Hari ini Robert menjadwalkan tes untuk Florence di rumah sakit. Hasil dari tes itu akan menunjukkan apakah ia memiliki kecocokan sumsum tulang dengan Adam atau tidak. Walau Florence sendiri masih tidak yakin akan sanggup membiayai operasi anaknya, setidaknya dengan menjadi donor, dirinya akan bisa mengurangi keluarnya biaya meskipun hanya sedikit.
Karena hal itulah sepanjang pagi, Florence mengubur dirinya di tumpukan dokumen yang perlu di arsipkan dalam komputer. Selain ingin menyelesaikan tugas secepatnya, ia juga berusaha untuk menyibukkan dirinya sendiri agar bisa menghindari tatapan dari Julian yang terasa terus tertuju ke arahnya.
Sesekali Florence melirik ke arah jam di dinding sambil memikirkan alasan apa yang hendak diberikan kepada Julian ketika ia harus meminta ijin lagi untuk pulang lebih pagi, sebab tes dijadwalkan untuknya pukul 3 sore.
Ketika jam akhirnya menunjukkan pukul 2:30, mau tidak mau Florence berdiri. Ia merapikan pakaiannya. Dress selutut dan blazer panjang, menarik nafas dan berjalan ke arah kantor Julian. Dijulurkannya tangannya mengetuk pintu kantor Julian yang tertutup rapat.
“Masuk!”
Suara pria itu terdengar dari balik pintu.
Florence meraih gagang pintu dan membukanya. Kepala pria itu tertunduk menatap ke arah kertas-kertas yang ada di hadapannya, mengacuhkan kehadiran Florence sambil terus fokus membaca.
“Maaf saya mengganggu, Pak. Uhm… Bolehkan saya—“
Julian melambaikan jarinya mengisyaratkan agar ia mendekat tanpa mengangkat kepalanya. Florence melangkah masuk, sengaja tanpa menutup pintu kantor rapat-rapat untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkannya.
“Tutup pintunya!” perintah Julian.
Florence membeku di tempatnya sebelum kemudian tidak mempunyai pilihan selain menuruti permintaan bosnya.
Begitu ia merapatkan pintu kantor, Julian mendongak dan menatapnya dengan pandangan tajam.
“Apa maumu?”
Florence menelan ludahnya berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bersuara.
“Uhm… pekerjaan saya untuk hari ini sudah selesai, bolehkah saya minta ijin untuk pulang lebih cepat?”
Julian mengerutkan dahinya, “Mengapa kau perlu pulang cepat?”
“Itu… uhm… saya perlu melakukan serangkaian tes di rumah sakit untuk memastikan saya mempunyai kecocokan sumsum tulang belakang dengan anak saya.”
Ketika Julian masih tidak juga menjawab, Florence memberanikan dirinya untuk bertanya sekali lagi.
“Jadi, bolehkah—“
“Tidak!” sahut Julian cepat. “Kau sudah kehilangan banyak waktu karena selalu datang terlambat. Ambil tumpukan berkas di mejaku dan arsipkan. Aku memerlukannya hari ini. Jangan pulang sebelum selesai.”
Julian menunjuk tumpukan kertas yang menggunung di ujung meja kerjanya.
“Tapi, Pak—“
Florence hendak memprotes yang langsung di potong oleh Julian.
“Dengar Nona Florence, jika kau masih mengharapkan pekerjaan di kantorku, lakukan apa yang kuperintahkan. Atau aku bisa memastikan dirimu tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan apapun di kota ini. Jangankan pegawai administrasi, menjadi wanita bayaran pun, aku bisa memastikan bahwa tidak akan ada yang menyentuhmu…. Paham?”
Nada suara Julian ketika menyampaikan ancamannya terdengar sangat tenang. Seolah membuat lawan bicaranya tidak mampu menjawab adalah hal yang sudah biasa dilakukannya.
Jantung Florence pasti berhenti berdetak ketika ia mendengar jawaban dari bosnya. Saking takutnya, bahkan ujung jemari wanita itu ikut gemetaran dan memucat. Tidak mungkin ia sanggup kehilangan satu-satunya pekerjaan yang bisa di dapatnya di Metro. Ia sudah belajar dari pengalamannya dengan Henry Moreno. Bermain dengan keluarga berpengaruh, bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang-orang tanpa kekuatan macam dirinya.
“Paham?” tanya Julian sekali lagi ketika Florence hanya berdiri diam tanpa bersuara..
Florence memaksakan kepalanya untuk bergerak, mengangguk. Ia melangkah mendekati meja Julian dan meraih tumpukan berkas diatas meja pria itu, dan tanpa membuang waktu langsung membawanya ke mejanya sendiri sambil menahan air matanya yang mulai menggenang.
Robert mencoba menghubunginya beberapa kali sekitar pukul 3 lewat, yang diabaikannya karena Florence tidak ingin memancing kemarahan Julian yang masih mengawasinya dari jendela kantornya. Beberapa teks berisi pertanyaan dari Robert masuk ke ponselnya.
‘Dimana dirimu, Flo? Lupakah akan jadwal tes mu pukul 3?’
‘Aku sudah membayar tes hari ini untuk mu Flo, jadi kau tidak perlu bingung untuk biaya tes. Dimana kau?’
‘Jika sampai pukul 4 kau belum juga ada di sini, kita harus jadwalkan ulang, ok?’
Florence akhirnya meraih ponselnya dan membalas pesan dari Robert dari bawah meja.
‘Maafkan aku, Rob. Aku tidak bisa meninggalkan kantor, bisakah kau menjadwalkannya untuk Sabtu ini?’
Florence meletakkan kembali ponselnya ke atas mejanya, yang langsung bergetar begitu dilepaskan.
‘Ok, Flo. Aku usahakan, jangan sampai tidak datang,’ bunyi pesan dari Robert.
Florence melanjutkan pekerjaannya yang barusaja ditambah oleh Julian. Pukul 5 sore lewat, lalu pukul 6, mendekati pukul 7, Florence meletakkan berkas terakhir yang harus dikerjakannya dan bersiap hendak pulang.
Ia melirik ke sekeliling kantornya yang sudah sepi. Tentu saja, kebanyakan sudah pulang sejak pukul 5 seperti karyawan normal lainnya. Hanya dirinya yang entah mengapa selalu berakhir di bawah injakan kaki Julian, tanpa bisa melawan.
Florence berdiri dan mengenakan jaketnya baru saja hendak berjalan keluar ketika mendadak dirasanya seseorang mendorong tubuhnya kembali terjatuh keatas kursi. Wanita itu membelalak menatap Julian dan berdiri sambil mengurungkan tangannya ke sandaran kursi yang didudukinya, mencegah Florence untuk pergi.
“Pa… Pak? Uhm… Sa… Saya sudah selesai,” gumam Florence tergagap.
Julian menjulurkan tangannya ke lutut Florence, tepat di perbatasan kulit dan ujung gaunnya. Sentuhannya membuat otak Florence berteriak, memerintahkan tangannya untuk menampiknya.
“Lepaskan…,”desis Florence.
Julian meremas tangannya sendiri yang baru saja di dorong oleh Florence. Bibir pria itu tertarik ke samping, menyembangkan sebuah senyuman menyeringai yang aneh.
“Apakah kau masih membutuhkan uang?” tanya Julian sambil melepaskan kurungan tangannya dan menegakkan tubuhnya.
Florence terdiam berpikir. Tentu saja ia masih memerlukannya. Uang akan menyelesaikan paling tidak setengah dari masalahnya saat ini. Ingin ia mengangguk, tapi kemudian ia teringat akan syarat yang diminta oleh Julian dan itu membuatnya menggeleng.
“Ti…tidak…. Saya akan mencari cara lain. Terima kasih, Pak. Selamat malam.” Florence buru-buru berdiri dan menyelinap melewati badan Julian begitu menemukan kesempatan.
Kembali ke rencananya untuk menemui Alexander, sekitar pukul 7:30, Florence sudah berdiri lagi di depan gerbang jeruji besi tinggi dengan ukiran huruf O di atasnya.
Ia menekan speaker di gerbang dan menunggu.
Suara dari wanita yang sama dengan yang menjawab malam sebelumnya terdengar menjawab dari dalam speaker, “Ya?”
Florence menunduk mendekatkan bibirnya dan menjawab.
“Selamat malam, maafkan aku mengganggu lagi. Aku mencari Tuan Alex—“
“Tuan Alexander sedang sibuk. Pergilah!”
“Ta…tapi…tunggu dulu… Aku hanya ingin meminta bantuannya. Setidaknya ijinkan aku bertemu—“
“Pergilah!” balas suara itu diiringi dengan bunyi matinya speaker.
Florence memencet tombol di sisi speaker beberapa kali, berharap ada yang akan menjawab. Tapi setelah beberapa saat dan hanya bunyi jemarinya yang memencet tombol yang terdengar, ia pun menyerah.
Dengan tubuh lemas, Florence memutuskan untuk menunggu lagi di depan gerbang seperti malam sebelumnya. Berharap bahwa Alexander akan muncul dari dalam rumah megahnya. Tanpa sadar bahwa ada sepasang mata berkilau coklat mengamatinya dari balik tirai balkon rumahnya.
Tubuh pria itu tinggi dan kekar, tertutup bayangan ruangan kamarnya yang gelap. Kulitnya yang pucat terlihat kebiruan memantulkan sinar bulan yang bersinar penuh malam itu.
Seorang wanita dengan suara yang sama dengan yang menjawab panggilan Florence berjalan menghampiri pria itu. Tangannya yang hangat mengelus d**a dingin pria yang berdiri dengan mata masih tertuju pada Florence yang kini terlihat sedang duduk meringkuk di trotoar sambil memeluk lututnya sendiri.
“Abaikan, Tuan. Ia akan pergi sebentar lagi.”
Wanita itu mengecup bahu sang pria, berusaha untuk mengalihkan perhatian pria itu dari jendela.
“Hm… Ini kedua kali nya bukan ia muncul?” tanya pria itu masih melayangkan pandangannya ke arah Florence.
“Paling ia salah satu dari orang yang mendengar tentang mu dan penasaran,” balas wanita itu menjulurkan tangannya kini mulai mengelus d**a pria itu, yang masih menatap keluar dari jendela lantai dua rumahnya ke arah Florence.
Gagal menarik perhatian Tuannya dengan belaian dan kecupannya, wanita melakukan satu-satunya cara yang ia tahu akan menarik perhatian pria itu. Ia berjalan ke ranjang berkelambu yang ada di tengah ruangan dan meraih sebuah benda berwarna keperakan yang tergeletak diatas kasur. Sebuah belati dengan gagang berukir huruf O milik pria itu.
Wanita itu menggoreskan sisi tajamnya ke telapak tangannya, dan berjalan kembali menghampiri sang pria. Sambil tersenyum, disodorkannya telapak tangannya yang sudah mulai berdarah ke hadapan wajah pria itu.
“Minumlah, Tuan…,” tawarnya.
Pria itu mendorong juluran tangan dari wanita itu, tidak tertarik, dan malah mendenguskan hidungnya seolah merasa terganggu dan berdecak.
“Tsk… Tunggulah aku diatas ranjang, Dey,” perintah pria itu dengan nada kesal, yang langsung membuat wanita yang bernama Deyja menarik tangannya dengan pandangan tidak percaya.
Baru kali ini Tuannya menolak persembahan darahnya, demi memperhatikan wanita itu.
Apa istimewanya dia? Mengapa wanita itu mampu menarik perhatian Tuannya, Alexander Oberon?
Deyja berpikir sambil berjalan perlahan ke arah ranjang, menggenggam telapak tangannya yang mulai meneteskan darah dan membasahi lantai yang dilewatinya dengan tetesan-tetesan bulat berwarna merah tua.
Alexander yang masih berdiri di sisi jendela dengan pandangan terarah keluar, terus memperhatikan gerak gerik Florence.
Benar perkiraan Deyja. Sesuatu menarik perhatian Alexander pada wanita yang meringkuk di depan pagar rumahnya. Dengan kepala bersandar pada lututnya, pandangan Florence terarah ke depan, memunggungi Alexander. Sesekali ia menoleh kebelakang dengan wajah penuh harapan akan melihat sesuatu atau seseorang keluar, sebelum kemudian membalikkan lagi wajahnya ke depan.
Apakah keputus asaannya yang menarik perhatian Alexander?
Tidak. Banyak manusia yang sedang dalam keputus asaan ketika mencarinya. Alexander sudah terbiasa dengan keputus asaan mereka.
Lalu, apakah karena warna kulitnya yang menarik perhatian Alexander? Warna kulit yang memancarkan kehidupan?
Tidak. Deyja memiliki warna kulit yang sama. Wanita manapun dengan warna kehidupan mengalir di bawah permukaan kulitnya dan bersedia bertekuk lutut padanya tidak menarik bagi Alexander.
Lalu apa yang berbeda pada wanita itu?
Alexander sendiri tidak yakin ia paham akan penyebabnya. Apakah karena ia mengingatkannya pada Meena? Entahlah. Yang pasti, ia tidak ingin makin terjerumus pada perasaan aneh itu. Namun, semakin ia berusaha memalingkan wajahnya, semakin ia tidak ingin melepaskan pandangannya dari Florence. Seolah jiwa wanita itu menariknya kedalam pusaran badainya tanpa memberinya jalan keluar. Aneh.
Florence, yang tidak sadar akan perhatian yang tertuju kearahnya masih duduk tidak bergeming ditempatnya, hingga sekitar pukul 12 malam, sebelum kemudian ia menyerah dan memutuskan untuk pulang. Dengan janji yang sama dalam hatinya, bahwa ia akan kembali lagi besok.
=====
Note:
Ditunggu komen dan lovenya
Yang belum baca via aplikasi, segera download aplikasinya. Register dan tap love agar cerita masuk ke perpustakaan.