pikir Florence.
Ia membalikkan badannya dan berjalan ke sudut tempat biasanya ia duduk dan menunggu. Florence sudah memutuskan, hari ini, apapun yang terjadi, ia tidak akan pulang sebelum bertemu Alexander Oberon.
Jam bergulir hingga sekitar pukul 11 malam. Mendadak cuaca yang tadinya hanya berangin tiba-tiba berubah menjadi rintik hujan.
Florence menengadah menatap langit, setengah berpikir apakah sebaiknya ia pulang karena ia tidak membawa payung. Ditambah masih belum adanya tanda-tanda kehidupan di dalam rumah Alexander, yang semakin membuatnya bimbang.
Untunglah tak lama muncul sebuah mobil berwarna hitam, meluncur tanpa suara ke arah gerbang rumah berpagar tinggi.
Mobil itu berhenti di depan pagar, menunggu pembatas besi itu bergerak pelan membuka. Florence langsung melompat berdiri sambil setengah meringis karena gerakannya yang mendadak membuat punggungnya kembali terasa nyeri.
Mengabaikan rasa sakitnya, Florence menempelkan wajahnya ke kaca jendela sebelah supir dan mengetuk pelan.
Jendela mobil berkaca gelap itu membuka kebawah setengah. Bukan jendela supir tempat Florence mengetuk, melainkan kaca di belakangnya. Wajah sorang wanita yang melotot ke arah Florence terlihat dari dalam mobil.
“Per…permisi—” sapa Florence sambil melongok ke dalam berusaha melihat orang yang ada di dalam mobil.
“Kau lagi?” bentak wanita itu kesal.
Seketika Florence mengenali suara itu. Wanita yang selalu menjawab panggilannya melalui speaker.
“Aku perlu menemui Tuan Alexander. Tolonglah…. Sampaikan pesanku?”
Wanita itu menoleh ke dalam mobil, seolah menatap seseorang yang duduk di sampingnya, membuat Florence sadar bahwa orang yang dicarinya mungkin duduk disebelah wanita itu.
Florence buru-buru meraih sisi kaca jendela yang setengah terbuka dan berusaha melongok melihat ke dalam mobil.
“Tuan Alexander?” panggilnya dengan nada penuh harapan.
Tidak terdengar suara apapun dari bangku belakang. Florence memicingkan matanya berharap untuk bisa melihat bayangan pria yang bernama Alexander itu. Tapi suasana di dalam mobil yang lebih gelap dari pada diluat membuat Florence tidak bisa melihat apa-apa. Ia hanya mampu melihat sisi jas dan telapak tangan lebar pria itu dari tempatnya berdiri.
“Tu… Tuan Alexander!” serunya sekali lagi.
“Tuan Alexander sedang tidak berniat menemui siapa-siapa hari ini. Pergilah!”
Jawaban dari wanita yang duduk di sisi jendela mengalihkan perhatian Florence. Baru saja ia hendak protes, mendadak kaca jendela menutup, dan mobil meluncur masuk.
“Tidak…. Tidak…. Jangan pergi. Tolong… Tunggu… Awh…”
Florence hendak mengejar mobil masuk ke dalam gerbang, tapi rasa sakit yang di pinggangnya mendadak terasa makin menikam semakin ia berusaha berlari. Florence mau tidak mau menghentikan langkahnya dan menyandarkan tangannya pada dinding pagar rumah Alexander sambil mengatur nafasnya yang mulai terengah-engah.
Gerimis yang semula turun halus, kini terasa makin deras membasahi wajah Florence yang memerah menahan rasa sakit. Beberapa saat ia berdiri bersandar pada pagar tidak yakin apa yang harus dilakukannya.
Guyuran air hujan yang semakin deras membuat Florence menarik ujung jaketnya rapat. Wanita itu memeluk erat bahunya sendiri seakan berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang baik-baik saja dan semuanya akan berakhir baik pula untuknya. Tidak ada gunanya berputus asa, ia sudah sampai sejauh ini. Jika Alexander belum mau menemuinya, maka ia akan menunggu.
Terlalu fokus pada pikirannya sendiri, menjadikan Florence tidak sadar akan adanya beberapa berandalan yang sedang berjalan sempoyongan kearahnya.
Ketika Florence akhirnya menyadari kehadiran ke empat berandalan, dirinya sudah terlambat untuk kabur. Ke empatnya sudah mengepung wanita itu dan kini sedang sibuk mengamati Florence dengan pandangan penuh kelaparan.
“Hei, Nona. Apakah kau tersesat?” ucap salah satu dari mereka dengan bibir tersenyum. Rambutnya yang panjang terlihat basah kuyup terkena guyuran air hujan. Begitu juga dengan kaos dan celana panjangnya.
Temannya menyauti sambil tertawa, “Kami bisa mengawalmu pulang agar tidak ada orang yang mengganggu. Berbahaya bagi wanita muda macam dirimu berkeliaran malam-malam begini, Nona.”
Pria itu menjulurkan tangannya hendak menyentuh pipi Florence yang langsung di tepis oleh wanita itu. Keempatnya tertawa melihat perlawanan dari Florence yang rupanya makin menyulut sesuatu di dalam diri mereka.
Salah satunya kini mulai menarik-narik jaket yang di pakai oleh Florence.
“Aw… Apakah kau kedinginan, Sayang? Apakah mau aku hangatkan dengan badanku?”
Pria itu menarik jaket Florence lebih keras, membuat Florence tersungkur maju dan jatuh kedalam pelukan sang berandalan yang langsung mendekap tubuh Florence erat.
“Lepaskah!” ucap Florence mencoba untuk mendorong dirinya menjauh dari d**a pria itu.
Florence bisa mencium aroma alkohol yang kuat dari hembusan nafas lelaki yang kini mulai meremas pinggulnya, dan menyebabkan bekas tusukan biopsinya kembali nyeri.
Florence menjerit kesakitan dan meronta sekuat tenaga. Tapi kekuatan dari pria yang mendekapnya jauh lebih kuat daripada badannya yang lebih kecil.
Remasan dan rabaan yang diterima Florence membangkitkan sebuah kenangan dari beberapa tahun yang lalu. Kenangan yang tidak ingin diingatnya.
Disela bayangan berkabutnya karena pengaruh obat yang di selipkan oleh Henry, pria yang memperkosanya, Florence merasakan hal yang sama dengan yang dirasakannya saat ini. Perasaan jijik dan muak, menggumpal menjadi satu dalam tenggorokannya seolah dijejalkan untuk masuk walaupun ia ingin memuntahkannya. Perasaan yang semakin memuncak, terlebih ketika pria yang dianggapnya sebagai orang yang disayanginya itu, mulai menyingkapkan gaun yang di pakainya dan memasukinya tanpa ia mampu melawan. Gaun yang seharusnya menjadi kenangan terindahnya ketika masa sekolah, kini teronggok entah dimana menjadi saksi bisu apa yang terjadi malam itu.
Pria yang mendekap Florence mulai menarik jaket Florence, memaksanya untuk terbuka, dan langsung menyeringai kegirangan ketika mendapati setengah d**a Florence yang menyembul dari balik gaun tidurnya.
“Lekas, seret dia ke sana!” perintah salah satu dari teman pria yang mendekap Florence sambil menunjuk ke arah lapangan kosong yang ada di ujung kompleks perumahan.
Mendengar suruhan temannya, pria yang dari tadi menggerayangi Florence, mulai menarik lengan gadis itu menjauh dari rumah Alexander, menuju ke ujung jalan yang sepi.
“JANGAN! LEPASKAN! LEPA—“
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di sisi wajah Florence, menghentikan teriakannya dan membuat matanya sedikit berkunang-kunang.
“Diam! Atau aku akan menghajarmu hingga babak belur!” geram pria itu sambil kembali menarik lengan Florence.
Baru saja Florence hendak kembali menjerit, ketika secara tiba-tiba sesuatu menyambar tubuh pria itu dan membawanya entah kemana. Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan tidak terdengar satu jeritan pun yang keluar dari mulut pria itu sebelum menghilang ke dalam kegelapan.
Florence masih berdiri dengan tubuh membeku, ketika ketiga pria yang tersisa menoleh ke arahnya dan tersadar bahwa temannya menghilang.
“Loh… Dimana si Nanda?” tanya mereka saling berpandangan.
Salah satunya mulai berjalan mendekati Florence diikuti kedua temannya.
“Heh! Kemana dia?!” bentak salah satunya kearah Florence yang masih berdiri tidak bergeming di tempatnya karena terlalu ketakutan.
Sebuah kelebatan bayangan mendadak muncul dan berhenti tepat diantara tubuh Florence dan ketiga berandalan. Hujan turun semakin deras dan mulai mengaburkan pandangan Florence, tapi di dalam keremangan cahaya lamu fluorecent yang menerangi jalan, ia masih bisa melihat dengan jelas sosok yang kini berdiri memunggunginya.
Tinggi, bertubuh besar, berambut gelap, pria itu berdiri sambil membenahi kemejanya yang berwarna putih, menggulung lengan kemejanya yang basah kuyup hingga ke lengan nya. Gerakan pria itu perlahan tanpa buru-buru, seolah menikmati derap hujan yang mengguyur tubuhnya.
Ketiga berandalan yang ada di hadapan pria itu mulai tidak sabar, dan menyadari adanya penghalang antara mereka dan Florene, mereka mulai berdiri dengan postur tubuh menantang.
“HEH! SIAPA KAU? APA MAU MU?” teriak salah satunya dengan d**a dibusungkan.
“YA! APA YANG KAU LAKUKAN PADA TEMAN KAMI HAH?” jerit yang lain mulai maju, tapi sambil melirik ke arah temannya yang lain seolah ragu-ragu untuk terlalu mendekat tanpa kawannya.
Ukuran tubuh ketiganya memang tidak sebanding dengan pria yang berdiri di hadapan Florence. Sosok misterius itu yang jauh lebih jangkung dan jauh lebih kekar, sementara lawannya, walau ada tiga orang, hanyalah pemuda-pemuda kurus kerempeng dan dalam keadaan mabuk.
Tapi tetap saja berandalan itu beranggapan ada tiga dari mereka dan satu dari lawannya, ditambah alkohol yang sudah mempengaruhi akal sehat, mereka merasa diatas angin dan tidak terkalahkan.
“JAWAB! APA KAU BISU? TULI?”
Pertanyaan terakhir salah satu berandalan membuat pria itu mendengus.
“Apakah kalian yakin tidak ingin menggunakan waktu ini untuk kabur?” tanyanya.
Florence mendekap lengannya sendiri mendengar suara yang keluar dari mulut pria itu. Getarannya yang dalam dan dingin membuat seluruh bulu di tengkuk wanita itu berdiri. Bahkan guyuran air hujan yang dari tadi membasahinya tidak mampu bersaing dengan dinginnya suara pria itu.
“Cih! Baiklah kalau begitu,” lanjut pria itu ketika ketiga berandalan masih berdiri tidak bergeming.
Florence membelalakkan matanya ketika melihat tubuh yang berdiri di depannya mendadak menghilang, membaur bersama kegelapan malam di sekelilingnya.
“AARGG!!”
“TIDAKK!!”
“AAAHH!”
Jeritan demi jeritan membelah kesunyian malam, mengiringi menghilangnya berandalan yang hendak menganiaya Florence satu per satu. Beberapa detik Florence menahan nafasnya sambil berusaha memahami apa yang barusan terjadi. Matanya yang basah terkena air hujan mulai terasa pedih, membuatnya mengelapkan tangannya berkali-kali ke wajahnya, berusaha menyeka banjuran air yang masih terus mengguyurnya. Jantungnya bahkan masih terasa berdetak tidak beraturan ketika tiba-tiba di dengarnya suara dingin itu dari balik punggungnya, dan membuat kakinya makin terasa melekat ke aspal.
“Jadi…. Mengapa kau mencariku?”
Florence sontak membalikkan badannya. Pria berbadan tinggi yang tadi menghalangi keempat berandalan menyeretnya ke lapangan kosong, kini berdiri tidak lebih dari dua jangkah di hadapannya.
Dalam jarak sedekat itu, Florence bisa menatap dengan jelas sosok pria yang diyakininya bernama Alexander Oberon itu.
Pria itu memiliki wajah yang membuat siapapun yang menatapnya tidak bisa mengalihkan pandangan. Tampan bahkan tidak cukup untuk menjelaskan wajah Alexander yang sempurna. Rahang kokoh, bibir melengkung membentuk senyuman tipis, dan tajamnya tatapan mata berwarna coklat itu membuat pipi Florence mendadak merona merah dan terasa panas. Perpaduan antara kekaguman dan kengerian, kini membuat lutut Florence terasa lemas dan tidak bertenaga.
Wanita itu menjulurkan tangannya berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mendadak mengayun ke depan, sementara kakinya kehilangan tenaga. Untung saja dekapan dua lengan kokoh yang menyambut juluran tangannya menyelamatkan Florence dari kerasnya hantaman aspal yang dituju oleh wajahnya.
“Hm…. Tubuhmu panas sekali, Nona.” Suara dingin Alexander terdengar di telinga Florence makin membakar tubuh nya.
Sebelum Florence mulai kehilangan kesadaran, ia bisa merasakan tubuhnya yang terangkat dalam dekapan Alexander, masuk melewati gerbang hitam berpagar tinggi, di bawah guyuran hujan yang masih turun dengan segala kekuatannya.
=====
Note:
Akhirnya yang ditunggu-tunggu menampakkan batang hidungnya kan?
Apakah mami flo akhirnya terselamatkan? #savemamiflo
tunggu chapter berikutnya. Jangan lupa tap love yang belum ya.