6. Mimpi

1970 Words
Mimpi. Sesuatu yang dilakukan oleh otak mu ketika dirimu terlelap tidak sadar. Karena walaupun dalam keadaan tidur, otak tidak sepenuhnya berhenti bekerja. Bagi beberapa orang, mimpi bisa menjadi sebuah pertanda, atau hasrat akan sesuatu. Sesuatu yang mungkin sangat diinginkan tanpa sadar. Tapi bagi Florence, mimpi adalah sesuatu yang menjadi momok baginya. Karena setiap ia bermimpi, hal yang dilihatnya adalah bayangan masa lalunya. Yang walaupun dengan sekuat tenaga berusaha dilupakannya, tapi tidak bisa terhapus sepenuhnya dari dalam benaknya. Seperti malam ini. Florence terbangun dengan tubuh penuh oleh peluh. Duduk tegak dalam kegelapan dengan nafas tersenggal-senggal, bayangan akan kematian kedua orang tuanya kembali menghantuinya, kali ini dalam bentuk mimpi. Hanya saja, dalam mimpinya, ia adalah ibunya. Florence menunduk menatap kedua tangannya yang masih terasa hangat oleh guyuran dari d**a pria yang menjadi ayahnya. Ia teringat bagaimana tangannya menusukkan pisau itu berkali-kali ke tubuh pria itu, dalam mimpi tentunya. Namun semua terasa sangat nyata. Bahkan ketika kini ia sudah terjaga, Florence masih bisa melihat wajah ayahnya yang merintih kesakitan, ketika ia menikamnya berkali-kali tanpa ampun. Tepat di jantungnya. Ia bahkan bisa melihat wajah kecilnya sendiri ketika dirinya menoleh kesamping. Florence kecil, pikirnya. Duduk dengan wajah penuh air mata tidak paham akan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, atau alasan apa yang membuat ibunya, menikam ayahnya berkali-kali dihadapan anaknya yang masih berusia 5 tahun. Florence mengelap dahinya yang basah oleh peluh sambil melirik ke arah jam di dinding kamarnya, masih pukul 4 subuh. Ia barusan tertidur beberapa jam rupanya. Suara hembusan nafas anaknya yang tertidur di sebelahnya menenangkan Florence. Ia menatap wajah Adam yang terlelap. Mata anak itu terasa kian cekung dan kuyu. Obat yang diresepkan Robert setidaknya membantunya untuk menghilangkan sedikit rasa sakitnya dan membantunya tidur. Tapi Florence tahu, bahwa ia harus secepatnya mencari jalan untuk bisa mengobati Adam. Hari ini hari Sabtu. Pagi ini, ia berencana untuk menemui Robert yang sudah menjadwalkan ulang tes biopsi untuk mengecek jika dirinya bisa menjadi pendonor untuk Adam. Aku perlu memberi Robert sesuatu. Sebagai ucapan terima kasih, pikir Florence ketika teringat ucapan Robert yang mengatakan bahwa ia hendak membiayai tes yang akan dilakukan Florence.   Merasa tidak mungkin bisa kembali tidur, Florence pun memutuskan untuk bangun. Dengan langkah berjingkat, ia berjalan ke dapur dan berencana untuk memanggang seloyang banana bread kesukaan Robert untuk di bawanya ke rumah sakit. Sekitar pukul 9, Florence sudah duduk menunggu antrian di ruang tunggu rumah sakit. Kedua tangannya menggenggam wadah plastik berisi banana bread yang dibuatnya pagi tadi, sementara matanya mengamati keadaan rumah sakit yang sudah terlihat ramai walau di hari sabtu pagi. Pandangannya terarah pada seorang anak kecil, yang mungkin seumur Adam dan sedang memegang balon. Terlihat ceria dalam gendongan ayahnya, sementara ibunya sedang bercakap-cakap dengan seorang suster. Anak itu terlihat sehat dan gemuk, berbeda dengan Adam. Mungkin mereka mengunjungi seseorang, pikir Florence. Dan benar saja, tak lama seorang suster lain datang mendorong seorang pria tua di atas kursi rodanya yang langsung tersenyum melihat kedatangan ketiga keluarganya itu. Florence ikut tersenyum melihatnya, ikut gembira, sesaat. Sebelum kemudian dadanya dihimpit oleh rasa pilu yang menyesakkan, mengingat Adam tidak memiliki apa yang dimiliki bocah dalam gendongan ayahnya itu. Sebuah keluarga yang lengkap. Kesehatan. Kebahagiaan. “Nona Florence Sorina!” Sebuah panggilan mengalihkan perhatian Florence dari keluarga bahagia. Ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum berdiri dan berjalan mengikuti arah tunjukan suster jaga yang memanggilnya. “Selamat pagi, Flo,” sapa Robert begitu ia masuk ke ruang tempat akan diadakannya tes. Pria itu terlihat segar dalam balutan jas putih dan celana panjangnya yang berwarna abu-abu. Wajahnya yang berbingkai kacamata mengembangkan sebuah senyuman ke arah Florence yang langsung membuat wanita itu merasa sedikit lebih baik. “Pagi, Rob. Ini aku bawakan sesuatu untukmu,” jawab Florence sambil menyodorkan wadah plastik berisi banana bread sambil duduk di kursi yang ada di hadapan meja Robert.  “Masih hangat. Aku membuatnya pagi tadi.” “Ah kesukaanku. Terima kasih,” jawab Robert sambil menarik wadah plastik dari atas meja, membukanya sedikit dan menghirup aroma pisang dan kayu manis yang langsung tercium memenuhi seluruh ruangan. Pria itu lalu menutup wadah rapat-rapat sebelum kemudian mengangguk pada suster yang berdiri di belakang Florence, memintanya untuk mulai menyiapkan tes. “Kau siap?,” tanya Robert yang dijawab oleh anggukan kepala Florence. Suster tadi berjalan mendekat dan menyodorkan gaun periksa kearah Florence, “Silahkan berganti baju, Bu. Disana.” Wanita itu menunjuk ke arah ranjang periksa yang memiliki kelambu yang bisa di tarik menutup. Florence menurut. Dengan hanya berbatas kain berwarna putih yang menutupi ranjang, perlahan ia mulai melucuti bajunya sendiri, menyisakan pakaian dalam, dan mengenakan kain tipis yang terbuka di bagian punggung. “Sudah, Flo?” tanya Robert setelah beberapa menit berlalu. “M hm,” balas Florence berusaha untuk merapatkan celah yang menganga di bagian punggungnya. Suara tirai terbuka terdengar, diikuti wajah Robert dan sang suster. “Umh… Flo, maaf kau perlu membuka pakaian dalam mu juga,” ucap Robert sambil menatap tubuh Florence. “Oh? Maaf… Aku tidak tahu,” balas Florence sambil perlahan melepaskan pakaian dalamnya dari balik kain sementara Robert membalikkan badan memberinya privasi. “Biar kusimpan untuk mu, Bu. Silahkan berbaring tengkurap diatas ranjang,” ucap Suster Robert seolah tidak sabar melihat gerakan Florence yang kikuk dan lambat. Wanita berbaju putih itu menjulurkan tangannya meraih pakaian dalam yang dipegang Florence dan menumpuknya bersama baju Florence yang lain, sementara Florence menurut dan merangkak naik ke atas ranjang. Sadar dalam keadaan tidak mengenakan baju dan hanya terbungkus kain tipis yang kini disingkap oleh Robert, Florence berusaha mengalihkan perhatiannya untuk menenangkan pikirannya. Ia sudah melihat proses ini ketika Adam melakukan biopsi. Anak itu menjerit sepanjang prosedur kesakitan, dan bahkan memerlukan 2 orang suster dan dirinya hanya untuk menahan bocah itu agar tidak bergerak. Robert mengoleskan sesuatu yang dingin di punggung bagian bawah tubuh Florence membuat wanita itu terkesiap. “Kau siap, Flo?” tanya Robert. “Ya,” jawab Florence singkat, berharap prosedur lekas usai. Florence mendengar Robert menyebutkan sesuatu ke susternya, mungkin nama alat yang hendak dipakai oleh pria itu untuk apa yang kemudian terasa seperti siksaan bagi Florence. Wanita itu meremas kasur bersprei putih yang ditidurinya sambil berusaha menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Sementara itu, ia bisa merasakan Robert menusukkan sesuatu yang tajam ke punggungnya, menekan benda itu makin masuk ke dalam dan mulai memuntirnya. “Mhh…,” erang Florence menahan nafas. Air mata mulai berlinang di pelupuk matanya sementara keringat dingin membanjiri dahinya.   Rasa sakit yang sedang dirasanya tidak mampu dijelaskan oleh kata-kata. Yang pasti apa yang dilakukan Robert di punggungnya terasa hingga ke ujung kuku kaki dan tangannya, bahkan hingga ke ujung kepalanya. Jika rambutnya mampu merasakan sakit, ia yakin bahkan rasa sakit itu pasti akan menjalar bahkan hingga ke ujung rambutnya. “Maaf, Flo. Sebentar lagi akan selesai. Tahan lah,” ucap Robert dengan suara menenangkan yang sama sekali tidak membantu untuk rasa sakit yang di rasakan oleh Florence saat itu. Tiga menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu. Florence akhirnya bisa bernafas lega ketika Robert akhirnya menarik benda panjang itu keluar dari punggungnya, mengakhiri siksaan pada tubuhnya. “Baiklah, kita sudah selesai. Kau bisa berpakaian. Suster akan membantumu karena kau pasti merasa nyeri sekarang.” Robert melepaskan sarung tangannya dan melangkah keluar sambil menutup kembali tirai korden, meninggalkan Florence dan sang suster yang meraih tumpukan pakaian Florence dan meletakkannya di samping kasur. Wanita itu lalu meraih lengan Florence membantunya untuk bangkit duduk. “Terima kasih, saya bisa ganti baju sendiri, Sus,” ucap Florence sambil meringis menahan rasa ngilu yang terasa ketika ia bergerak. Sang suster mengangguk dan berlalu menyelinap ke balik korden meninggalkan Florence dengan tumpukan pakaiannya sendirian. Sementara Florence dengan susah payah mengenakan kembali pakaiannya, terdengar Robert bercakap-cakap dengan susternya yang kemudian diikuti suara pintu ruang praktek yang terbuka dan menutup. “Flo, kau baik-baik saja?” tanya Robert setelah beberapa menit berlalu. “Ya, aku sudah selesai. Awh…” “Hei kau butuh bantuan?” Robert langsung menyibak korden dan meraih pundak Florence yang masih terduduk sambil memegang pinggang bagian belakangnya. “Pantas saja Adam menjerit ketika kau melakukan tes ini. Sakitnya luar biasa, Rob,” balas Florence sambil meringis menahan sakit. Pria itu memapah Florence ke kursi di depan meja prakteknya dan mendudukkannya disitu. “Aku tahu. Akan kuresepkan obat penahan sakit untukmu dan kau sebaiknya istirahat hari ini.” Robert berjalan menuju kursinya sendiri, duduk, dan menuliskan sesuatu di buku resepnya. Ia kemudian menyobek kertas teratas dari buku resepnya dan menyerahkannya kepada wanita itu. “Ini resep untukmu, serahkan pada apotek untuk menebusnya. Setelah itu akan kuantar dirimu pulang,” lanjutnya. “Mengantarku? Apakah kau tidak perlu melanjutkan praktek?” tanya Florence kebingungan. Robert menggeleng sambil tertawa, “Aku tidak praktek hari Sabtu. Aku disini khusus untuk melakukan biopsi saja.” “Oh…,”balas Florence merasa canggung. “Terima kasih. Aku… tidak akan bisa membalas kebaikanmu pada keluargaku, Rob.” “Hei… Tenang saja, Flo. Jangan khawatir. Oh ya… lupakan tentang pria yang kusebut kemarin.” Florence mengerutkan keningnya bingung. “Alexander Oberon? Mengapa?” Robert menggelengkan kepalanya, “Tidak seharusnya aku memberimu namanya. Aku… entahlah…. Tidak berpikir panjang. Ia pria yang berbahaya. Berjanjilah kau tidak menemuinya?” “Tapi… Aku tidak mengerti. Kau bilang kemarin bahwa ia pernah membantu orang dengan kondisi seperti Adam. Mengapa sekarang kau memintaku untuk tidak menemuinya? Siapa dia sebenarnya? Aku berusaha mencari informasi tentangnya, tapi tidak menemukan apa-apa di media.” Robert menggaruk dahinya sebelum menjawab, “Ia adalah salah satu donatur terbesar di rumah sakit ini. Rumor tentang nya memang simpang siur. Ada yang mengatakan ia memiliki kelaianan genetik pada darahnya yang bisa menyembuhkan penyakit, ada yang menyebutnya sebagai mahkluk penghisap darah. Tapi mahkluk apapun dia, Alexander tidak pernah melakukan sesuatu tanpa meminta imbalan.” “Bukankah mereka semua begitu?” gumam Florence pelan teringat akan imbalan yang diminta Julian sebagai ganti uang yang ingin dipinjamnya. “Aku…tidak—“ “Bukan dirimu, Rob. Aku membicarakan tentang hal lain,” jawab Florence sadar akan kekagetan Robert akan celetukannya. “Uhm… Lagipula, jika menurutmu darah pria itu bisa menyembuhkan Adam tanpa operasi, tidakkan layak untuk dicoba?” “Kita simpan sampai tidak ada cara lain, ok? Berjanjilah untuk tidak menemui pria itu tanpa sepengetahuanku?” Wajah Robert terlihat penuh kekhawatiran, membuat Florence merasa tidak enak untuk tidak mengangguk setuju. “Baiklah, ayo sekarang biar kuantar kau pulang,” balas Robert sambil berdiri. Baru saja ia hendak membantu Florence, ponsel di saku bajunya mendadak bergetar. Pria itu melirik layarnya sejenak sebelum kemudian memasukkannya kembali ke saku nya. “Tunanganmu?” tebak Florence. “Hm….” Robert mengangguk. “Akan kutelepon balik nanti.” Pria itu menarik lengan Florence yang langsung didorong oleh wanita itu. “Aku bisa sendiri, Rob. Aku tidak mau merepotkan lebih jauh. Sudahlah pulanglah, ini kan hari liburmu. Masa kau habiskan bersama pasien mu? Bisakah kau menghubungiku jika hasil tes sudah keluar?” Robert terlihat ragu-ragu. Pria itu berada di ambang kebimbangan antara memaksa Florence untuk menerima bantuannya atau membiarkan wanita yang jelas-jelas menolaknya itu untuk pergi sendiri dan kembali ke tunangannya yang memerlukannya. Ia akhirnya menyerah. “Kau yakin?” tanyanya pada Florence. “Ya… Aku bisa pulang sendiri. Tenanglah,” balas Florence sambil meraih kertas resep yang ada di tangan pria itu dan dengan susah payah menarik tubuhnya sendiri bangkit sebelum kemudian berjalan keluar. Usai menebus obat yang perlu dibelinya, yang rupanya sudah dibayarkan oleh Robert, Florence berjalan perlahan keluar. Ia berdiri sesaat di pinggir jalan memikirkan apa yang sekarang harus dilakukannya. Robert melarangnya untuk menemui Alexander, tapi pria itu juga mengatakan bahwa darah Alexander mungkin kunci untuk menyembuhkan Adam tanpa operasi. Entahlah. Kebingungan, Florence akhirnya memutuskan untuk pulang dan menghabiskan hari liburnya bersama keluarganya. Menuruti ucapan Robert untuk tidak mencari bantuan dari Alexander Oberon. Setidaknya untuk saat ini. ===== Note: Tap Love yak yang belum!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD